Minggu, 22 September 2013

Pancasila Tak Sekuler

Pancasila Tak Sekuler
Moh Mahfud MD ;   Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 21 September 2013


Ketika berkeliling di Istanbul, Turki, awal pekan kedua September 2013 ini, saya jadi teringat polemik antara Soekarno dan Natsir tentang hubungan antara negara dan agama yang akhirnya secara konsep bernegara melahirkan modus vivendidalam bentuk dasar negara Pancasila. 

Kisahnya pada akhir 1930- an, Soekarno tiba-tiba menulis sebuah artikel yang memujimuji revolusi Turki di bawah Mustafa Kemal Pasha atau Kemal Attaturk (Kemal sang Bapak Turki). Kata Soekarno, Attaturk telah melakukan revolusi luar biasa dalam mengubah Kerajaan Ottoman Islam menjadi negara Turki sekuler. Menurut Soekarno, agar negara dan agama sama-sama maju, keduanya harus dipisahkan dalam pengurusannya. 

Negara biar diatur oleh hukum-hukum dan konstitusi negara, sedangkan agama biar diurus sendiri oleh pemeluk-pemeluk dan pimpinan agamanya. Negara tak boleh mengatur agama dan syekhsyekh Islam yang kolot tak boleh ikut mengatur negara. Natsir menulis tanggapan atas tulisan Soekarno itu, dengan nama samaran Muchlis, mengkritik keras Soekarno yang tiba-tiba memuji-muji Kemal dan Turki yang membangun negara sekuler sambil menyerang ide negara Islam. 

Kata Natsir, tidak ada salahnya membangun negara Islam sebab Islam mempunyai aturan-aturan yang lengkap untuk mengatur kehidupan umat manusia, termasuk hidup berbangsa dan bernegara. Soekarno mengatakan, umat Islam mengalami kemunduran ketika negara diurus dengan dasar agama karena keduanya kemudian saling mengunci. Kemajuan negara dihambat oleh agama, sedangkan kemajuan agama dihambat oleh negara karena syekh-syekh kolot yang sok tahu. 

Natsir membantah pendapat Soekarno itu dengan mengatakan, tidaklah bisa disamakan antara perilaku pemimpin-pemimpin Islam yang, katanya, kolot dan ajaran Islam. Islam sebagai agama sangat sempurna, tapi manusianyalah yang sering salah menerapkannya. Soekarno bersikukuh bahwa negara harus dipisahkan dari agama, sedangkan Natsir bersikukuh agama perlu disatukan dan dijadikan dasar negara. 

Polemik Soekarno-Natsir ini akhirnya masuk ke dalam perdebatan resmi para pendiri negara yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK). Kelompok yang biasa disebut sebagai ”aliran kebangsaan” yang dipelopori oleh Bung Karno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat mengusulkan negara sekuler, artinya agama dipisahkan dari negara. 

Sedangkan kelompok yang sering disebut sebagai ”aliran Islam” yang dipelopori oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo, Wahid Hasyim, dan Agus Salim mengusulkan negara Indonesia berdasarkan Islam. Karena Sidang Pleno Pertama (29 Mei - 1 Juni 1945) BPUPK tak mencapai kata sepakat sehingga pada 22 Juni 1945, Soekarno bersama delapan anggota BPUPK lainnya menyepakati Piagam Jakarta yang kemudian disahkan oleh Sidang Pleno Kedua BPUPK pada 10-16 Juli 1945. 

Isinya, sila pertama dasar negara Pancasila adalah ”Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya”. Tetapi, pada sidang PPKI, 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, kesepakatan tentang Piagam Jakarta dibatalkan dengan kesepakatan baru yang disebut Pembukaan Undang-Undang Dasar. Sila pertama Pancasila kemudian menjadi berbunyi: ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. 

Tidak ada lagi kata Islam di dalam keseluruhan isi UUD. Terlepas dari kontroversi dan misteri politik yang melahirkan perubahan tersebut, yang jelas kemudian Indonesia lahir bukan sebagai negara sekuler seperti yang menginspirasi Soekarno dari ide Kemal Attaturk dan bukan sebagai negara agama Islam seperti yang diusulkan Natsir. Indonesia lahir sebagai negara Pancasila yang merupakan religious nation state. 

Negara Pancasila yang merupakan modus vivendi (kesepakatan luhur) para pendiri negara adalah negara kebangsaan yang religius. Indonesia tidak didasarkan pada satu agama, tetapi tidak hampa agama. Pemerintahan di Indonesia bukan pemerintahan satu agama, melainkan dijiwai oleh ajaran agama-agama yang dianut oleh rakyatnya. Negara tidak memberlakukan hukum agama, tetapi memproteksi para pemeluknya yang ingin melaksanakan ajaran agamanya. 

Tidak boleh ada perlakuan diskriminatif terhadap rakyat karena pemelukan agama, apalagi berdasarkan pertimbangan mayoritas dan minoritas. Hak beragama adalah forum internumyang tak boleh diganggu oleh siapa pun. Saat di Istanbul itu rasa bangga saya mengembang karena para pendiri negara kita berhasil mengambil jalan tengah, modus vivendi atau mietsaaqon ghaliedzaa,antara gagasan sekuler Attaturk yang diusung Soekarno dan gagasan negara Islam yang diusung Natsir. 

Negara Pancasila adalah prinsip, sistem, dan konsep bernegara yang sesuai fitrah manusia yang memang oleh Sang Khalik diciptakan secara berbeda-beda. Apalagi saat di Istanbul itu saya sering mendengar seruan azan setiap datang waktu salat yang sebenarnya dulu dilarang Kemal Attaturk. Sekarang Turki mulai kembali ke fitrah, resminya tetap negara sekuler, tetapi menghormati kehidupan beragama warganya. 

Negara Pancasila yang diramu Bung Kano dan kawan-kawan melalui modus vivendi yang agung jauh lebih dulu realistis mengambil jalan fitrah yakni tidak secara resmi menjadikan Indonesia sebagai negara agama, tetapi dijiwai oleh semangat luhur agama-agama yang dianut rakyatnya serta melindungi hak asasi rakyatnya untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Itulah landasan Bhinneka Tunggal Ika. ●

-/-t�м��h: 0px; word-spacing:0px'> Pada konteks ini, penting untuk ditelusuri, mengapa Yayasan Al-Hujjah yang didirikan Husein al Habsyi justru tidak terlibat benturan dengan warga yang anti-Syiah? Ada dua hipotesis jawaban yang bisa disodorkan. Pertama, sangat mungkin pendekatan kolaboratif Syiah dan Sunni yang diterapkan Al-Hujjah mampu memediasi potensi konflik. Langkah ini menyusutkan lahan kontroversi maupun pertentangan di akar rumput. 

Kedua, perkembangan Pesantren Darus Sholihin dipandang telah mengancam otoritas atau pengaruh dari individu atau kelompok yang sudah mapan (baca: mayoritas) dibandingkan dengan Yayasan Al Hujjah yang kebetulan lokasinya di kecamatan yang berbeda. Seperti disinyalir seorang pejabat Pemerintah Kabupaten Jember dari Berita Jatim, konflik kepentingan antar-tokoh dan antar-ormas dimungkinkan menjadi motif dibalik desakan pengusiran Ali Al Habsyi, pemimpin Pesantren Darus Sholihin. 

Dua Prinsip 

Kasus Puger menambah beban persoalan konflik sosial yang menghadang di ujung Pemerintahan SBY. Salah satu konteks mikro dari album potret buram kehidupan toleransi beragama di negeri ini. Mengerasnya polarisasi dan eksklusivisme identitas sosial masyarakat merupakan faktor penting yang memicu rentetan konflik sosial. Acapkali distorsi informasi yang direproduksi melalui media internet mempercepat eskalasi kebencian. 

Masyarakat menjadi sangat rentan terbelah dan bersikap eksklusif berdasarkan garis sektarianisme atau kepentingan ideologi politik kelompoknya. Hemat penulis, paling tidak ada dua prinsip yang bisa dijadikan patokan bersama dalam mengelola kebinekaan yang sangat rawan konflik. 

Pertama, pemerintah tidak boleh terperosok (kembali) pada konflik kepentingan sebagai partisan ketika berhadapan dengan konflik sosial berlatar belakang agama. Hukum adalah panglima. Desakan mayoritas tidak bisa menjustifikasi pemerintah bertindak diskriminatif terhadap kelompok-kelompok minoritas meskipun atas nama fatwa keagamaan tertentu. 

Kedua, semua ormas sosial-keagamaan harus menegakkan prinsip-prinsip nonsektarian dan saling menjaga kehormatan kelompok lain dalam mengembangkan bahkan menyebarkan ajarannya. Yang tidak kalah penting, lembaga-lembaga keagamaan hendaknya tidak latah apalagi ceroboh dalam mengeluarkan fatwa mengenai eksistensi kelompok di luar dirinya karena terbukti berdampak sangat serius. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar