Sabtu, 14 September 2013

Kiat Menentukan Pilihan

Kiat Menentukan Pilihan
Toeti Prahas Adhitama  ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 13 September 2013


DI awal kebangkitan negeri ini sebagai republik merdeka, generasi muda terkagum-kagum oleh perjuangan founding fathers yang telah memerdekakan kawasan ini dan membangunnya menjadi negara merdeka. Betapa tidak? Wilayah seluas hampir 2 juta km2, berpenduduk yang keempat terbesar di dunia dengan jumlah mendekati 200 juta (waktu itu), menguasai ratusan bahasa, dan budaya beragam, berhasil menjadi negara kesatuan dengan satu bahasa. Menakjubkan. Maka tidak mengherankan bila kehidupan dan penghidupan di era itu dipenuhi slogan-slogan persatuan dan kemerdekaan, serta gugatan terhadap kekuasaan asing.

Era itu pun berakhir sesuai dengan kemajuan zaman. Kemudian yang menjadi fokus perhatian adalah pembangunan. Faktanya, karena gigihnya euforia kemerdekaan, di masa Orde Lama kita melalaikan pembangunan fisik yang sejatinya menjadi bagian dari urat nadi kemajuan. Orde Baru tercetus untuk mengatasi persoalan itu dengan melahirkan orde pembangunan, seiring dengan makin bergairahnya globalisasi. Sayangnya, Orde Baru mengabaikan kehidupan politik suatu masyarakat yang pada awalnya terbentuk untuk memperjuangkan kemerdekaan. Maka bangkitlah era reformasi yang mendengungkan kebutuhan reformasi politik. Dalam prosesnya terjadi dikotomi, sebab kita sepertinya belum meyakini konsep mana yang akan kita ikuti. Gagasan-gagasan yang saling bertentangan bermunculan.

Dalam kebingungan ini, yang tidak tahan godaan memilih jalan pintas untuk kenyamanan hidup dan meniru apa yang sudah terjadi di negara-negara maju. Sepertinya tidak ada kesadaran bahwa untuk maju pun diperlukan perjuangan. Sikap ini marak, bahkan di kalangan oknum-oknum politik. Kesan seperti itulah yang diperoleh generasi muda masa sekarang.

Parpol tetap perlu

Ada saran-saran lewat Bedah Editorial yang disiarkan Metro TV agar partai politik (parpol) dibubarkan. Gagasan itu tentu bangkit akibat kekecewaan atau kekesalan terhadap ulah negatif oknum-oknum partai yang duduk sebagai pimpinan di partai-partai politik ataupun di lembaga-lembaga pemerintahan. Berita-berita mereka terus bergulir. Tidak mengherankan bila nantinya konstituen pemula mungkin memilih sikap golput.

Gejala yang ada menunjukkan bahwa kita memang perlu penyebaran pendidikan politik secara intens. Sebab, ditinjau dari sudut pandang sederhana, jumlah kekayaan yang tersedia untuk suatu kelompok selalu dibatasi, apakah oleh keterbatasan sumber alam atau kemampuan produksi atau oleh keterbatasan pemikiran dan kreativitas. Dengan demikian, jumlah kekayaan--apakah barang atau jasa--yang dimiliki seseorang juga dibatasi oleh kebutuhan yang dirasakan individu-individu lain.

Sama halnya, besarnya kekuasaan/kekuatan yang tersedia pada suatu kelompok tergantung pada apa yang dimilikinya. Selain itu, juga tergantung pada kekuasaan/kekuatan pihak oposisi. Ini pun terjadi secara internal kepada kelompok itu.

Karena keterbatasan itulah masyarakat memerlukan aturan-aturan tentang cara mendistribusikan kekuasaan/kekuatan. Bila itu gagal, terjadilah ketidakpuasan dan keresahan, sebab setiap orang cenderung mengharapkan bisa mengambil sebanyakbanyaknya yang dia inginkan, tanpa mempertimbangkan kebutuhan pihak lain. Sekalipun segalanya serbaberlimpah, toh masih diperlukan pendistribusian yang diatur. Ada saja orang-orang serakah yang selalu ingin memonopoli.

Jelaslah, yang menentukan apakah akan terjadi ketimpangan distribusi/ pemerataan adalah peraturan yang berlaku, juga kemampuan suatu kelompok untuk mengumpulkan kekuasaan/ kekuatan sehingga mampu menjamin aturan-aturan itu bisa diterapkan. Di sinilah pentingnya parpol, yang sudah diyakini oleh masyarakat modern sebagai pilar demokrasi. Dengan kehebohan yang timbul sekarang, parpol bukan perlu dibubarkan, melainkan perlu direformasi.

Siapa pemimpin reformasi?

Ketika kita membutuhkan pemimpin yang menggerakkan perjuangan merebut kemerdekaan, Bung Karno dan Bung Hatta muncul. Ketika perekonomian kita kacau, muncullah Pak Harto dan jajarannya. Sayangnya, kita selalu memperlakukan pemimpinpemimpin secara tidak elegan bila kita tidak memerlukan mereka lagi. Itu pernah dialami empat presiden terdahulu. Ada saja alasannya, seperti ideologinya melenceng, sikapnya otoriter, pandangannya terlalu maju, dan seterusnya. Mudah-mudahan kita bisa mereformasi diri.

Untuk pemimpin masa depan, siapa yang akan menda pat sebutan pemimpin reformasi? Dalam kaitan itu, ada penulis Prancis yang juga ahli hukum, diplomat, dan filsuf, Joseph de Maistre (1735-1821). Dia terkenal dengan ungkapannya yang sampai sekarang masih banyak dikutip, yaitu bahwa rakyat mendapatkan pemerintahan/pemimpin sesuai yang mereka inginkan. Konsep itu mengandung arti bahwa pemimpin muncul karena kebutuhan yang dirasakan rakyatnya “Toute nation a le gouvernement q'elle merite“--every nation gets the government it deserves.


Salah satu pelajaran yang dapat dipetik dari ungkapan itu adalah tidak adil bila kita selalu menyalahkan pemimpin atau pemerintah, padahal sebenarnya situasilah, atau kita sendirilah sebagai rakyat, yang bisa menentukan. Partai-partai politik sekadar wahana. Maka menjelang 2014, konstituen dituntut mulai memikirkan dan mencermati pilihan-pilihan yang tak gampang. Apa pun, kalah atau menang, konstituenlah yang menentukan. Para pemimpin adalah pilihan kita. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar