Kamis, 24 Mei 2012

Solusi Bukan Postulat


Solusi Bukan Postulat
JE Sahetapy ; Guru Besar (Emiritus) Unair
SUMBER :  KOMPAS, 24 Mei 2012


Beberapa hari yang lalu saya diberi fotokopi artikel di Kompas (26 April dan 3 Mei 2012) tentang adanya usaha untuk ”menghukum putusan pengadilan”.

Reaksi dari kedua penulis tersebut—tentang ketidaksetujuan mereka—dapat dimengerti. Namun, argumentasi mereka cuma berkutat pada postulat eksistensi pengadilan yang mandiri dan karena itu tidak bisa diintervensi.

Postulat pengadilan yang mandiri atau independen sudah (cukup) lama sekali diketahui bukan hanya oleh para mahasiswa S-1 fakultas hukum, melainkan juga oleh masyarakat di akar rumput. Namun, postulat itu bukan persoalan kardinal, seperti yang juga dibahas dalam buku Wrongful Conviction. International Perspectives on Miscarriages of Justice yang diedit oleh C Ronald Huff dan Martin Killias (Temple University Press, Philadelphia, 2008).

Sepanjang yang diketahui, di Indonesia kasus salah atau keliru mengadili yang terkenal adalah kasus Sengkon dan Karta. Mereka diketahui tidak bersalah setelah putusan Mahkamah Agung (MA) mempunyai kekuatan hukum tetap. Itu pun setelah bertahun-tahun mereka menderita di lembaga pemasyarakatan (LP).

Dalam perspektif internasional, putusan pengadilan yang salah atau keliru tercatat seperti kasus ”the Dreyfus affair abad ke-19” (Chapman 1955), kasus ”Scottsboro boys” pada 1920-an (Carter, 1969), ”The Lindbergh baby kidnapping” pada 1930-an (Kennedy, 1985), dan Randall Dale Adams yang hampir dieksekusi mati (Adams, 1991).

Perlu Terus Belajar

Jadi, yang dipersoalkan saat ini bukan postulat eksistensi pengadilan yang mandiri, melainkan putusan-putusan pengadilan yang disusupi uang penyuapan, pemerasan, rekayasa, KKN, dan ”power by remote control”. Rakyat di akar rumput ingin suatu pengadilan yang bukan hanya mandiri, melainkan juga yang bersih dan yang putih seperti salju. Apa itu mungkin?

Mengapa sampai rakyat kecil sulit membedakan kesalahan prosedural atau salah menerapkan KUHAP, salah menginterpretasi hukum pidana atau UU Korupsi, dan atau kekeliruan menginterpretasi fakta dan faktor-faktor nonhukum lainnya? Mungkin ini karena ulah penyidik atau penuntut umum yang tidak profesional atau hakim itu sendiri tak becus atau tidak mandiri/profesional. Jadi, yang dipermasalahkan bukan kemandirian pengadilan. Simak sendiri hasil uji Komisi Yudisial bertalian dengan calon-calon hakim MA.

Dalam buku W van Gerven (1973) berjudul Het beleid van de rechter (Kebijakan Seorang Hakim) dapat dibaca: ”...een jurist op weg, niet een die voortdurend meent dat hij al aangekomen is.” Terjemahan bebasnya: seorang sarjana hukum (baca: hakim) yang selalu mengira bahwa ia sudah tiba (selesai studi) adalah kesimpulan yang keliru. Bukankah dalam bahasa Belanda ada ungkapan lain: ia sudah ”afgestudeerd” (sudah selesai S-1, S-2, atau S-3), tetapi ”nog niet uitgestudeert” alias masih harus terus belajar/membaca tanpa batas waktu.

Di sinilah kelemahan mereka (S-1, S-2, S-3) yang tidak KKN, pengetahuannya tidak bertambah/berkembang. Kalau di dunia kedokteran, para dokter wajib ikut seminar ilmiah/konferensi perkembangan ilmu kedokteran. Tidak ikut, izin praktik tidak diperpanjang.

Wajib Diingatkan

Di media massa nasional cukup pedas kritik atas putusan-putusan hakim yang dinilai 
khalayak tak berpihak pada keadilan, terutama menyangkut kasus korupsi. Bahkan, survei harian ini (Kompas, 9 November 2009) memperlihatkan, 89,9 persen responden percaya bahwa keputusan hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang. Mereka yang tak percaya hanya 8,5 persen.

Kritik dan ketidakpuasan atas putusan-putusan hakim tersebut oleh kedua penulis yang tidak setuju ”menghukum putusan pengadilan” pada awal tulisan ini tidak mereka kritisi (diabaikan). Saya dapat mengerti posisi mereka, tetapi saya wajib mengingatkan mereka jika mereka anggap diri mereka akademisi.

Boleh jadi muncul pertanyaan: lalu solusi sampeyan apa? Saya usul sederhana saja, yakni pendidikan ulang dalam hukum, etik, dan moral secara kontinu pada para hakim di semua tingkat.

Di sini saya kutip pidato Dr A Heyder saat menerima jabatan guru besar dalam ”Kritieke zones in de strafrechts wetenschappen” (Kluwer 1970). Katanya, ”Als het in de strafrechtspleging gaat om gedragsbeinvloeding en conflictoplossing, kan men de normatief systematische benadering niet langer centraal stellen.” Artinya, ”Kalau dalam penyelenggaraan (baca: penegakan) hukum pidana untuk memengaruhi perilaku dan menyelesaikan konflik, tidak dapat lagi menggunakan secara terpusat pendekatan sistematis normatif.”

Mungkin ada yang bertanya: mengapa? Jawaban saya, meminjam ungkapan Herman Bianchi (1985)—seorang guru besar kriminologi di Belanda: apa Anda tidak tahu bahwa ”strafrecht is een slecht recht” alias hukum pidana adalah hukum yang jelek!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar