Sabtu, 07 September 2013

Tingginya Golput dan Banalitas Politik

Tingginya Golput dan Banalitas Politik
Tom Saptaatmaja ;  Alumnus STFT Widya Sasana Malang
dan Seminari St Vincent de Paul
SINAR HARAPAN, 06 September 2013


Siapakah pemenang dalam beberapa Pemilihan Gubernur (Pilgub), termasuk Jawa Timur, Kamis (29/8)? Lepas dari pemenang versi quick count, pemenang sejatinya adalah golput (golongan putih).

Menurut Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), tingkat partisipasi pemilih dalam Pilgub Jatim kali ini mencapai 59,84 persen, sedangkan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mencatat 58,96 persen.
Kondisi tersebut sama dengan Pilgub Jatim 2008 lalu, mengingat partisipasi pemilih juga di bawah 60 persen. Artinya, 40 persen pemilih lebih suka golput. Bandingkan tingkat partisipasi pemilih di Pilgub Jateng (28/5), hanya sekitar 50 persen.

Pada Pilgub Jabar (2/2), tingkat partisipasi pemilih juga turun menjadi 63,8 dari 67 persen pada pilgub lima tahun sebelumnya. Tingkat partisipasi pemilih di kedua provinsi itu masih di bawah partisipasi pemilih secara nasional, yakni 65 persen.

Lepas dari amburadulnya pendataan para pemilih sehingga membuat sebagian orang dipaksa tidak boleh memilih, golput selalu menjadi fenomena menarik untuk dielaborasi. Ada yang beropini di media sosial seperti Twitter, golput bukan pilihan bijak. Megawati juga menyebut golput tidak patriotik. Tapi bijak dan patriotik menurut siapa?

Menjadi golput dengan kasadaran (tahu dan mau) jelas bermotif politik, seperti dicetuskan Arief Budiman, Bapak Golput Indonesia pada dekade 1970-an. Seabrek argumentasi pun bisa dikemukakan para golput.

Golput menjadi respons wajar atas berbagai praksis politik kita yang ternyata jauh dari tujuan mulia politik, yakni bonum commune (kesejahteraan atau kebaikan bersama).

Praksis politik kita, nyaris hanya menimbulkan malum commene (ketidaksejahteraan atau keburukan bersama). Dengan kata lain, ada apatisme publik terhadap politik sehingga golput jadi pilihan rasional. Pemicu utamanya jelas ulah dan perilaku para politikus.

Simak saja, setelah mendapat kursi alias jabatan, mereka lupa memperbaiki kualitas layanan publik atau kualitas hidup rakyat. Simak saja di mana-mana masih banyak orang miskin, yang kian tercekik lehernya ketika harga sembako melambung.

Akses mereka ke air bersih, pendidikan tinggi, atau jaminan kesehatan masih terbatas. Yang tak tahan dengan kemiskinan memilih menjadi pelaku criminal, seperti menjadi preman atau ikut geng motor. Mereka juga menjadi pihak yang gampang menerima uang sogok (money politics), sehingga pemimpin yang meraih kemenangan dalam pemilihan langsung justru sama sekali tak punya kualifikasi seorang pemimpin.

Berbicara tentang politik uang, kini modus operandinya juga kian rapi. Tidak sekasar dulu, uang langsung dibagikan ke masing-masing orang. Kini uang disalurkan lewat berbagai macam proyek atau hajatan yang menyenangkan warga, seperti proyek padat karya atau wisata rohani yang dinikmati segenap warga kampung.

Ini banyak terjadi di kampung Surabaya. Tidak heran, ketika tiba hari pencoblosan, suara segenap warga langsung kepada calon tertentu yang uangnya memang melimpah.

Adanya politik uang jelas mendegradasi demokrasi kita. Ternyata sejak jaman VOC hingga sekarang, uanglah yang menciptakan para pemimpin kita. Maka, jangan menyesal ketika mereka memimpin, mereka juga cenderung korup, agar uang yang sudah mereka keluarkan bisa kembali ke kantong (balik modal).

Banalitas

Korupsi seperti itu jelas merupakan banalitas yang menusuk hatinurani rakyat. Para pemimpin semacam itu pantas digelari para banal.

Seperti diketahui, istilah banalitas politik, sebenarnya terkait dengan banalitas kejahatan (banality of evil), buah pemikiran Hannah Arendt, meksipun filsuf Jerman berdarah Yahudi itu menolak pengaitan banalitas politik dengan banalitas kejahatan. Segenap sudut di negeri ini tidak pernah kekurangan politikus banal.

Banalitas itu tampak dalam setiap tampilan yang tampaknya saja dikemas demi kepentingan umum, tapi ternyata ujung-ujungnya adalah duit untuk kantong pribadi.

Banalitas itu bisa menjelma dalam program yang tampaknya mengangkat sungguh martabat orang miskin, tapi ternyata setelah ditelusuri motifnya justru demi terdongkraknya citra diri dan pundi-pundi sang politikus. Simak saja korupsi bansos yang melibatkan Wali Kota Bandung Dada Rosada.

Tidak heran menurut Vedi R Hadiz, ilmuwan sosial Indonesia sekaligus Professor of Asian Societies and Politics untuk Asia Research Centre, Murdoch University Australia menyebut para politikus seperti itu sebagai predator (2003).

Politik yang Sejati

Lalu apakah kita harus “cuek” pada politik? Penulis jadi ingat pada Prof Piet Go, dosen penulis era 1980-an di STFT. Menurut beliau, setiap warga negara tidak boleh apatis atau apolitik setiap kali melihat praksis poltik yang penuh lumpur kekotoran.

Kita semua punya tanggung jawab politik. Apalagi di negeri ini, segala sesuatu sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari politik. Semua hal selalu bermuatan politik. Jika kita menyerahkan segala sesuatu atau semuanya pada para politikus banal, banalitas akan menyeruak ke mana-mana.

Jadi, sesungguhnya kita semua memiliki tanggung jawab untuk mengembalikan politik ke makna sejatinya. Makna poltik yang sejati seperti  diungkapkan Thomas Aquinas, filsuf dan teolog abad pertengahan, selalu terkait dengan bonum commune, upaya mewujudkan kesejahteraan bersama.
Sayang, mentalitas KKN yang berorientasi pada egosentrisme atau keakuan telah membajak makna politik yang sejati.

Menjadi tugas kita semua untuk mengembalikan makna politik pada tempat yang seharusnya. Makna politik yang begitu mulia tidak selayaknya ditaruh dalam lumpur kehinaan. Tentu untuk itu, kita tidak harus menjadi politikus. Entah wartawan, penulis, anggota LSM, atau rakyat biasa, punya tanggung jawab mengupayakan terwujudnya makna politik yang sebenarnya mulia itu. Kita bisa terus berpartisipasi.

Partisipasi itu tidak harus ditunjukkan selama pemilu atau pilgub saja. Rakyat bisa menjadi bagian dari pressure group yang memantau setiap tingkah polah politikus atau penguasa.

Atau kita semua bisa membangun koalisi untuk melakukan advokasi terhadap kebijakan pemerintah, baik di pusat atau daerah, terlebih kini sudah tersedia media sosial seperti Facebook atau Twitter yang kekuatan dan pengaruhnya tidak bisa diremehkan. 

Jika tingkah polah mereka merugikan, jangan dipilih lagi, baik dalam pilgub, pileg maupun pilpres. Kalau pengadilan menjadi alat untuk transaksi jual beli perkara para elite, mari berdoa semoga Tuhan  memberikan pemimpin seperti Jokowi. 

Jokowi adalah  “darah segar” dalam perpolitikan kita sehingga apatisme publik akan politik bisa dihentikan atau berhenti dengan sendirinya. Jika ada lebih banyak sosok mirip Jokowi, golput pasti akan rendah.


Maklum, persepsi akan pemimpin yang dekat dengan rakyat, membumi, serta ingin mewujudkan bonum commune ditemukan dalam sosok Jokowi. Lagi pula, Jokowi bukan pemimpin yang banal meski doyan musik cadas. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar