Kamis, 19 September 2013

Dekolonisasi Hutan

Dekolonisasi Hutan
Barid Hardiyanto  ;  Deputi Sekjen Paguyuban Petani Hutan Jawa,
Mahasiswa Pascasarjana Magister Administrasi Publik Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
KOMPAS, 19 September 2013


Awalnya, masyarakat leluasa masuk hutan dan mengakses sumber daya hutan. Lalu mereka membangun rumah dan bercocok tanam. Namun, kekuatan yang lebih besar, sebutlah kerajaan dan kemudian penjajah Belanda, mengatur serta menuntut upeti dari mereka dan akhirnya mengeksploitasi hutan secara besar-besaran (Peluso, 2006).
Pengelolaan hutan di Jawa berjalan lebih sentralistis di tangan Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, tahun 1808. Ia mendirikan Administrasi Kehutanan (Administratie der Bosschen), sejenis Jawatan Kehutanan, dan sejak itulah negara memonopoli hutan sekaligus menghapus hak milik umum atas hutan.
Tahun 1830, di bawah Gubernur Jenderal Van den Bosch, Belanda menerapkan Cultuurstelsel (sistem tanam paksa). Petani-petani Jawa dipaksa menggunakan sebagian tanah garapan dan sebagian dari tenaga kerjanya untuk membudidayakan tanaman kopi, nila, dan tebu. Masyarakat kehilangan lahan garapan dan, kalaupun ada, tidak sempat lagi mengerjakan tanahnya.
Meski pemerintah kolonial kurang menaruh perhatian terhadap sumber daya hutan, pada masa ini untuk pertama kalinya lahir undang-undang kehutanan untuk Jawa dan Madura yang dinamakan Boschordonantie voor Java en Madoera 1865.
Tahun 1870, Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet), yang di dalamnya terdapat bab Domeinverklaring yang menetapkan batas kawasan hutan yang dikuasai negara, dalam hal ini Boschwezen (Jawatan Kehutanan).
Jawatan kehutanan membatasi akses dan pemanfaatan hutan oleh masyarakat. Pengambilan kayu dari hutan harus seizin polisi hutan. Penataan batas dan petak-petak hutan dilakukan dengan memindahkan permukiman penduduk yang semula tersebar di dalam hutan ke satu daerah. Perluasan hutan jati dilakukan dengan mengambil alih tanah-tanah kerajaan dan merampas tanah-tanah penduduk.
Saat Jepang berkuasa, fokusnya adalah mencukupi kebutuhan pangan tentara Jepang. Di bidang kehutanan, Jepang hanya meneruskan hukum dan peraturan perundang-undangan bentukan pemerintah kolonial Belanda, terus mengeksploitasi hasil hutan di bawah wewenang Sangyobu (Departemen Ekonomi) dan Zoosen Kyo Ku (Departemen Perkapalan) serta membuka lahan hutan besar-besaran untuk palawija.
Setelah merdeka
Pasca-kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia tak banyak mengubah penataan hutan. Tahun 1952, dibentuk Jawatan Kehutanan yang menguasai tanah-tanah negara yang ditetapkan sebagai kawasan hutan. Tahun 1960, keluar Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang memberi akses masyarakat kepada sumber daya alam dan mengamanatkan land reform.
Namun, UU ini diingkari dengan keluarnya undang-undang sektoral di bidang kehutanan pada masa Orde Baru, yakni UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan yang isinya bertentangan dengan semangat UUPA. UU ini menegaskan peran Perhutani sebagai pengelola hutan negara di Jawa.
Pada masa Reformasi 1998, terjadi pengambilan sumber daya hutan besar-besaran. Namun, kejadian ini tidak membuat pemerintah sadar telah menyakiti masyarakat. Tahun 1999, pemerintah mengeluarkan UU No 41/1999 tentang Kehutanan yang menggantikan UU Kehutanan No 5/1967.
UU No 41/1999 dan membatasi masyarakat pinggir hutan dalam mengakses hutan. Pada masa ini, konflik tenurial antara petani penggarap dengan Perhutani meningkat karena Perhutani tidak mengakui kepemilikan dan penguasaan tanah masyarakat.
Lembaga Bantuan Hukum Semarang pada 2005 mencatat sembilan kasus tanah berbasis hutan, dengan total luas lahan yang disengketakan 1.039,59 hektar. Tahun 2006, kasus tanah hutan meningkat menjadi 16 kasus dengan total luas lahan yang disengketakan lebih dari 1.722, 59 hektar.
Adapun tahun 2007, sengketa tanah bertambah 14 kasus dengan tambahan luas lahan seluas 601,58 hektar di sembilan wilayah kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Pada 2008, ada 41 kasus yang terjadi di 18 kabupaten/kota dengan jumlah korban 7.414 kepala keluarga. Kasus demi kasus terus berlangsung sampai sekarang. Terakhir, dua pemimpin organisasi tani di Banjarnegara dan Ngawi ditangkap polisi dan dibui.
Upaya dekolonisasi
Memasuki wilayah hutan Rajabasa (nama disamarkan) tampak ”kemegahan” sekretariat Serikat Petani Organisasi Tani Lokal (OTL) Rajabasa. Sekretariat ini menjadi simbol bahwa lahan yang dulu dikuasai Perhutani telah kembali ke masyarakat Desa Rajabasa.
Menurut warga, dulu wilayah tersebut adalah permukiman penduduk. Tahun 1918, masyarakat diusir Belanda dan ”ditampung” di daerah yang lebih rendah. Pengusiran didahului dengan ditariknya surat ”cap Singa” yang dianggap sebagai ”bukti pemilikan” lahan. Bukti bahwa masyarakat pernah tinggal di sana, salah satunya, adalah kuburan di tengah hutan.
Tahun 2000, warga memasuki wilayah hutan, dimulai dengan ajakan kepada masyarakat yang tidak mempunyai tanah untuk mendaftar sebagai anggota serikat tani. Ada 1.200 pendaftar dan mereka mendapat lahan lewat pengundian, rata-rata 1-3 hektar.
Mereka mengelola lahan dengan sistem ”kebon”, yakni menanam beberapa macam tanaman, seperti kopi, kelapa, albasia, dan karet. Hasilnya relatif bagus. Model hak kelola rakyat ini membuat masyarakat sejahtera sekaligus mengamankan dan melestarikan hutan.
Setelah 10 tahun, rata-rata warga sudah memiliki rumah senilai Rp 100 juta, bisa menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi, mempunyai motor bahkan mobil, dan bisa naik haji. Kondisi yang baik pada pengelolaan hutan model rakyat ini membuktikan bahwa hutan rakyat telah membuat masyarakat sejahtera sekaligus melestarikan hutan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar