Kamis, 24 Mei 2012

Zona Euro Genting


Zona Euro Genting
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta
SUMBER :  KOMPAS, 24 Mei 2012


Beberapa hari terakhir ini rupiah tertekan cukup berat, mengarah ke level Rp 9.300 per dollar AS. Situasi ini mulai mengkhawatirkan karena pelemahan rupiah akan menyumbang kenaikan inflasi dari sisi impor (imported inflation).

Keberhasilan menekan inflasi tahun lalu (3,79 persen) dan inflasi year on year saat ini (4,5 persen), selain disebabkan oleh batalnya kenaikan harga BBM bersubsidi, juga karena andil rupiah yang menguat dan stabil. Sementara itu, searah dengan pelemahan rupiah, indeks saham di Jakarta (IHSG) juga melemah hingga ke bawah batas psikologis, 4.000. Jika dirunut penyebabnya, semua tekanan ini berasal dari kondisi zona euro yang belakangan ini kian genting. Saya mengamati, sejak krisis kredit perumahan (subprime mortgage) 2008, setiap terjadi gejolak ekonomi global biasanya direspons oleh para investor global dengan memindah aset-asetnya menjadi dollar AS. Mengapa mereka tidak beralih, misalnya ”memegang” mata uang China, yuan? Jawabannya sederhana.

Pertama, meski perekonomiannya juga sedang sakit, bagaimanapun Amerika Serikat masih tetap merupakan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Produk domestik bruto (PDB) AS kini 15 triliun dollar AS atau masih jauh di atas peringkat berikutnya, China (7 triliun dollar AS) dan Jepang (6 triliun dollar AS).

Kedua, Pemerintah China secara sengaja menolak membiarkan yuan menjadi mata uang internasional. Sebab, hal itu akan menyebabkan lonjakan permintaan terhadap yuan sehingga kursnya akan menguat. China jelas tidak menghendakinya karena bisa mengganggu daya saing produk-produknya. Mereka ingin terus menikmati surplus perdagangan yang besar. Pada April 2012, China mencatat surplus 18,4 miliar dollar AS atau hampir sama dengan surplus Indonesia setahun! Lobi Pemerintah AS melalui Menkeu Timothy Geithner, Menlu Hillary Clinton, bahkan Presiden Barack Obama sejauh ini tidak membawa hasil. Kurs yuan tetap disengaja lemah. Jadi, saat zona euro kembali bergejolak seperti sekarang, investor kembali ”menyelamatkan diri” dengan memegang dollar AS karena tidak tersedia pilihan mata uang lain. Inilah penjelasan mengapa dollar AS menguat—atau sebaliknya rupiah melemah—dalam peristiwa krisis ekonomi zona euro.

Seberapa gentingkah kondisi zona euro saat ini? Yunani sudah menerima talangan (bail out) kedua 130 miliar euro (169 miliar dollar AS) yang disetujui para pemimpin euro, Desember 2011. Bank Sentral Eropa (ECB) telah memompa likuiditas dengan kredit murah 1 triliun euro, dengan harapan dapat menstimulus ekonomi. Sebagai pembanding, kebijakan quantitative easing di AS nilainya ”hanya” 800 miliar dollar AS (615 miliar euro). Dari segi besaran, patut diduga krisis zona euro lebih genting daripada krisis AS.

Krisis zona euro juga sudah memakan korban politik. Yunani kini tengah mempersiapkan pemilu. Italia yang mengalami krisis kepemimpinan mantan PM Silvio Berlusconi menggantinya dengan Mario Monti, profesor ekonomi dari Milan. Di Perancis, Nicolas Sarkozy tumbang karena dianggap akan menjalankan kebijakan penghematan fiskal secara tajam (austerity). Rakyat memilih penggantinya, Francois Hollande, yang dipersepsikan lebih fokus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Artinya, rakyat menaruh harapan agar Hollande bisa menstimulus ekonomi melalui belanja APBN.

Hal yang paling kritikal adalah nasib keberadaan Yunani di zona euro. Sejak musim panas 2011, ekonom Paul Krugman (Universitas Princeton) menyarankan agar Yunani keluar dari zona euro. Adalah tidak masuk akal Yunani yang perekonomiannya morat-marit menggunakan mata uang yang sama (euro) seperti negara sekuat Jerman. Yang diperlukan Yunani adalah membangun mata uangnya sendiri yang lemah (terdepresiasi) sehingga bisa membantu memperkuat daya saingnya. Jika terus-menerus menggunakan euro, Yunani akan kalah bersaing.

Ide ini semula tampak realistis dan ”cukup menjual”. Tentu saja ada yang menentang, misalnya dengan argumen membikin mata uang baru tak murah dan menimbulkan krisis kredibilitas pemerintah Yunani sehingga menyebabkan pelarian modal dari Yunani. Namun, yang lebih penting, ide ini pasti ditolak Jerman dan Perancis karena mereka seperti dipermalukan dan mengakui kegagalan sistem mata uang tunggal. Sejak awal berdirinya euro—1 Januari 1999—Inggris dan AS sudah skeptis terhadap sistem euro.

Kini muncul argumen baru. Jika Yunani keluar, akan timbul kekacauan di pasar finansial. Bagaimana logikanya? Jika Yunani keluar, mereka tak akan lagi dapat menarik dana talangan dari Jerman dan Perancis, yang diperoleh karena fasilitas sebagai anggota euro. Selanjutnya, Yunani akan gagal bayar, yang berlanjut pada kepanikan di pasar finansial Eropa. Imbasnya, timbul ketakutan terhadap obligasi pemerintah negara-negara anggota euro lain (16 negara). Kredibilitas zona euro akan berantakan sehingga imbal hasil akan naik tajam. Hal ini juga akan mendorong investor asing ”menubruk” dollar AS sehingga kurs dollar AS akan meroket. Ujung-ujungnya, menyebabkan depresiasi rupiah berlanjut lebih tajam.

Karena berbagai risiko yang seram inilah, opsi Yunani keluar dari zona euro menjadi penuh kebimbangan. Opsi ini juga perlu persiapan panjang, menyangkut kesiapan infrastruktur fisik dan sosialisasi (meski penduduk Yunani ”hanya” 11 juta orang). Kalau tak cukup persiapan, bisa terjadi kekacauan finansial besar-besaran alias ”bunuh diri beramai-ramai” bagi semua zona euro. Karena kompleksitas ini, Paul Volcker, mantan Ketua The Fed AS, menyebutnya ”ini mirip perjudian”.

Jadi, kini timbul dua dilema rumit. Pertama, apakah Yunani akan cabut dari zona euro atau tetap bertahan? Keduanya berisiko dan tak murah biayanya. Kedua, apakah negara zona euro yang kuat, seperti Jerman dan Perancis, akan ikut menjalankan program diet fiskal seperti diwajibkan bagi Yunani atau memilih stimulus fiskal agar ekonominya tumbuh?

Larry Summers, mantan Menkeu AS dari Harvard, berpendapat diet fiskal adalah hal kontraproduktif. Menurut dia, secara tipikal di negara-negara Eropa, setiap 1 persen kenaikan PDB bisa mengurangi defisit APBN 0,4-0,5 persen terhadap PDB. Karena itu, jika kebijakan diet fiskal diberlakukan, akan menyebabkan perekonomian mengalami perlambatan secara signifikan (Bloomberg Businessweek, 14-20 Mei 2012). Pendapat Summers ini sejalan dengan ekspektasi publik di Perancis yang memilih presiden baru, Hollande. Hal sama juga terjadi di Jerman. Publik tak ingin APBN terlalu konservatif sehingga tak mampu memberi stimulus.

Karena rumitnya persoalan krisis zona euro, tidak bakal mudah menentukan bagaimana keputusan akhir terhadap kedua dilema. Kalau saya boleh berspekulasi, Yunani akan ditahan untuk tetap di euro setidaknya hingga akhir 2012. Tak bisa serta-merta langsung keluar dari sistem mata uang tunggal. Soal dilema kebijakan fiskal, saya duga bandul pendulum mayoritas publik akan lebih mengarah ke pilihan stimulus fiskal. Hanya pasien yang sakit parah, seperti Yunani, yang wajib berkorban banyak untuk menjalankan program penghematan secara ekstrem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar