|
Di negeri
ini, pemberantasan korupsi bisa dikatakan sebagai isu yang relatif
permanen. Dari era Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono,
sejak Republik berdiri hingga saat ini, agenda pemberantasan korupsi tetap
ada, seolah tak lekang waktu.
Mengapa
demikian? Pertama, karena kasus korupsi memang terus marak dari waktu ke
waktu. Sepanjang ada kasus—apalagi dalam skala
besar—sepanjang sepanjang itu pula pemberantasan korupsi terus menjadi
prioritas agenda.
Maraknya
korupsi itu misalnya bisa dilihat dari pemberitaan di media massa, dari
kasus melimpah yang ditangani para penegak hukum seperti kepolisian,
kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta dari laporan
lembaga-lembaga anti korupsi—baik dalam maupun luar negeri—yang setiap tahun
mengeluarkan indeks korupsi di berbagai negara.
Kedua,
karena setiap pemerintahan yang baru berkuasa, selalu mencanangkan
pemberantasan korupsi sebagai agenda prioritas, namun dalam
pelaksanaannya tidak ada yang terbukti berjalan dengan baik. Kalaupun ada
(dijalankan) biasanya tidak tuntas, apalagi saat kasus yang dihadapi mulai
menyentuh jantung kekuasaan.
Masih
segar dalam ingatan kita, saat pertama kali memerintah, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menyampaikan komitmen di hadapan publik akan memberantas
korupsi mulai dari pintu Istana. Tapi, bagaimana faktanya?
Ada yang mengatakan komitmen itu sebatas untuk menanamkan citra bahwa rezim ini
anti-korupsi.
Dalam
perjalanan sejarahnya, muncul sejumlah dugaan, keluarga Istana bahkan
disebut-sebut terlibat dalam kasus-kasus korupsi seperti dalam proyek pengadaan
sarana olahraga di bukit Hambalang, dan dalam kasus kebijakan impor daging
sapi.
Ketiga,
sudah banyak undang-undang yang sengaja dirancang dan ditetapkan khusus untuk
menangani kasus-kasus korupsi. Tapi dalam pelaksanaannya, selain melibatkan
banyak aparat penegak hukum, juga kerap diimplementasikan secara tidak adil.
Pedang
keadilan biasanya hanya tajam ke bawah, namun tumpul ketika diarahkan ke atas.
Jika yang melakukan rakyat biasa, pencurian barang senilai puluhan ribu rupiah
pun bisa mendapatkan hukuman berat, tapi jika yang melakukan adalah orang kuat,
baik secara ekonomi maupun politik, hukumannya bisa ditangguhkan atau
terus-menerus mendapatkan potongan, atau bahkan bisa dibebaskan dari segala
tuntutan.
Komitmen
Capres
Mencermati
persoalan di atas, menurut saya, setiap calon presiden, baik yang sudah
ditetapkan partainya maupun yang kini mengikuti Konvensi Capres Partai
Demokrat, harus punya komitmen jelas untuk menjadikan pemberantasan korupsi
sebagai salah satu agenda prioritasnya saat terpilih menjadi presiden.
Kejelasan
komitmen itu misalnya ditandai dengan, pertama, tencantumnya agenda dan
pencapaian pemberantasan korupsi secara jelas dalam hitungan waktu tertentu
sehingga publik bisa mengevaluasi secara objektif apakah agenda itu sudah
dijalankan dengan baik atau tidak.
Kedua,
dengan membuat kesepakatan anti-korupsi di hadapan publik, misalnya dengan
menandatangani pakta integritas yang baik secara hukum maupun
politik, bisa dipertanggungjawabkan disertai dengan adanya sanksi atau
implikasi politik yang harus dihadapi saat pakta integritas itu gagal
diimplementasikan.
Ketiga,
yang tidak kalah penting adalah memulai dari diri sendiri. Setiap capres harus
mampu membuktikan di hadapan publik bahwa dirinya merupakan sosok yang bersih
dari korupsi, antara lain dengan mengumumkan harta kekayaan yang dimiliki
berikut asal usulnya, dan dengan kesediaan untuk ditelusuri track record
dan atau riwayat hidupnya.
Ada
pepatah yang mengatakan “ikan membusuk dimulai dari kepalanya”. Komitmen suatu
rezim untuk memberantas korupsi harus dimulai dari diri sendiri.
Seorang presiden harus mampu membuktikan diri dan keluarganya merupakan
sosok-sosok bersih, anti-korupsi. Saat Presiden dan atau
keluarganya terbukti korup, rakyat tentu akan dengan mudah meniru atau
setidak-tidaknya punya alasan untuk ikut-ikutan korupsi.
Kecerdasan Pemilih
Setiap
korupsi terjadi karena ada kerja sama antara kedua belah pihak, pihak yang
menjalankan korupsi dengan pihak yang bersedia barangnya dikorupsi, ada pihak
yang mau menyuap dan yang mau disuap. Jika yang terjadi hanya kemauan satu
pihak, namanya bukan lagi korupsi, tapi mencuri.
Oleh
karena itu, komitmen untuk menjalankan agenda pemberantasan korupsi harus
dijalankan kedua belah pihak, rezim yang memimpin dan rakyat yang dipimpin. Tak
ada gunanya capres punya komitmen jika rakyat tak memiliki komitmen yang sama.
Jika
para capres sudah berkomitmen untuk memprioritaskan agenda pemberantasan
korupsi dengan menempuh ketiga langkah di atas, yang dibutuhkan kemudian adalah
komitmen publik atau para pemilih untuk benar-benar memilih capres yang sesuai,
yakni berjanji akan menjalankan komitmennya.
Kecenderungan
apakah seorang capres di kemudian hari (setelah terpilih) akan menjadi koruptor
atau tidak, bagi pemilih yang cermat dan cerdas, tentu bisa diketahui
tanda-tandanya dari awal, dari mulai proses penjaringan capres, saat kampanye,
dan saat hari pencoblosan. Jika dalam semua proses ini diwarnai penyuapan dan
kecurangan, tentu capres seperti ini tidak layak dipilih.
Kemauan
dan kecerdasan pemilih menjadi penting untuk merealisasikan agenda
pemberantasan korupsi dalam proses penentuan dan pemilihan capres. Para pemilih
seyogianya tahu secara pasti capres seperti apa yang layak atau tidak layak
dipilih. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar