|
DI awal
kebangkitan negeri ini sebagai republik merdeka, generasi muda terkagum-kagum
oleh perjuangan founding fathers yang
telah memerdekakan kawasan ini dan membangunnya menjadi negara merdeka. Betapa
tidak? Wilayah seluas hampir 2 juta km2, berpenduduk yang keempat terbesar di
dunia dengan jumlah mendekati 200 juta (waktu itu), menguasai ratusan bahasa,
dan budaya beragam, berhasil menjadi negara kesatuan dengan satu bahasa.
Menakjubkan. Maka tidak mengherankan bila kehidupan dan penghidupan di era itu
dipenuhi slogan-slogan persatuan dan kemerdekaan, serta gugatan terhadap
kekuasaan asing.
Era itu pun berakhir sesuai dengan
kemajuan zaman. Kemudian yang menjadi fokus perhatian adalah pembangunan.
Faktanya, karena gigihnya euforia kemerdekaan, di masa Orde Lama kita
melalaikan pembangunan fisik yang sejatinya menjadi bagian dari urat nadi
kemajuan. Orde Baru tercetus untuk mengatasi persoalan itu dengan melahirkan
orde pembangunan, seiring dengan makin bergairahnya globalisasi. Sayangnya,
Orde Baru mengabaikan kehidupan politik suatu masyarakat yang pada awalnya
terbentuk untuk memperjuangkan kemerdekaan. Maka bangkitlah era reformasi yang
mendengungkan kebutuhan reformasi politik. Dalam prosesnya terjadi dikotomi,
sebab kita sepertinya belum meyakini konsep mana yang akan kita ikuti. Gagasan-gagasan
yang saling bertentangan bermunculan.
Dalam kebingungan ini, yang tidak
tahan godaan memilih jalan pintas untuk kenyamanan hidup dan meniru apa yang
sudah terjadi di negara-negara maju. Sepertinya tidak ada kesadaran bahwa untuk
maju pun diperlukan perjuangan. Sikap ini marak, bahkan di kalangan oknum-oknum
politik. Kesan seperti itulah yang diperoleh generasi muda masa sekarang.
Parpol tetap perlu
Ada saran-saran lewat Bedah Editorial yang disiarkan Metro TV agar partai politik (parpol)
dibubarkan. Gagasan itu tentu bangkit akibat kekecewaan atau kekesalan terhadap
ulah negatif oknum-oknum partai yang duduk sebagai pimpinan di partai-partai
politik ataupun di lembaga-lembaga pemerintahan. Berita-berita mereka terus
bergulir. Tidak mengherankan bila nantinya konstituen pemula mungkin memilih
sikap golput.
Gejala yang ada menunjukkan bahwa
kita memang perlu penyebaran pendidikan politik secara intens. Sebab, ditinjau
dari sudut pandang sederhana, jumlah kekayaan yang tersedia untuk suatu
kelompok selalu dibatasi, apakah oleh keterbatasan sumber alam atau kemampuan
produksi atau oleh keterbatasan pemikiran dan kreativitas. Dengan demikian,
jumlah kekayaan--apakah barang atau jasa--yang dimiliki seseorang juga dibatasi
oleh kebutuhan yang dirasakan individu-individu lain.
Sama halnya, besarnya
kekuasaan/kekuatan yang tersedia pada suatu kelompok tergantung pada apa yang
dimilikinya. Selain itu, juga tergantung pada kekuasaan/kekuatan pihak oposisi.
Ini pun terjadi secara internal kepada kelompok itu.
Karena keterbatasan itulah
masyarakat memerlukan aturan-aturan tentang cara mendistribusikan kekuasaan/kekuatan.
Bila itu gagal, terjadilah ketidakpuasan dan keresahan, sebab setiap orang
cenderung mengharapkan bisa mengambil sebanyakbanyaknya yang dia inginkan,
tanpa mempertimbangkan kebutuhan pihak lain. Sekalipun segalanya
serbaberlimpah, toh masih diperlukan pendistribusian yang diatur. Ada saja
orang-orang serakah yang selalu ingin memonopoli.
Jelaslah, yang menentukan apakah
akan terjadi ketimpangan distribusi/ pemerataan adalah peraturan yang berlaku,
juga kemampuan suatu kelompok untuk mengumpulkan kekuasaan/ kekuatan sehingga
mampu menjamin aturan-aturan itu bisa diterapkan. Di sinilah pentingnya parpol,
yang sudah diyakini oleh masyarakat modern sebagai pilar demokrasi. Dengan
kehebohan yang timbul sekarang, parpol bukan perlu dibubarkan, melainkan perlu
direformasi.
Siapa pemimpin reformasi?
Ketika kita membutuhkan pemimpin
yang menggerakkan perjuangan merebut kemerdekaan, Bung Karno dan Bung Hatta
muncul. Ketika perekonomian kita kacau, muncullah Pak Harto dan jajarannya.
Sayangnya, kita selalu memperlakukan pemimpinpemimpin secara tidak elegan bila
kita tidak memerlukan mereka lagi. Itu pernah dialami empat presiden terdahulu.
Ada saja alasannya, seperti ideologinya melenceng, sikapnya otoriter,
pandangannya terlalu maju, dan seterusnya. Mudah-mudahan kita bisa mereformasi
diri.
Untuk pemimpin masa depan, siapa yang
akan menda pat sebutan pemimpin reformasi? Dalam kaitan itu, ada penulis
Prancis yang juga ahli hukum, diplomat, dan filsuf, Joseph de Maistre
(1735-1821). Dia terkenal dengan ungkapannya yang sampai sekarang masih banyak
dikutip, yaitu bahwa rakyat mendapatkan pemerintahan/pemimpin sesuai yang
mereka inginkan. Konsep itu mengandung arti bahwa pemimpin muncul karena
kebutuhan yang dirasakan rakyatnya “Toute
nation a le gouvernement q'elle merite“--every nation gets the government it deserves.
Salah satu pelajaran yang dapat
dipetik dari ungkapan itu adalah tidak adil bila kita selalu menyalahkan
pemimpin atau pemerintah, padahal sebenarnya situasilah, atau kita sendirilah
sebagai rakyat, yang bisa menentukan. Partai-partai politik sekadar wahana.
Maka menjelang 2014, konstituen dituntut mulai memikirkan dan mencermati
pilihan-pilihan yang tak gampang. Apa pun, kalah atau menang, konstituenlah
yang menentukan. Para pemimpin adalah pilihan kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar