Jumat, 13 September 2013

Vickiisme dan Bahasa Kuasa

Vickiisme dan Bahasa Kuasa
Musyafak  ;   Esais, Cerpenis, Peneliti, Pengelola Open Mind Community, Semarang
JAWA POS, 13 September 2013


Ada satu reaksi publik yang mengherankan seputar huru-hara asmara pedangdut Zaskia Gotik dan Vicky Prasetyo yang baru-baru ini dibikin heboh oleh infotainment: reaksi masalah bahasa. Kali ini tercitralah masyarakat yang mendadak peduli "bahasa yang baik dan benar". 

Reaksi publik yang menyasar problem bahasa itu agak beda daripada kelaziman masyarakat-penonton. Respons penonton tidak menusuk pada jantung perkara selebritas: tidak langsung menyasar pada urungnya pertunangan sang artis atau naifnya perempuan-perempuan yang dikibuli Vicky. Bukan pula nasib Vicky yang tiba-tiba berpindah ke balik jeruji besi. 

Sejak terekspos di media massa, Vicky beberapa kali bicara ala gado-gado, mengaduk bahasa Indonesia dengan Inggris, dan tak jarang menyusupkan istilah-istilah serapan bahasa asing. Sayangnya, Vicky "belepotan" ketika "mengunyah" bahasa gado-gado itu. Kalimat-kalimat yang dia susun dengan berbagai kata yang terkesan canggih itu tak bersambungan dengan tepat. Kata-kata yang semula jelas maksudnya malah menjadi tidak terpahami. Jadi, kacaulah maknanya. 

Publik lantas mencibir. Vicky dituding sok berbahasa intelek yang justru menawarkan diri untuk ditertawai. Di Twitter dan Facebook, ujaran Vicky santer dicemooh, bahkan direka ulang menjadi parodi. Ini sebagian frasa-frasa "ajaib" yang dilontarkan Vicky: kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, labil ekonomi, konspirasi beritaisasi, kosakataisme, dan bahasaisasi.

Ya, publik mendadak tampak perhatian terhadap bahasa-bahasa Indonesia. Ada yang menilai tindak-tutur Vicky mengindikasikan persoalan cukup serius dalam berbahasa, yakni doyannya masyarakat Indonesia menggunakan bahasa asing ketimbang bahasa sendiri. Bahkan, ada yang mengaitkan persoalan ke dalam konteks yang lebih luas bahwa fenomena berbahasa Vicky merupakan isyarat lunturnya nasionalisme kita.

Padahal, selama ini kebanyakan masyarakat kelihatan nyaman-nyaman saja dengan pelbagai bahasa yang tak "jelas" muasalnya. Taruhlah bahasa alay yang berseliweran di televisi maupun dunia maya. Ciyus miyapah, woles, cekidot, kepo, misalnya, berkembang seolah tanpa hambatan dan tentangan. 

Vicky dan bahasa punya nasibnya sendiri. Sejak heboh di status-status Facebook dan dan kicauan-kicauan Twitter, nama Vicky dinisbah sebagai label bagi tindak-tutur yang sok intelektual, tetapi tak tepat penggunaannya. Istilah baru muncul: vickiisme -istilah yang mungkin tak akan bertahan lama, seperti tisu yang dibuang habis pakai.

Goenawan Mohamad (GM) dalam sebuah status Facebook yang agak panjang (11/9) menilai bahwa "vickiisme adalah gejala dari tidak bekerjanya daya analitis dalam berbahasa". Namun, sasaran GM justru bukan sekadar perkara analitis yang sifatnya kognitif itu. GM menembus persoalan psikologis yang lebih mendasar, yakni semacam gejala kecemasan di balik upaya seseorang membangun citra melalui bahasa. GM mengibaratkan vickiisme "mirip tong kosong dengan bunyi yang rumit". Fenomena semacam ini sebetulnya telah berlangsung dari masa ke masa.

Di zaman modern seperti sekarang, bahasa bagian dari lifestyle (gaya hidup), tak ubahnya baju, makanan, gadget, atau kendaraan. Selain media mengekspresikan pikiran dan perasaan, bahasa menjadi peranti membangun citra diri. Karena itu, belakangan sering muncul konstruksi bahasa yang artifisial. 

Praktik berbahasa tidak lagi sekadar ikhtiar menyampaikan pesan, tetapi juga untuk meraih penilaian lawan bicara. Tidak sedikit orang sukses yang disangka pintar, bahkan dilabeli intelektual, hanya karena sering menyitir istilah-istilah asing yang kedengaran ampuh dan wah. Semakin sedikit orang yang paham kata-katanya, seolah-olah kompetensinya sebagai pengkhotbah atau penulis kian tinggi terkatrol. 

Sebenarnya, menggunakan istilah-istilah asing dengan pas, tepat pada konteks, dan lawan bicara itu sah dan baik. Apalagi masing-masing disiplin keilmuan memiliki kultur wicaranya sendiri. Mengingat tak sedikit bahasa asing yang maknanya tidak bisa diterjemahkan atau dipadankan dengan pas ke dalam bahasa lain.

Aspek psikologis dalam gejala "vickiisme" juga menyangkut perkara hasrat. Sebagai alat komunikasi, bahasa punya beragam sisi lain, bergantung pada pemakainya. Tak jarang, bahasa dipakai sebagai "senjata" untuk menaklukkan dan menguasai. Bahasa dan kekuasaan punya kedekatan yang intim. Dalam kasus Vicky, sebelum kena cemooh, bahasa yang digunakannya sukses membuat pikiran dan perasaan sekian perempuan jadi minder plus grogi.

Sejak zaman purba, kesalahpahaman berbahasa sering terjadi secara kebetulan dan akibat yang ditimbulkan bisa fatal. Tetapi, kesalahpahaman berbahasa juga kerap disengaja untuk mengelabui dan membingungkan orang-orang yang tak begitu paham maksudnya. Berbahasa kerap tak luput dari hasrat berkuasa. Sementara itu, yang berkuasa lebih bisa mengendalikan tafsirnya. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar