Rabu, 18 September 2013

Kaukus Anti-Korupsi DPD

Kaukus Anti-Korupsi DPD
I Wayan Sudirta  ;    Ketua Kaukus Anti-Korupsi DPD,
Narasumber lokakarya Akuntabilitas USAID-JPIP di Denpasar, 16 September 2013
JAWA POS, 18 September 2013


DESENTRALISASI anggaran serta otonomi kewenangan sering disebut sebagai salah satu sumber korupsi kepala daerah maupun legislatif. Hingga Juli 2013, tercatat 298 orang di antara 524 kepala daerah di Indonesia tersangkut kasus korupsi, baik yang sudah terpidana inkracht, dalam proses banding atau kasasi, tersangka, maupun saksi. Sementara itu, di kalangan anggota DPR, DPRD provinsi/kabupaten/kota, tercatat 290 orang terjerat kasus korupsi. 

Sebagai wakil daerah di Senayan, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sering mendapat pengaduan dan aspirasi dari aktivis LSM antikorupsi di daerah. Mereka mengeluh karena kinerja kejaksaan dan kepolisian disebut-sebut lamban, terkesan tebang pilih, dan keras kepada korupsi-korupsi kecil serta pelaku-pelaku ''kelas teri'', diduga mempermainkan hukum untuk kepentingan oknum si aparat hukum, dan sebagainya. 

Dalam tugas-tugas reses ke daerah, kami sering menangkap dan menyerap aspirasi masyarakat, bagaimana agar dibentuk KPK daerah. Sebab, masyarakat kurang yakin kepolisian dan kejaksaan bisa menuntaskan kasus-kasus besar. Pasti mangkrak, jadi permainan, ditangani secara tebang pilih, diwarnai SP-3,atau sejenis itu. Masyarakat juga menuntut KPK melakukan supervisi ke daerah dengan menempatkan tenaga supervisi secara permanen di setiap provinsi guna memonitor dan memperkuat kepolisian dan kejaksaan.

Menjawab aspirasi serta kasus-kasus korupsi daerah yang dialamatkan ke DPD, saya sebagai salah seorang anggota DPD dari Bali memprakarsai dibentuknya Tim Kerja Penanggulangan Korupsi DPD, yang belakangan diberi nama Kaukus Anti-Korupsi di DPD. Kaukus itu didukung total 91 anggota DPD se-Indonesia. Dukungan para senator itu menggambarkan bahwa mereka berkomitmen terhadap daerah yang diwakili. Maklum bila ada kekhawatiran rekomendasi DPD akan menjadi tumpukan kertas semata-mata. Karea itulah, kami menjalin komunikasi dan kerja sama dengan KPK, melalui nota kesepahaman yang ditangangani oleh petinggi dua lembaga tersebut pada 2008. 

Kami juga menyusun semacam SOP untuk standar pengawasan yang baik agar DPD tidak dicap sebagai lembaga yang bisa dipesan kelompok tertentu untuk kepentingan-kepentingan di luar aspirasi publik. Kaukus Anti-Korupsi merekomendasi KPK agar mengambil alih atau melakukan supervisi terhadap laporan dan pengaduan korupsi daerah yang masuk ke DPD dengan sejumlah syarat. 

Pertama, kasus-kasus yang ditangani kejaksaan atau kepolisian, yang sudah ada tersangkanya, namun mandek, lamban, atau berlarut-larut. Kedua, berdasar analisis terhadap data yang disampaikan oleh masyarakat, ditemukan indikasi kuat adanya pelanggaran-pelanggaran yang cukup, tetapi masih memerlukan pendalaman dengan alat-alat bukti yang lain, maka kasus seperti itu diteruskan ke KPK. Di luar dua syarat tersebut, pengaduan masyarakat ke Kaukus Anti-Korupsi diminta untuk didalami dan dilengkapi lagi.

Berdasar SOP tersebut, DPD telah merekomendasikan puluhan kasus korupsi di daerah ke KPK. Sebab, secara hukum, memang sudah cukup unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam kasus yang direkomendasikan, KPK menyambut baik dan menindaklanjuti kasus-kasus tersebut, yang di antaranya macet, lamban, ataupun berlarut-larut di penegak hukum daerah. Tindak lanjutnya tentu sesuai dengan mekanisme yang diatur UU, bisa berupa pengambilalihan ataupun supervisi untuk memperlancar penanganan kasus di kepolisian atau kejaksaan.

Untuk menyebut beberapa kasus yang direkomendasikan DPD ke KPK adalah penyimpangan penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin) di Kabupaten Tangerang, Banten, dengan perkiraan kerugian negara Rp 10,71 miliar. Kemudian, dugaan penyimpangan dana APBD 2004-2007 untuk pembangunan jalan lingkar selatan di Kabupaten Tangerang dengan perkiraan kerugian negara Rp 28,76 miliar. Selain itu, terdapat dugaan penyimpangan penyaluran belanja bantuan keuangan APBD 2006-2007 untuk kegiatan Persatuan Sepak Bola Gorontalo sebesar Rp2,65 miliar, serta dugaan penyimpangan penyaluran belanja bantuan keuangan APBD 2006-2007 kepada Hulodalangi Film Production untuk pembuatan sinetron sejarah Gorontalo Rp 3,5 miliar. Selain itu, dugaan penyimpangan dana bantuan korban konflik di Maluku dengan perkiraan kerugian negara Rp1,425 miliar. Terakhir adalah dugaan penyimpangan proyek outsourcing CMS PT PLN distribusi Jawa Timur dengan perkiraan kerugian negara Rp152,6 miliar.

DPD berusaha memaksimalkan kewenangan di bidang pengawasan. Karena itu, kalau DPD membuat nota kesepahaman dengan KPK untuk penanganan kasus-kasus korupsi di daerah, itu semua sejalan dengan aspirasi dan kepentingan rakyat daerah. 

Akan menjadi dosa moral luar biasa kalau DPD tidak menyambut dan tidak membantu kawan-kawan aktivis LSM antikorupsi di daerah menyampaikan aspirasi mereka ke KPK. Lagi pula, para aktivis antikorupsi tersebut bekerja suka rela tanpa gaji, sekaligus menanggung ancaman, dan risiko yang sangat besar. 

Ke depan, Kaukus Anti-Korupsi DPD berupaya kian responsif. Nota kesepahaman KPK dengan DPD masih berlangsung dan secara berkala ada rapat koordinasi di antara dua lembaga tersebut. Terlebih lagi, kanker korupsi di tubuh republik ini masih belum bisa dijinakkan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar