Kamis, 24 Mei 2012

Berfoya-foya dengan Uang Rakyat


Berfoya-foya dengan Uang Rakyat
Paulinus Yan Olla MSF ; Lulusan Program Doktoral Universitas Pontificio Istituto di Spiritualità Teresianum, Roma; Bekerja dalam Dewan Kongregasi MSF di Roma, Italia
SUMBER :  KOMPAS, 24 Mei 2012


Wacana publik belakangan ini menampilkan gambaran memilukan tentang uang rakyat yang dirampok melalui partai politik atau birokrasi.

Korupsi partai politik dan penyalahgunaan uang rakyat menjadi penyakit kronis yang sulit diberantas. Belum ada pengawasan efektif dan tindakan hukum memadai untuk menghentikan kejahatan ini. Politisi seharusnya berjuang mempertahankan kesejahteraan umum dan rakyat kecil dengan memangkas kerakusan para koruptor. Ironisnya, di negara-negara demokratis para politisi justru menjadi perampok utama uang rakyat. Sekelompok orang yang menamakan diri wakil rakyat bisa berfoya-foya atas nama demokrasi.

Korupsi tak hanya di Indonesia. Rakyat Italia bulan-bulan terakhir juga gerah menghadapi tabiat sebagian politisi yang kotor. Krisis finansial yang melanda Eropa telah memaksa pemerintah mengambil langkah-langkah pahit pembenahan ekonomi. Pajak kian membebani, banyak orang kehilangan pekerjaan dan banyak pengusaha bunuh diri karena kesulitan ekonomi.

Dengan alasan memperkuat demokrasi sejak 1974, parlemen Italia memutuskan mendanai partai-partai politik. Saat itu setiap partai menerima 60 miliar lira (mata uang Italia lama) atau 380 juta euro. Keputusan itu merupakan usaha menghindarkan partai-partai dari korupsi. Pada tahun itu banyak partai terjerat ”skandal minyak”. Partai-partai berlomba menyedot uang dari perusahaan minyak nasional untuk pembiayaan partai.

Menarik Mandat

Dalam referendum tahun 1993, rakyat Italia menarik kembali mandatnya untuk membiayai sepenuhnya partai politik dengan uang rakyat. Setelah referendum, muncul undang-undang baru yang memungkinkan partai-partai politik menerima uang ”pembayaran kembali” (rimborsi elettorali) yang dikeluarkan dalam pemilu. Jumlah yang diterima setiap tahun sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh partai dalam pemilihan umum.

Tekad Italia membersihkan tangan partai politik dari uang rakyat sulit terwujud. Tunjangan yang berasal dari uang rakyat ternyata diselewengkan. Korupsi oleh partai politik kini mencapai 600 miliar euro setiap tahun. Dalam skandal-skandal terakhir yang sedang gencar diungkap di pengadilan Italia, uang rakyat tidak hanya untuk membeli berlian, emas, atau membangun gedung mewah, tetapi juga untuk menanam saham, berlibur, dan mentraktir kerabat anggota partai (bdk. Famiglia Cristiana, April 2012, 36-37).

Di Tanah Air ada wacana membiayai partai-partai politik agar para politisi tidak tersandera oleh kepentingan bisnis dan tidak lagi mencuri uang rakyat. Pengalaman mengajarkan bahwa setelah pemilu biasanya terungkap skandal besar terkait kebutuhan pendanaan politik. Menurut logika itu, kemandirian partai akan menghindarkan kader partai yang menjabat di lembaga-lembaga negara dari korupsi.

Banyak orang yakin transparansi pendanaan kegiatan partai politik menjadi titik awal penuntasan korupsi. Namun, hal itu tak mudah. Indonesia Corruption Watch merasa kesulitan mendapat laporan pendanaan partai politik. Undang-Undang Partai Politik ternyata tidak mengatur transparansi dana partai sehingga sulit mengawasi aliran dana ilegal untuk partai politik.

Pengalaman Italia memberi pembelajaran bahwa kemandirian keuangan partai-partai politik saja tidak mencukupi untuk mengakhiri praktik penyelewengan uang rakyat. Diperlukan transparansi dan mekanisme untuk mengontrol keuangan partai-partai politik. Selain itu, sistem hukum yang kuat akan mengefektifkan kontrol publik. Contohlah Italia, di mana pimpinan partai di Italia utara mundur dari jabatan dan menghadapi sidang pengadilan karena skandal keuangan partai. Sejumlah bendahara partai juga dipecat dan diseret ke pengadilan.

Menghadapi perampokan uang rakyat ini, perlu gerakan sosial agar tercipta budaya transparansi, kontrol publik, dan penegakan hukum. Rakyat di Yunani, Spanyol, Italia, dan Perancis sudah memperlihatkan kegerahannya dengan menolak untuk berkorban terus-menerus. Mereka ingin melihat pengorbanan dan tanggung jawab para pemimpin dan politisinya.

Jika kesejahteraan rakyat terus dirampok, cepat atau lambat akan terjadi pembangkangan. Rakyat yang merasa hanya ditunggangi oleh elite untuk memperkaya diri akan melawan. Maka, demokrasi yang berselimut kemewahan atas nama rakyat cepat atau lambat akan runtuh karena kehilangan legitimasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar