Selasa, 17 September 2013

Nasib Anak Kebutuhan Khusus

Nasib Anak Kebutuhan Khusus
Muhammad Itsbatun Najih ; Pemerhati Sosial UIN Yogyakarta
KORAN JAKARTA, 17 September 2013


Kecelakaan lalu lintas yang dialami anak musisi Ahmad Dhani, AQJ, 13 tahun, menjadi pelajaran berharga bagi kita untuk memberikan perhatian lebih kepada anak. Media massa ramai mewartakan polisi yang gencar menggelar razia pengguna sepeda motor pelajar. Pun, wacana Gubernur Joko Widodo yang akan memberlakukan jam wajib belajar di DKI Jakarta sebagai respons atas laku anak remaja yang kian mencemaskan. Atas dasar itulah, kini, gairah mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) semakin intens diperbincangkan agar mampu menyelesaikan problem sosial anak perkotaan. 

Joko Widodo pernah berucap Jakarta belum layak bila ingin menjadi KLA lantaran masih banyak kekurangan prasarana di sana-sini. Di samping diperlukan pembangunan fisik, dibutuhkan masterplan yang matang agar KLA tidak sebatas gagah di predikat. Parameter KLA adalah sebuah kota yang bisa memberikan perlindungan, keamanan, dan kenyamanan kepada anak (mulai dari masih di dalam kandungan hingga 18 tahun) sehingga proses tumbuh kembang anak berjalan baik.

Kampanye KLA semakin digencarkan. Pemerintah menarget 100 kabupaten/kota sudah terkategori KLA pada 2014. Beberapa daerah telah menjadi percontohan, semisal Solo, Gorontalo, dan Rembang. KLA mutlak diwujudkan, di samping alasan yuridis, sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap generasi penerusnya. KLA adalah amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dari penjabaran yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28 B (2). Indonesia pun telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada 5 September 1990. 

Anak kerap menjadi pihak terabaikan dari setumpuk masalah sosial perkotaan. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), selama Januari hingga September 2012, kasus tawuran pelajar di wilayah Jabodetabek mencapai 103 kasus. Selain mengakrabi kekerasan, anak terbelit kemiskinan. Kondisi tersebut memaksa mereka menjadi gelandangan dan pengemis. Dari sini, kemudian berhilir pada pengabaian pendidikan dan tempat tinggal. 

DKI Jakarta patut menjadi percontohan menuju KLA dalam dimensi pembangunan fisik. Kartu Jakarta Pintar (KJP), Kartu Jakarta Sehat (KJS), penggratisan biaya pembuatan akta kelahiran adalah parameter dasar menuju KLA. Simbolisasi paling kentara KLA di beberapa kota mewujud pada penambahan ruang bermain, ruang rekreasi, dan ruang terbuka hijau. Di sisi lain, Rembang melakukannya melalui program Desa Ramah Anak (DRA). Didirikan pula Forum Anak Rembang (FAR) sebagai wadah berkreasi dan berpikir kritis. Di Gorontalo, dibentuk Forum Kecamatan Layak Anak. Juga dibangun Taman Botanika yang berfungsi sebagai wahana kreasi anak. Sedang di Solo, diberlakukan jam wajib belajar.

Nasib ABK

Namun, salah satu kekurangan paling kentara konsep KLA adalah belum terlihatnya pemberian perhatian maksimal kepada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). KLA hanya bertumpu pada mereka yang terkategori anak "normal", sedangkan ABK kurang diperhatikan. Padahal, bila merujuk awangan kasar dan definisi ABK, jumlah mereka tak sedikit. Tergolong ABK ialah penyandang disabilitas, autis, indigo, korban bencana. Untuk anak penyandang disabilitas, misalnya, mestinya KLA memberi konsep jelas semisal di setiap sekolah atau perpustakaan disediakan layanan khusus berupa akses buku braille. Perlu pula pengembangan kurikulum muatan lokal semisal pelajaran kebencanaan, utamanya bagi anak yang tinggal di daerah rawan bencana alam. 

Tak sebatas penyandang disabilitas, ABK juga merujuk pada anak yang terbentur problem sosial, hukum, ekonomi, psikologi. Luasnya cakupan ABK mestinya menjadi perhatian utama tatkala KLA dituntut menjamin kesamaan akses terhadap semua anak. Oleh karena itu, KLA memunyai setumpuk tugas yang mestinya antarlintas komponen pemerintah dituntut untuk saling bersinergi dalam memandang lebih seimbang eksistensi ABK.

KLA mestinya menghapus pemidanaan anak. Meski telah memunyai seperangkat hukum yang mengaturnya, senyatanya masih ditemukan perihal anak di bawah umur yang masih dipidanakan. Lebih lanjut, KLA adalah kota yang memastikan tidak ada anak yang mengemudikan kendaraan bermotor ke sekolah. Kasus kecelakaan AQJ perlu menjadi bahan renungan. KLA juga memastikan tidak ada lagi anak yang dipekerjakan di sektor industri, pertanian, jasa, dan rumah tangga. UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 semestinya direvisi lantaran masih mengakomodasi pembolehan mempekerjakan anak seperti di Pasal 69. 

Di bidang kesehatan, KLA juga perlu menyorot anak autis yang jumlahnya mencapai 112 ribu. Ironisnya, hanya di segelintir kota yang menyediakan layanan terapi autis. Penyediaan sarana pendidikan bagi anak autis juga memerlukan dukungan pemerintah. Pasalnya, sekolah khusus bagi mereka tergolong sedikit dan berbiaya mahal. 

Dalam konteks yang lebih luas, KLA seharusnya menjamin penuh hak-hak anak yang terbentur persoalan sosial. Di kota besar, terkira banyak didapat aneka problem yang membelit anak dengan menjadi korban trafficking, narkoba, pelacuran, perceraian. Mereka juga tentunya membutuhkan kepedulian pemerintah melalui rehabilitasi, pendampingan hukum, dan layanan konseling.

Walhasil, tak mudah sebenarnya sebuah kota layak berpredikat KLA. Keriuhan KLA selama ini hanya mengabarkan pembangunan fisik-simbolik berupa taman bermain dan rumah singgah. Itu pun hanya dirasakan bagi anak-anak "normal". Sedangkan pemenuhan perhatian kepada ABK belum bisa dibilang maksimal. Faktanya, gelandangan dan pengemis masih dijumpai. Pekerja anak masih dilegalkan.

Konsep KLA perlu pematangan lagi dengan menyasar seluruh kebutuhan si anak. Oleh karena itu, penulis menilai mewujudkan KLA mutlak melibatkan seluruh instansi pemerintahan dan masyarakat. Karena itu, bukan melulu tugas dinas pertamanan dan tata kota apabila KLA hanya berpatokan sekadar membuat taman bermain anak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar