|
Siapakah
pemenang dalam beberapa Pemilihan Gubernur (Pilgub), termasuk Jawa Timur, Kamis
(29/8)? Lepas dari pemenang versi quick count, pemenang sejatinya adalah golput
(golongan putih).
Menurut
Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), tingkat partisipasi pemilih
dalam Pilgub Jatim kali ini mencapai 59,84 persen, sedangkan Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) mencatat 58,96 persen.
Kondisi
tersebut sama dengan Pilgub Jatim 2008 lalu, mengingat partisipasi pemilih juga
di bawah 60 persen. Artinya, 40 persen pemilih lebih suka golput. Bandingkan
tingkat partisipasi pemilih di Pilgub Jateng (28/5), hanya sekitar 50 persen.
Pada
Pilgub Jabar (2/2), tingkat partisipasi pemilih juga turun menjadi 63,8 dari 67
persen pada pilgub lima tahun sebelumnya. Tingkat partisipasi pemilih di kedua
provinsi itu masih di bawah partisipasi pemilih secara nasional, yakni 65
persen.
Lepas
dari amburadulnya pendataan para pemilih sehingga membuat sebagian orang
dipaksa tidak boleh memilih, golput selalu menjadi fenomena menarik untuk
dielaborasi. Ada yang beropini di media sosial seperti Twitter, golput bukan
pilihan bijak. Megawati juga menyebut golput tidak patriotik. Tapi bijak dan
patriotik menurut siapa?
Menjadi
golput dengan kasadaran (tahu dan mau) jelas bermotif politik, seperti
dicetuskan Arief Budiman, Bapak Golput Indonesia pada dekade 1970-an. Seabrek
argumentasi pun bisa dikemukakan para golput.
Golput
menjadi respons wajar atas berbagai praksis politik kita yang ternyata jauh
dari tujuan mulia politik, yakni bonum
commune (kesejahteraan atau kebaikan bersama).
Praksis
politik kita, nyaris hanya menimbulkan malum
commene (ketidaksejahteraan atau keburukan bersama). Dengan kata lain, ada
apatisme publik terhadap politik sehingga golput jadi pilihan rasional. Pemicu
utamanya jelas ulah dan perilaku para politikus.
Simak
saja, setelah mendapat kursi alias jabatan, mereka lupa memperbaiki kualitas
layanan publik atau kualitas hidup rakyat. Simak saja di mana-mana masih banyak
orang miskin, yang kian tercekik lehernya ketika harga sembako melambung.
Akses
mereka ke air bersih, pendidikan tinggi, atau jaminan kesehatan masih terbatas.
Yang tak tahan dengan kemiskinan memilih menjadi pelaku criminal, seperti
menjadi preman atau ikut geng motor. Mereka juga menjadi pihak yang gampang
menerima uang sogok (money politics),
sehingga pemimpin yang meraih kemenangan dalam pemilihan langsung justru sama
sekali tak punya kualifikasi seorang pemimpin.
Berbicara
tentang politik uang, kini modus operandinya juga kian rapi. Tidak sekasar
dulu, uang langsung dibagikan ke masing-masing orang. Kini uang disalurkan
lewat berbagai macam proyek atau hajatan yang menyenangkan warga, seperti
proyek padat karya atau wisata rohani yang dinikmati segenap warga kampung.
Ini
banyak terjadi di kampung Surabaya. Tidak heran, ketika tiba hari pencoblosan,
suara segenap warga langsung kepada calon tertentu yang uangnya memang
melimpah.
Adanya
politik uang jelas mendegradasi demokrasi kita. Ternyata sejak jaman VOC hingga
sekarang, uanglah yang menciptakan para pemimpin kita. Maka, jangan menyesal
ketika mereka memimpin, mereka juga cenderung korup, agar uang yang sudah
mereka keluarkan bisa kembali ke kantong (balik modal).
Banalitas
Korupsi
seperti itu jelas merupakan banalitas yang menusuk hatinurani rakyat. Para
pemimpin semacam itu pantas digelari para banal.
Seperti
diketahui, istilah banalitas politik, sebenarnya terkait dengan banalitas
kejahatan (banality of evil), buah
pemikiran Hannah Arendt, meksipun filsuf Jerman berdarah Yahudi itu menolak
pengaitan banalitas politik dengan banalitas kejahatan. Segenap sudut di negeri
ini tidak pernah kekurangan politikus banal.
Banalitas
itu tampak dalam setiap tampilan yang tampaknya saja dikemas demi kepentingan
umum, tapi ternyata ujung-ujungnya adalah duit untuk kantong pribadi.
Banalitas
itu bisa menjelma dalam program yang tampaknya mengangkat sungguh martabat
orang miskin, tapi ternyata setelah ditelusuri motifnya justru demi
terdongkraknya citra diri dan pundi-pundi sang politikus. Simak saja korupsi
bansos yang melibatkan Wali Kota Bandung Dada Rosada.
Tidak
heran menurut Vedi R Hadiz, ilmuwan sosial Indonesia sekaligus Professor of Asian Societies and Politics
untuk Asia Research Centre, Murdoch
University Australia menyebut para politikus seperti itu sebagai predator
(2003).
Politik
yang Sejati
Lalu
apakah kita harus “cuek” pada politik? Penulis jadi ingat pada Prof Piet Go,
dosen penulis era 1980-an di STFT. Menurut beliau, setiap warga negara tidak
boleh apatis atau apolitik setiap kali melihat praksis poltik yang penuh lumpur
kekotoran.
Kita
semua punya tanggung jawab politik. Apalagi di negeri ini, segala sesuatu
sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari politik. Semua hal selalu bermuatan
politik. Jika kita menyerahkan segala sesuatu atau semuanya pada para politikus
banal, banalitas akan menyeruak ke mana-mana.
Jadi,
sesungguhnya kita semua memiliki tanggung jawab untuk mengembalikan politik ke
makna sejatinya. Makna poltik yang sejati seperti diungkapkan Thomas
Aquinas, filsuf dan teolog abad pertengahan, selalu terkait dengan bonum
commune, upaya mewujudkan kesejahteraan bersama.
Sayang,
mentalitas KKN yang berorientasi pada egosentrisme atau keakuan telah membajak
makna politik yang sejati.
Menjadi
tugas kita semua untuk mengembalikan makna politik pada tempat yang seharusnya.
Makna politik yang begitu mulia tidak selayaknya ditaruh dalam lumpur kehinaan.
Tentu untuk itu, kita tidak harus menjadi politikus. Entah wartawan, penulis,
anggota LSM, atau rakyat biasa, punya tanggung jawab mengupayakan terwujudnya
makna politik yang sebenarnya mulia itu. Kita bisa terus berpartisipasi.
Partisipasi
itu tidak harus ditunjukkan selama pemilu atau pilgub saja. Rakyat bisa menjadi
bagian dari pressure group yang memantau setiap tingkah polah politikus atau
penguasa.
Atau
kita semua bisa membangun koalisi untuk melakukan advokasi terhadap kebijakan
pemerintah, baik di pusat atau daerah, terlebih kini sudah tersedia media
sosial seperti Facebook atau Twitter yang kekuatan dan pengaruhnya tidak bisa
diremehkan.
Jika
tingkah polah mereka merugikan, jangan dipilih lagi, baik dalam pilgub, pileg
maupun pilpres. Kalau pengadilan menjadi alat untuk transaksi jual beli perkara
para elite, mari berdoa semoga Tuhan memberikan pemimpin seperti
Jokowi.
Jokowi
adalah “darah segar” dalam perpolitikan kita sehingga apatisme publik
akan politik bisa dihentikan atau berhenti dengan sendirinya. Jika ada lebih
banyak sosok mirip Jokowi, golput pasti akan rendah.
Maklum,
persepsi akan pemimpin yang dekat dengan rakyat, membumi, serta ingin
mewujudkan bonum commune ditemukan dalam sosok Jokowi. Lagi pula, Jokowi bukan
pemimpin yang banal meski doyan musik cadas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar