Rabu, 18 September 2013

Belajar dari Kota Ramah HAM

Belajar dari Kota Ramah HAM
A Kholiq Arief  ;     Bupati Wonosobo, Jateng
JAWA POS, 18 September 2013


 ini sudah memasuki era reformasi dan demokrasi sejak 15 tahun silam. Dalam pelaksanaan hak asasi manusia (HAM), kondisinya mengalami kemajuan dari waktu ke waktu meski ada beberapa kasus yang mengganggu. Langkah meratifikasi HAM PBB hingga memberlakukan UU HAM pada 1999 menjadi kekuatan guna mendorong terwujudnya praktik kehidupan keseharian masyarakat dan negara yang lebih baik sekaligus mencegah praktik-praktik pelanggaran HAM.

Ide besar HAM ini perlu diterjemahkan dari level negara ke posisi/ranah lokal dengan menjadikan kabupaten/kota HAM (human rights city). Warga ditempatkan pada posisi terpenting dalam setiap proses pembangunan. 

Untuk menerapkannya, perlu perincian. Salah satu indikatornya, kota yang ramah kepada pejalan kaki dan penyandang difabilitas. Hal ini menyangkut kondisi infrastruktur jalan, trotoar, hingga tata kota yang memihak kepentingan semua kalangan, termasuk warga difabel. 

Selain itu, anak-anak dan kaum manula akan menerima keramahan dalam akses dengan tersedianya ruang terbuka hijau serta taman-taman bermain yang memadai. Aspek keamanannya kondusif untuk ukuran kehidupan yang nyaman. Sehingga, setiap warga bebas beraktivitas tanpa harus dibayangi ketakutan dan kekhawatiran atas, misalnya, tindak kriminalitas. 

Indikator lain sebagai syarat human rights city adalah perbaikan layanan oleh pemerintah. Dengan demikian, praktik pelayanan publik bisa lebih efektif, transparan, dan akuntabel. Kesadaran masyarakat untuk hidup bersama dalam perbedaan suku, agama -termasuk mazhab/paham dalam beragama-ras, hingga perbedaan warna kulit dan bahasa pun terdorong. Keragaman bukan menjadi masalah, tapi sebaliknya akan menjadi rahmat.

Warga negara atau setiap individu dijaga dari ancaman pelanggaran HAM. Baik yang dilakukan negara terhadap warganya maupun antarsesama warga kabupaten/kota tersebut. 

Contoh kota ramah HAM adalah Gwangju, Korsel. Kota ini pernah terkenal dengan tragedi pelanggaran HAM yang dilakukan tentara dan polisi (negara) terhadap pelajar dan mahasiswa pada 1990. Hikmahnya, pemerintah kota dan lembaga legislatifnya telah mengesahkan city ordinance yang menetapkan ciri dan kewajiban sebagai kota hak asasi manusia (the Gwangju metropolitan city for democracy, human rights, and peace development ordinance) pada 15 Mei 2007. 

Gwangju menjadi bagian aktif dari gerakan global kota-kota hak asasi manusia bersama Kota Barcelona (Spanyol), Montreal (Kanada), Saint Denis (Prancis), dan Porto Alegre (Brasil). Kota-kota ini mencoba mewujudkan kota hak asasi manusia.

Sejak 1990-an, ide menjadikan kota ramah HAM merebak. Di antaranya, pada komitmen dan kesepakatan the European Charter for the Safeguarding of Human Rights in the City yang ditandatangani 350 kota Eropa di Saint Denis pada 2000.

Ada juga World Charter on the Right to the City yang disepakati the World Social Forum di Porto Alegre, 2001. Pun pelajaran berharga datang dari the Charter of Rights and Responsibilities of Montreal pada 2006. Tahun lalu, Gwangju memperkuat tekad itu lewat the Gwangju Human Rights Charter 2012. 

Ketika saya mengikuti konferensi internasional kota HAM sedunia di Gwangju, Mei 2013, konsep-konsep human rights city itu lebih dimantapkan. Hampir semua peserta dari 45 negara di dunia juga mendorong PBB untuk menarik isu global tersebut ke ranah lokal kabupaten/kota. Meski syarat-syarat memang tidak terlampau sulit, benar-benar dibutuhkan komitmen pemimpinnya agar terwujud. Sekali lagi, kata kunci dari ide gagasan ini adalah penempatan warga masyarakat sebagai warga merdeka yang dapat hidup layak dan bermartabat dalam sebuah daerah kabupaten/kota. 

Sebagai bupati Wonosobo hingga 2015, saya terus berupaya maksimal mempersiapkan Wonosobo sebagai kabupaten HAM. Tentu saja dengan mewujudkan infrastruktur dasar sesuai basic needs warga, terutama mengarah kepada pelayanan infrastruktur yang ramah terhadap anak, lansia, dan difabel. Selain itu, berupaya maksimal dengan memperbaiki pelayanan publik melalui konsep one roof local government yang merupakan kanal akhir dari rencana besar reformasi birokrasi.

Meski faktor keamanan dan harmonisasi sosial berjalan di sana sejak awal kepemimpinan (delapan tahun terakhir sejak 2005), akan terus ditingkatkan kualitasnya. Harapannya, kenyamanan itu berpengaruh positif untuk menyelesaikan pekerjaan lain dari aspek politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sosial budaya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar