Selasa, 17 September 2013

Konvensi untuk Memajukan Demokrasi

Konvensi untuk Memajukan Demokrasi
Daddi Heryono Gunawan ; Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, Wakil Sekretaris Pribadi Presiden
KORAN TEMPO, 17 September 2013


“Citra sosok politikus di mata masyarakat yang cenderung terus merosot, justru di zaman demokrasi ini, adalah akibat saja dari proses mandeknya demokrasi di tubuh internal partai politik.”
Sejak semula, cukup banyak kritik yang dilontarkan terhadap rencana penyelenggaraan konvensi Partai Demokrat (PD). Mereka umumnya memandang skeptis rencana konvensi, dan melihatnya tidak lebih sebagai suatu tindakan "akal-akalan", dengan tujuan mendongkrak popularitas PD yang belakangan merosot. Proses konvensi sering kali dituduh sebagai proyek pencitraan belaka, tidak lebih dari itu.
Bagaimanapun harus diakui, kehidupan politik di Indonesia pasca-reformasi memang menunjukkan gejala anomali. Ini bisa dilihat dari gejala bahwa, ketika kondisi demokrasi politik kita secara keseluruhan menunjukkan kemajuan, justru situasi demokrasi politik di tingkat kepartaian malah tidak mengalami perkembangan yang berarti, kalau tidak bisa dibilang mandek.
Lihat saja, Indonesia mendapat banyak pujian dari dunia internasional atas kemajuan demokrasinya. Tapi anehnya, praktek kehidupan politik kepartaian sehari-hari kelihatan tidak mencerminkan kemajuan itu. Seolah-olah ada kesenjangan antara perkembangan di tingkat makro dan mikro dalam kehidupan politik kita. Berdasarkan perkembangan realitas politik seperti ini, penyelenggaraan konvensi PD bisa dilihat dalam dimensi yang lebih positif, yaitu sebagai suatu proses politik yang berpotensi mendorong kemajuan demokrasi di tubuh internal partai.
Mandeknya proses demokrasi di tubuh internal partai selama ini memang telah menjadi sumber dari berbagai penyakit yang menjangkiti partai-partai politik di Indonesia. Itulah sebabnya, umumnya partai politik belum mampu melepaskan diri dari jeratan praktek kolusi dan korupsi, rekrutmen kader dan kepemimpinan partai yang tidak transparan sehingga menyuburkan kekuasaan oligarkis, kesenjangan yang tak terjembatani antara aspirasi konstituen dan kebijakan partai, dan lain sebagainya.
Kalau dicermati, penyakit demokrasi seperti yang disebutkan itu tidak hanya menjangkiti partai-partai yang baru muncul sejak zaman reformasi. Partai-partai berusia tua, yang berkesempatan untuk berkembang lebih matang, juga masih harus bergulat dengan masalah yang sama. Citra sosok politikus di mata masyarakat yang cenderung terus merosot, justru di zaman demokrasi ini, adalah akibat saja dari proses mandeknya demokrasi di tubuh internal partai politik.
Kondisi ini jauh berbeda bila dibandingkan dengan situasi pada 1950-an, ketika para politikus masih memperoleh gengsi yang cukup tinggi di mata masyarakat. Kala itu, para politikus masih dianggap sebagai sosok pembawa pembaruan dengan gagasan-gagasan atau ide-ide yang diperjuangkannya. Tidak mengherankan kalau saat itu, ide-ide dan nilai-nilai menempati posisi tinggi dalam arena perjuangan politik.
Bandingkan saja dengan masa sekarang, di mana ide-ide dan nilai-nilai tidak lagi menjadi yang utama dalam menarik minat para pendukung. Uang tidak jarang malah lebih dipandang ketimbang ide dan gagasan, sehingga sering ada yang bilang politik pada dewasa ini nyaris mengalami kebangkrutan ide.
Proses konvensi
Ada beberapa hal menarik yang bisa dicermati dari penyelenggaraan konvensi PD. Pertama, pemilihan peserta konvensi dilakukan secara semi-terbuka, sehingga peserta konvensi tidak mesti dari internal partai, tapi juga berasal dari luar partai. Walhasil, dari sebelas peserta konvensi terpilih, misalnya, hanya empat orang berasal dari lingkup internal partai, sedangkan tujuh orang sisanya berasal dari luar partai atau independen.
Yang kedua, konvensi dilaksanakan secara transparan, dan yang lebih penting, proses penyelenggaraan serta penetapan pemenangnya melibatkan masyarakat. Pelibatan masyarakat ini, antara lain, dilakukan dengan menjaring pendapat masyarakat lewat survei jajak pendapat. Pengenalan kemampuan peserta konvensi ke publik dilakukan, antara lain, lewat debat publik, termasuk pengenalan visi, misi, dan program strategis si calon.
Itulah sebabnya komite konvensi sebagai penyelenggara kegiatan konvensi, para anggotanya dipilih dari kalangan dalam partai dan juga para tokoh independen yang berada di luar partai. Tercatat, misalnya, dari 17 anggota komite konvensi, sepuluh di antaranya berasal dari luar partai, sedangkan sisanya dari internal partai. Harapannya, konvensi bisa diselenggarakan dengan mengikuti prinsip-prinsip yang telah digariskan sebelumnya, yaitu semi-terbuka, transparan, dan melibatkan masyarakat luas.
Dan yang menarik, proses penentuan pemenang konvensi tidak mengenal "babak penyisihan". Artinya, semua peserta akan mengikuti semua proses konvensi dari awal (September 2013) hingga akhir (April 2014), kecuali yang bersangkutan mengundurkan diri. Dengan demikian, masyarakat bisa berkesempatan menggali secara penuh semua informasi terkait dengan kandidat capres dari awal sampai akhir selama delapan bulan.
Lewat proses konvensi yang lamanya delapan bulan itu, misalnya ada kemungkinan terjadinya "membeli kucing dalam karung" dalam proses pengajuan kandidat capres, bisa diminimalisasi. Sebab, masyarakat sejak awal bisa ikut terlibat dalam memberikan penilaian dari A sampai Z tentang siapa-siapa calon yang akan dimajukan.
Sedangkan bagi kandidat capres, proses konvensi yang cukup lama akan memberikan kesempatan baginya untuk lebih dalam mendengar, mengerti, dan memahami apa keinginan atau aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. Pendek kata, terbuka kemungkinan proses interaksi timbal-balik yang konstruktif antara calon pemimpin (kandidat capres) dan masyarakat.
Semuanya itu pada gilirannya berpotensi mendorong tumbuhnya rasa kepercayaan, kepedulian, dan kepemilikan masyarakat atas kandidat capres, dan yang berimbas pada partai yang bersangkutan. Tentu dengan syarat bahwa masyarakat bisa diyakinkan bahwa proses konvensi betul-betul bisa berjalan di atas prinsip yang telah digariskan. Kalau ini bisa terjadi, proses konvensi bisa memberikan sumbangan bagi semakin tegaknya prinsip demokrasi di tubuh internal partai.
Atas dasar itu, proses konvensi berpeluang menjadi suatu terobosan untuk mempersempit jarak kesenjangan antara perkembangan politik di tingkat makro dan tingkat mikro. Karena potensi positifnya itu, ketimbang memandang negatif dan menuduh penyelenggaraan konvensi PD sebagai proses "akal-akalan" belaka, jauh lebih bermanfaat untuk mencermati, mengawasi, dan mengkritik keseluruhan proses konvensi agar arahnya tetap berjalan lurus sesuai dengan prinsip yang telah ditetapkannya sendiri.

Bagaimanapun, apabila konvensi ini berhasil, banyak hal yang bisa digulirkan dari situ, termasuk memajukan demokrasi di tubuh internal partai. Ini tentu saja suatu inisiatif politik yang positif. Dan tentu, konvensi PD bukan satu-satunya model inisiatif politik. Tentu masih banyak model lainnya yang mungkin dikembangkan oleh partai-partai lainnya di Indonesia, dalam rangka terus mengembangkan kehidupan demokrasi di Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar