Zona
Euro Genting
A
Tony Prasetiantono ; Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta
SUMBER
: KOMPAS,
24 Mei 2012
Beberapa hari terakhir ini rupiah tertekan
cukup berat, mengarah ke level Rp 9.300 per dollar AS. Situasi ini mulai
mengkhawatirkan karena pelemahan rupiah akan menyumbang kenaikan inflasi dari
sisi impor (imported inflation).
Keberhasilan menekan inflasi tahun lalu (3,79
persen) dan inflasi year on year saat
ini (4,5 persen), selain disebabkan oleh batalnya kenaikan harga BBM
bersubsidi, juga karena andil rupiah yang menguat dan stabil. Sementara itu,
searah dengan pelemahan rupiah, indeks saham di Jakarta (IHSG) juga melemah
hingga ke bawah batas psikologis, 4.000. Jika dirunut penyebabnya, semua
tekanan ini berasal dari kondisi zona euro yang belakangan ini kian genting.
Saya mengamati, sejak krisis kredit perumahan (subprime mortgage) 2008, setiap terjadi gejolak ekonomi global
biasanya direspons oleh para investor global dengan memindah aset-asetnya
menjadi dollar AS. Mengapa mereka tidak beralih, misalnya ”memegang” mata uang
China, yuan? Jawabannya sederhana.
Pertama, meski perekonomiannya juga sedang
sakit, bagaimanapun Amerika Serikat masih tetap merupakan kekuatan ekonomi
terbesar di dunia. Produk domestik bruto (PDB) AS kini 15 triliun dollar AS
atau masih jauh di atas peringkat berikutnya, China (7 triliun dollar AS) dan
Jepang (6 triliun dollar AS).
Kedua, Pemerintah China secara sengaja
menolak membiarkan yuan menjadi mata uang internasional. Sebab, hal itu akan
menyebabkan lonjakan permintaan terhadap yuan sehingga kursnya akan menguat.
China jelas tidak menghendakinya karena bisa mengganggu daya saing
produk-produknya. Mereka ingin terus menikmati surplus perdagangan yang besar.
Pada April 2012, China mencatat surplus 18,4 miliar dollar AS atau hampir sama
dengan surplus Indonesia setahun! Lobi Pemerintah AS melalui Menkeu Timothy
Geithner, Menlu Hillary Clinton, bahkan Presiden Barack Obama sejauh ini tidak
membawa hasil. Kurs yuan tetap disengaja lemah. Jadi, saat zona euro kembali
bergejolak seperti sekarang, investor kembali ”menyelamatkan diri” dengan
memegang dollar AS karena tidak tersedia pilihan mata uang lain. Inilah
penjelasan mengapa dollar AS menguat—atau sebaliknya rupiah melemah—dalam
peristiwa krisis ekonomi zona euro.
Seberapa gentingkah kondisi zona euro saat
ini? Yunani sudah menerima talangan (bail
out) kedua 130 miliar euro (169 miliar dollar AS) yang disetujui para
pemimpin euro, Desember 2011. Bank Sentral Eropa (ECB) telah memompa likuiditas
dengan kredit murah 1 triliun euro, dengan harapan dapat menstimulus ekonomi.
Sebagai pembanding, kebijakan quantitative
easing di AS nilainya ”hanya” 800 miliar dollar AS (615 miliar euro). Dari
segi besaran, patut diduga krisis zona euro lebih genting daripada krisis AS.
Krisis zona euro juga sudah memakan korban
politik. Yunani kini tengah mempersiapkan pemilu. Italia yang mengalami krisis
kepemimpinan mantan PM Silvio Berlusconi menggantinya dengan Mario Monti,
profesor ekonomi dari Milan. Di Perancis, Nicolas Sarkozy tumbang karena
dianggap akan menjalankan kebijakan penghematan fiskal secara tajam (austerity). Rakyat memilih penggantinya,
Francois Hollande, yang dipersepsikan lebih fokus untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi. Artinya, rakyat menaruh harapan agar Hollande bisa menstimulus ekonomi
melalui belanja APBN.
Hal yang paling kritikal adalah nasib
keberadaan Yunani di zona euro. Sejak musim panas 2011, ekonom Paul Krugman
(Universitas Princeton) menyarankan agar Yunani keluar dari zona euro. Adalah
tidak masuk akal Yunani yang perekonomiannya morat-marit menggunakan mata uang
yang sama (euro) seperti negara sekuat Jerman. Yang diperlukan Yunani adalah
membangun mata uangnya sendiri yang lemah (terdepresiasi) sehingga bisa
membantu memperkuat daya saingnya. Jika terus-menerus menggunakan euro, Yunani
akan kalah bersaing.
Ide ini semula tampak realistis dan ”cukup
menjual”. Tentu saja ada yang menentang, misalnya dengan argumen membikin mata
uang baru tak murah dan menimbulkan krisis kredibilitas pemerintah Yunani
sehingga menyebabkan pelarian modal dari Yunani. Namun, yang lebih penting, ide
ini pasti ditolak Jerman dan Perancis karena mereka seperti dipermalukan dan
mengakui kegagalan sistem mata uang tunggal. Sejak awal berdirinya euro—1
Januari 1999—Inggris dan AS sudah skeptis terhadap sistem euro.
Kini muncul argumen baru. Jika Yunani keluar,
akan timbul kekacauan di pasar finansial. Bagaimana logikanya? Jika Yunani
keluar, mereka tak akan lagi dapat menarik dana talangan dari Jerman dan
Perancis, yang diperoleh karena fasilitas sebagai anggota euro. Selanjutnya,
Yunani akan gagal bayar, yang berlanjut pada kepanikan di pasar finansial
Eropa. Imbasnya, timbul ketakutan terhadap obligasi pemerintah negara-negara
anggota euro lain (16 negara). Kredibilitas zona euro akan berantakan sehingga
imbal hasil akan naik tajam. Hal ini juga akan mendorong investor asing
”menubruk” dollar AS sehingga kurs dollar AS akan meroket. Ujung-ujungnya,
menyebabkan depresiasi rupiah berlanjut lebih tajam.
Karena berbagai risiko yang seram inilah,
opsi Yunani keluar dari zona euro menjadi penuh kebimbangan. Opsi ini juga
perlu persiapan panjang, menyangkut kesiapan infrastruktur fisik dan
sosialisasi (meski penduduk Yunani ”hanya” 11 juta orang). Kalau tak cukup
persiapan, bisa terjadi kekacauan finansial besar-besaran alias ”bunuh diri
beramai-ramai” bagi semua zona euro. Karena kompleksitas ini, Paul Volcker,
mantan Ketua The Fed AS, menyebutnya ”ini mirip perjudian”.
Jadi, kini timbul dua dilema rumit. Pertama,
apakah Yunani akan cabut dari zona euro atau tetap bertahan? Keduanya berisiko
dan tak murah biayanya. Kedua, apakah negara zona euro yang kuat, seperti
Jerman dan Perancis, akan ikut menjalankan program diet fiskal seperti
diwajibkan bagi Yunani atau memilih stimulus fiskal agar ekonominya tumbuh?
Larry Summers, mantan Menkeu AS dari Harvard,
berpendapat diet fiskal adalah hal kontraproduktif. Menurut dia, secara tipikal
di negara-negara Eropa, setiap 1 persen kenaikan PDB bisa mengurangi defisit
APBN 0,4-0,5 persen terhadap PDB. Karena itu, jika kebijakan diet fiskal
diberlakukan, akan menyebabkan perekonomian mengalami perlambatan secara
signifikan (Bloomberg Businessweek, 14-20 Mei 2012). Pendapat Summers ini
sejalan dengan ekspektasi publik di Perancis yang memilih presiden baru,
Hollande. Hal sama juga terjadi di Jerman. Publik tak ingin APBN terlalu
konservatif sehingga tak mampu memberi stimulus.
Karena rumitnya persoalan krisis zona euro,
tidak bakal mudah menentukan bagaimana keputusan akhir terhadap kedua dilema.
Kalau saya boleh berspekulasi, Yunani akan ditahan untuk tetap di euro
setidaknya hingga akhir 2012. Tak bisa serta-merta langsung keluar dari sistem
mata uang tunggal. Soal dilema kebijakan fiskal, saya duga bandul pendulum
mayoritas publik akan lebih mengarah ke pilihan stimulus fiskal. Hanya pasien
yang sakit parah, seperti Yunani, yang wajib berkorban banyak untuk menjalankan
program penghematan secara ekstrem. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar