Rabu, 04 September 2013

Pajak, Diskon, dan Smartphone

Pajak, Diskon, dan Smartphone
Chandra Budi Bekerja di Ditjen Pajak, Alumnus Pascasarjana IPB
JAWA POS, 04 September 2013



SEBAGAI upaya konkret menstimulasi perekonomian nasional, Kementerian Keuangan telah menerbitkan 4 (empat) peraturan menteri keuangan (PMK) pada Rabu, 28 Agustus 2013. Keempat PMK tersebut pada prinsipnya bertujuan menjaga pertumbuhan ekonomi agar tetap mendekati asumsi APBNP 2013 dan mendorong daya beli masyarakat. Salah satu PMK tersebut mengatur pengurangan angsuran pajak penghasilan (PPh) pasal 25 dan penundaan pembayaran PPh pasal 29 tahun pajak 2013 untuk wajib pajak industri tertentu. 

Di media massa, PMK Nomor 124 Tahun 2013 itu sering disebut sebagai "diskon pajak". Itu sebenarnya insentif pajak berupa pemberian izin kumulatif bagi wajib pajak industri tertentu untuk menyesuaikan angsuran pajaknya agar mendekati kondisi usaha sebenarnya. Sanksi administrasi berupa bunga keterlambatan pembayaran kekurangan pajak di akhir tahun dihapus. Sehingga kebijakan itu tidak akan berpotensi berkurangnya penerimaan pajak (tax loss) bagi Ditjen Pajak, namun lebih ke arah mendukung arus kas (cash flow) perusahaan padat karya untuk jangka waktu tertentu.

Selain itu, Kemenkeu berencana mengenakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) bagi produk smartphone. Tujuannya adalah menekan impor sehingga akan mengurangi defisit neraca perdagangan dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Namun, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menolak dengan mengatakan bahwa smartphone bukanlah barang mewah, tetapi sudah menjadi kebutuhan masyarakat luas sebagai alat komunikasi untuk menunjang aktivitas bisnis mereka.

Pajak sebenarnya tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mengumpulkan penerimaan negara (budgetair), tetapi juga alat pembuat kebijakan (reguleren). Kadang untuk tujuan yang lebih besar, fungsi budgetair itu dikesampingkan, misalnya kebijakan untuk menaikkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang otomatis akan mengurangi penerimaan pajak (tax loss) namun bakal mendukung geliat ekonomi nasional. 

Kebijakan insentif pengurangan angsuran pajak tahun berjalan dimungkinkan karena penentuan besaran angsuran berpedoman pada kondisi keuangan perusahaan tahun lalu, yang tentu sangat fluktuatif di tahun berjalan.Karena itu, sejak 2000 sebenarnya Ditjen Pajak telah membuka kemungkinan untuk pengurangan angsuran pajak tahun berjalan. Yakni, apabila sesudah 3 (tiga) bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak, wajib pajak dapat menunjukkan bahwa total PPh yang akan terutang nanti kurang dari 75 persen dari PPh terutang tahun lalu.

Permohonan pengurangan itulah yang akan diuji Ditjen Pajak dan butuh waktu. Padahal, kekurangan cash flow telah terjadi. Untuk itulah, pemerintah kemudian menerbitkan payung hukum yang mengatur bahwa wajib pajak yang berhak atas insentif pengurangan angsuran tersebut berasal dari rekomendasi kementerian teknis terkait. Sebelumnya, Ditjen Pajak juga pernah menerbitkan aturan pengurangan angsuran pajak tahun berjalan sampai 25 persen untuk masa Januari-Juni 2009 bagi wajib pajak yang terkena dampak krisis ekonomi. Artinya, kebijakan pengurangan angsuran pajak tahun berjalan sebesar 25 persen bagi wajib pajak padat karya serta 50 persen bagi wajib pajak padat karya dan eksporter untuk September-Desember 2013 bukanlah hal baru. Itu berorientasi meringankan kesulitan cash flow perusahaan jangka pendek agar jangan mem-PHK para pegawainya.

Kebijakan yang justru baru adalah penundaan pembayaran kekurangan pajak akhir tahun atau dikenal dengan PPh pasal 29 yang mestinya jatuh pada 30 April 2014. Dengan kebijakan itu, ada waktu luang selama 3 (tiga) bulan, yaitu pada 30 Juli 2014. Terminologi penundaan yang dimaksud dalam kebijakan itu sebenarnya merupakan kebijakan penghapusan sanksi bunga 2 persen per bulan akibat keterlambatan pembayaran PPh pasal 29. Cash flow wajib pajak akan lebih ringan. 

Polemik pengenaan PPnBM untuk produk smartphone sebenarnya dapat diselesaikan apabila semua pihak terkait merujuk definisi barang mewah menurut UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM. Barang mewah didefinisikan sebagai barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok, dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi dan/atau dikonsumsi untuk menunjukkan status seseorang.

Data yang dikutip Merdeka.com (17/12/2012) menyebutkan, dari 237 juta pengguna telepon genggam atau ponsel di Indonesia, baru sekitar 20 persen yang menggunakan smartphone. Artinya, smartphone memang hanya dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi. Harga smartphone terendah sekalipun masih sulit dijangkau oleh kalangan berpenghasilan menengah ke bawah. Ditambah lagi, kepemilikan smartphone turut memengaruhi perubahan gaya hidup seseorang. 

Telepon genggam awalnya dikenai PPnBM, namun seiring dengan perubahan pola kepemilikannya, sejak beberapa tahun terakhir telepon genggam tidak lagi dikenai PPnBM atau tidak lagi termasuk barang mewah. Ke depan, tidak tertutup kemungkinan smartphone bukanlah barang mewah karena memang tidak memenuhi lagi syarat sebagai barang mewah menurut Undang-Undang Perpajakan. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar