Rabu, 04 September 2013

License to War

License to War
Dinna Wisnu Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, 
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 04 September 2013



Seminggu lalu dunia terkejut menyaksikan tayangan yang mengerikan tentang anak-anak di Suriah yang sekarat karena menghirup bom kimia. Pasukan oposisi langsung menuduh bahwa pasukan pemerintah adalah dalang dari serangan itu. 

Mereka menuntut agar Amerika Serikat (AS) menggenapi janjinya untuk menyerang Suriah apabila ditemukan senjata kimia digunakan oleh pemerintah Bashar al-Assad. Pemerintah al-Assad tentu saja langsung menolak tuduhan tersebut. Suriah tidak sendiri, Rusia juga ikut membantah bahwa rezim Assad menggunakan senjata kimia dan menantang AS untuk membuktikannya. Konflik yang berkecamuk di Suriah adalah kasus yang penting di Timur Tengah. 

Sejak Arab Spring yang menumbangkan sejumlah pemimpin negara, Suriah tetap bergeming di bawah kepimpinan Bashar al-Assad. Situasi ini mengingatkan kita ketika AS dan sekutunya mendorong intervensi militer terbatas untuk menggulingkan rezim Khadafi di Libya. Pada saat itu, Rusia dan China juga memberikan veto walaupun pada akhirnya mereka menyetujui. Apakah skenario itu akan juga berlaku kepada Suriah saat ini? Dari sisi geopolitik, Suriah dan Libya memiliki perbedaan yang sangat signifikan. 

Suriah dapat dikatakan sebagai wilayah perantara yang terhubung dengan kepentingan politik Iran. Suriah juga bertetangga dengan Israel, di mana Dataran Tinggi Golan yang dianggap sebagai bagian wilayah Suriah berada di bawah penguasaan Israel. Suriah juga membantu kelompokkelompok bersenjata di Palestina untuk melakukan perlawanan terhadap Israel. Oleh sebab itu, bagi AS dan Israel, mendukung penggulingan rezim Al-Assad menjadi tonggak politik penting untuk menata kawasan sesuai dengan kepentingan politik mereka. 

Tidak heran Suriah mendapat dukungan penuh dari Iran dan Lebanon. Satu alasan yang lebih penting lagi adalah dasar untuk memulai sebuah intervensi atau peperangan. Dalam Just War Theory ada dua prinsip yang harus dipenuhi, yaitu Jus ad Bellum (hak untuk pergi perang) dan jus in bello (hak pelaksana di dalam perang). Hak untuk pergi perang harus disertai dengan bukti permulaan yang cukup (just cause) untuk mengatakan bahwa bukti itu mengancam kepada pihak yang lain. 

Dalam banyak kasus internvensi militer yang dilakukan AS dan sekutu-sekutunya kepada negara lain, bukti yang mengancam itu adalah termasuk kepemilikan atau kemampuan (baik sumber daya, pengetahuan, manajemen, dst) dari satu pihak untuk melakukan hal-hal yang akan membahayakan keamanan dalam negeri AS dan sekutu-sekutunya. Contohnya Iran. AS menganggap Iran dengan segala kemampuan dan kepandaiannya dalam mengelola bahan materi nuklir sebagai sebuah ancaman. 

Dalam kasus Suriah, AS menetapkan penggunaan senjata kimia adalah bukti yang cukup untuk melakukan intervensi. Tenggat itu diputuskan karena dunia tahu ada tujuh negara di dunia yang tidak menjadi anggota Chemical Weapon Convention (CWC) 1997, sehingga tidak memiliki kewajiban untuk menghancurkan atau memberitahu senjata kimia mereka, dan tiga negara itu ada di Timur Tengah yaitu Israel, Suriah, dan Mesir. Walaupun Suriah terikat dengan Protokol PBB untuk tidak menggunakan senjata kimia, hanya CWC yang memiliki mandat konkret untuk membatasi senjata tersebut. 

Oleh sebab itu, ketika terjadi penggunaan senjata kimia di tiga provinsi di Suriah pada awal Agustus, tuduhan langsung mengarah kepada rezim al- Assad. Keengganan Suriah untuk menjadi anggota konvensi membuatnya tersudut, karena asumsi bahwa semua negara yang memiliki senjata kimia tidak mungkin tidak diketahui penyimpanan atau penggunaannya oleh Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons. Suriah sendiri berdalih ia tidak mau menjadi anggota karena Israel sendiri melakukan hal yang sama dan juga karena Israel punya senjata serupa. 

Ditemukannya penggunaan senjata kimia sebagai tenggat keadaan melakukan intervensi ke Suriah adalah keadaan yang cukup untuk memenuhi unsur just cause. Serangan itu hanya akan melemahkan kemampuan rezim al-Assad untuk menggunakan penggunaan senjata kimia. Dalam kata-katanya sendiri, Obama mengatakan bahwa intervensinya adalah untuk “hold the Assad regime accountable for their use of chemical weapons, deter this kind of behaviour and degrade their capacity to carry it out”. 

Meski demikian, dalam kasus Suriah, sekutu-sekutu tradisional Amerika tidak satu suara. Inggris sudah menyatakan tidak akan ikut menyerang dan hanya akan menawarkan solusi diplomatik. Inggris mengatakan harus ada bukti-bukti konkret untuk memulai intervensi dan bukti itu bergantung pada hasil pengesahan di Dewan Keamanan PBB. Mereka bahkan mengatakan, walaupun benar-benar ditemukan senjata kimia, mereka tidak akan ikut bergabung menyerang Suriah. 

Hal yang menarik, proses mengambil keputusan untuk menolak bergabung lewat voting di parlemen juga di luar kebiasaan. Dalam sistim politik Inggris, perdana menteri tidak harus meminta persetujuan parlemen untuk turun perang. Selain memenuhi unsur just cause, sebuah perang juga harus memenuhi unsur keberhasilan. Perang harus dapat membawa keberhasilan untuk menyelesaikan masalah dan tidak memperburuk suasana. Jerman adalah salah satu sekutu AS yang meragukan keberhasilan intervensi militer dalam konflik. 

Dalam kasus Libya, misalnya, Jerman mengatakan bahwa hasil dari intervensi itu tidak dapat diramalkan, sehingga mereka tidak ingin terlibat. Pendapat yang sama juga berlaku kepada Suriah. Tambahan lagi, Jerman memasuki masa pemilu sehingga para kandidat menjauhi aktivitas politik yang berisiko bagi kemenangan mereka. Banyak negara yang meragukan bahwa intervensi di Suriah akan membawa kebaikan selain perang yang berlarut-larut. Suriah adalah negara dengan campuran budaya, suku, hubungan sosial, dan politik aliran. 

Para analis pesimistis bahwa akan ada satu kepemimpinan kuat yang dapat mengikat multietnis di Suriah untuk bersatu; setidaknya tidak dalam kondisi seperti sekarang. Di sisi lain, barisan oposisi penentang rezim Al-Assad juga terdiri atas ratusan bahkan ribuan kelompok kecil bersenjata yang memiliki otonomi dari kelompok lain, bahkan ada dari kelompok tersebut yang punya pimpinan di luar Suriah. 

Dunia sebetulnya sudah memberikan batasan-batasan soal perang atau intervensi militer, baik dari segi etika maupun praktis. Intervensi militer apa pun pasti akan membawa dampak yang negatif, karena tidak tertutup adanya collateral damage atau dampak tidak diinginkan bagi komunitas sipil. 

Memang dunia tidak pernah melarang sebuah perang terjadi, yang ada hanyalah pengaturan bagaimana melindungi hak dari pihak-pihak yang terlibat atau tidak terlibat dalam perang. Kita mungkin hanya dapat bisa berharap bahwa intervensi militer di Suriah tidak terjadi dan semua negara dapat mengutamakan dialog untuk menyelesaikan masalah dan perbedaan perspektif. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar