Kamis, 19 September 2013

Hak Hidup dan Pidana Mati

Hak Hidup dan Pidana Mati
Manunggal K Wardaya ;  Dosen Fakultas Hukum Unsoed, Alumnus Monash University Law School Melbourne Australia, PhD Researcher pada Radboud Universiteit Belanda
SUARA MERDEKA, 19 September 2013


BERKAIT Hari kebebasan Pers Sedunia tanggal 3 Mei lalu, jurnalis Tanah Air memperingati keterampasan hak hidup sejumlah rekan mereka dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat tak kurang dari 55 jurnalis menjadi korban kekerasan sepanjang 2011-2012.
Masih misteriusnya kasus terbunuhnya Munir dan aneka perampasan hak hidup dalam pelanggaran HAM berat masa lalu yang lain jadi catatan tersendiri menjelang akhir pemerintahan Presiden SBY. 

Tulisan ini membahas mengenai hak hidup sebagai hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, dan kontekstualitasnya dalam permasalahan kebangsaan. Tulisan ini terasa relevan setelah Rakernas Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta pidana mati bagi koruptor.

Di antara sekian banyak klausul dan muatan hak asasi manusia (HAM) dalam UUD 1945 hasil amendemen terbilanglah pasal yang secara spesifik mengatur mengenai HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Hak itu adalah Pasal 28I Ayat (1) yakni hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut berdasar hukum yang berlaku surut.

Pemahaman Pasal 28I tak dapat dilepaskan dari perjanjian internasional HAM yang mengatur mengenai hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (nonderogable rights). Hal itu termaktub dalam Pasal 4 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Secara ringkas disebutkan bahwa dalam keadaan tertentu, negara peserta dapat menunda atau mengurangi penikmatan hak-hak yang ada di dalam ICCPR. Yang dimaksud ‘’keadaan tertentu’’adalah ketika negara dalam keadaan darurat. Namun tidak semua keadaan genting dapat menjadi pembenar adanya penundaan atau pengurangan HAM. Hanya bila memang dikehendaki oleh keadaan maka suatu hak tertentu bisa dikurangi penikmatannya.

Selanjutnya, Pasal 4 (2) ICCPR menyebutkan dalam keadaan darurat sekalipun, meskipun suatu negara dalam keadaan darurat, tidaklah diperbolehkan ada penundaan atau pengurangan terhadap hak-hak tertentu. Hak-hak tertentu tersebut adalah sejumlah hak dalam beberapa pasal ICCPR yang termasuk non-derogable rights.

Rinciannya adalah hak hidup, hak untuk tidak disiksa, tidak diperlakukan kejam dan merendahkan, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipenjara hanya karena ketidakmampuan memenuhi kontrak, hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut, hak atas pengakuan di muka hukum, dan hak berkeyakinan dan beragama.

Khusus tentang hak hidup, Pasal 6 (1) ICCPR mengingatkan supaya hak itu, bila masih akan dipertahankan, hendaklah berkait kejahatan yang paling serius saja dan harus sesuai hukum yang berlaku. Pada titik ini, penilaian serius atau tidak kejahatan korupsi sebagai suatu kejahatan akan memengaruhi penilaian rekomendasi Rakernas MUI tentang hukuman mati bagi koruptor.

Pidana Mati

Rumusan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 memiliki semangat sama dengan ICCPR, yaitu terdapat beberapa hak dan kebebasan asasi manusia, sebagai hak yang tak dapat dikurangi penikmatannya dalam keadaan apa pun.

Hak hidup acap dihubungkan dengan pro dan kontra pidana mati, padahal sesungguhnya hak hidup memiliki konotasi lebih luas. Kewajiban negara untuk mereduksi angka kematian ibu dan anak dalam proses persalinan merupakan satu contoh negara harus aktif melindungi nyawa tiap orang dalam wilayahnya.

Negara harus mengupayakan tak ada orang mati karena kelaparan, kurang gizi tidak saja disebabkan kemiskinan namun juga karena kemenurunan kualitas hidup berkait kemiskinan yang disebabkan oleh korupsi.

Menggunakan perspektif hak asasi manusia, kecelakaan karena dibiarkannya kondisi jalan yang buruk harus dipandang sebagai ketidaksungguhan negara menjalankan kewajiban konstitusional melindungi hak hidup warga. Termasuk perampasan hak hidup warga, terlebih secara sewenang-wenang, sebagaimana kasus Cebongan Sleman DIY.

Tidak terselesaikannya aneka persoalan pelanggaran HAM yang berkait hak hidup sebagaimana penghilangan paksa aktivis 1997/1998, penembakan mahasiswa Trisakti, kasus Munir dan aneka pelanggaran HAM berat yang lain merefleksikan pengabaian negara terhadap hak hidup. Perlindungan HAM yang masih buruk terkait hak hidup di negara ini memberi pesan penting bahwa negara masih harus didorong dan diawasi supaya lebih serius melindungi hak hidup warga.

Tekanan dan kontrol dari rakyat, baik melalui lembaga perwakilan maupun sarana komunikasi politik lain, diharapkan bisa menggerakkan negara untuk melakukan tindakan antisipatif atau represif bersaranakan hukum pidana. Upaya itu supaya makin sedikit nyawa melayang, dan mereka yang merampas nyawa atau mengakibatkan terampasnya nyawa bertanggung jawab di muka hukum.

Argumen konstitusionalnya jelas, yakni segenap warga menyerahkan diri untuk memasuki kehidupan bernegara supaya terlindungi segenap tumpah darahnya, bukan sebaliknya yaitu keterampasan hak paling dasar justru ketika dalam keadaan bernegara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar