Solusi
Bukan Postulat
JE
Sahetapy ; Guru Besar (Emiritus) Unair
SUMBER
: KOMPAS,
24 Mei 2012
Beberapa hari yang lalu saya diberi fotokopi
artikel di Kompas (26 April dan 3 Mei 2012) tentang adanya usaha untuk
”menghukum putusan pengadilan”.
Reaksi dari kedua penulis tersebut—tentang
ketidaksetujuan mereka—dapat dimengerti. Namun, argumentasi mereka cuma
berkutat pada postulat eksistensi pengadilan yang mandiri dan karena itu tidak
bisa diintervensi.
Postulat pengadilan yang mandiri atau
independen sudah (cukup) lama sekali diketahui bukan hanya oleh para mahasiswa
S-1 fakultas hukum, melainkan juga oleh masyarakat di akar rumput. Namun,
postulat itu bukan persoalan kardinal, seperti yang juga dibahas dalam buku Wrongful Conviction. International Perspectives
on Miscarriages of Justice yang diedit oleh C Ronald Huff dan Martin Killias
(Temple University Press, Philadelphia,
2008).
Sepanjang yang diketahui, di Indonesia kasus
salah atau keliru mengadili yang terkenal adalah kasus Sengkon dan Karta. Mereka
diketahui tidak bersalah setelah putusan Mahkamah Agung (MA) mempunyai kekuatan
hukum tetap. Itu pun setelah bertahun-tahun mereka menderita di lembaga
pemasyarakatan (LP).
Dalam perspektif internasional, putusan
pengadilan yang salah atau keliru tercatat seperti kasus ”the Dreyfus affair abad ke-19” (Chapman
1955), kasus ”Scottsboro boys”
pada 1920-an (Carter, 1969), ”The Lindbergh baby kidnapping” pada
1930-an (Kennedy, 1985), dan Randall
Dale Adams yang hampir dieksekusi mati (Adams,
1991).
Perlu Terus Belajar
Jadi, yang dipersoalkan saat ini bukan
postulat eksistensi pengadilan yang mandiri, melainkan putusan-putusan
pengadilan yang disusupi uang penyuapan, pemerasan, rekayasa, KKN, dan ”power by remote control”. Rakyat di akar
rumput ingin suatu pengadilan yang bukan hanya mandiri, melainkan juga yang
bersih dan yang putih seperti salju. Apa itu mungkin?
Mengapa sampai rakyat kecil sulit membedakan
kesalahan prosedural atau salah menerapkan KUHAP, salah menginterpretasi hukum
pidana atau UU Korupsi, dan atau kekeliruan menginterpretasi fakta dan
faktor-faktor nonhukum lainnya? Mungkin ini karena ulah penyidik atau penuntut
umum yang tidak profesional atau hakim itu sendiri tak becus atau tidak
mandiri/profesional. Jadi, yang dipermasalahkan bukan kemandirian pengadilan.
Simak sendiri hasil uji Komisi Yudisial bertalian dengan calon-calon hakim MA.
Dalam buku W van Gerven (1973) berjudul Het beleid van de rechter (Kebijakan
Seorang Hakim) dapat dibaca: ”...een
jurist op weg, niet een die voortdurend meent dat hij al aangekomen is.”
Terjemahan bebasnya: seorang sarjana
hukum (baca: hakim) yang selalu
mengira bahwa ia sudah tiba (selesai studi) adalah kesimpulan yang keliru. Bukankah dalam bahasa Belanda ada
ungkapan lain: ia sudah ”afgestudeerd”
(sudah selesai S-1, S-2, atau S-3), tetapi ”nog
niet uitgestudeert” alias masih harus terus belajar/membaca tanpa batas
waktu.
Di sinilah kelemahan mereka (S-1, S-2, S-3)
yang tidak KKN, pengetahuannya tidak bertambah/berkembang. Kalau di dunia
kedokteran, para dokter wajib ikut seminar ilmiah/konferensi perkembangan ilmu
kedokteran. Tidak ikut, izin praktik tidak diperpanjang.
Wajib Diingatkan
Di media massa nasional cukup pedas kritik
atas putusan-putusan hakim yang dinilai
khalayak tak berpihak pada keadilan,
terutama menyangkut kasus korupsi. Bahkan, survei harian ini (Kompas, 9
November 2009) memperlihatkan, 89,9 persen responden percaya bahwa keputusan hukum
di Indonesia dapat dibeli dengan uang. Mereka yang tak percaya hanya 8,5
persen.
Kritik dan ketidakpuasan atas putusan-putusan
hakim tersebut oleh kedua penulis yang tidak setuju ”menghukum putusan
pengadilan” pada awal tulisan ini tidak mereka kritisi (diabaikan). Saya dapat
mengerti posisi mereka, tetapi saya wajib mengingatkan mereka jika mereka
anggap diri mereka akademisi.
Boleh jadi muncul pertanyaan: lalu solusi
sampeyan apa? Saya usul sederhana saja, yakni pendidikan ulang dalam hukum,
etik, dan moral secara kontinu pada para hakim di semua tingkat.
Di sini saya kutip pidato Dr A Heyder saat
menerima jabatan guru besar dalam ”Kritieke
zones in de strafrechts wetenschappen” (Kluwer 1970). Katanya, ”Als het in de strafrechtspleging gaat om
gedragsbeinvloeding en conflictoplossing, kan men de normatief systematische
benadering niet langer centraal stellen.” Artinya, ”Kalau dalam penyelenggaraan (baca: penegakan) hukum pidana untuk memengaruhi perilaku dan menyelesaikan konflik,
tidak dapat lagi menggunakan secara terpusat pendekatan sistematis normatif.”
Mungkin ada yang bertanya: mengapa? Jawaban
saya, meminjam ungkapan Herman Bianchi (1985)—seorang guru besar kriminologi di
Belanda: apa Anda tidak tahu bahwa ”strafrecht
is een slecht recht” alias hukum pidana adalah hukum yang jelek! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar