Sistem Evakuasi Mitigasi Tsunami
Abdul Muhari; Peneliti
dan Kandidat Doktor Tsunami Engineering Lab, DCRC, Tohoku University, Sendai,
Jepang
SUMBER
: KOMPAS,
09 Mei 2012
Berangkat dari evaluasi penanganan bencana
gempa dan tsunami Simeulue, pertengahan April lalu, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono memerintahkan segera dirancang rencana induk penanganan bencana gempa
dan tsunami secara nasional.
Tak tanggung-tanggung, untuk menunjang
rencana yang diharapkan selesai dalam dua bulan ke depan itu akan dialokasikan
Rp 3 triliun-Rp 5 triliun (Kompas, 19 April). Beberapa kebutuhan yang dirasa
paling mendesak di antaranya pengadaan sirene peringatan dini, video broadcast system, seismometer, dan
pembangunan shelter sebagai sarana
evakuasi vertikal bagi masyarakat di kawasan rawan tsunami.
Belajar dari pengalaman gempa-tsunami di
Jepang, 2011, tulisan ini akan mengulas beberapa pertimbangan dalam
merencanakan pembangunan shelter.
Akar Permasalahan
Salah satu hal yang menjadi perhatian penting
dalam penanganan gempa dan tsunami Simeulue lalu adalah banyaknya kemacetan
yang terjadi karena penggunaan kendaraan untuk evakuasi. Hal ini sebenarnya tak
hanya terjadi di Indonesia. Hal serupa terjadi di Jepang saat tsunami 2011
sehingga banyak korban terperangkap dalam kendaraan sewaktu tsunami datang.
Agar solusi dari masalah ini tidak salah
arah, kondisi yang melatarbelakanginya harus dipahami secara utuh.
Pertama, tak tersedia tempat evakuasi secara
merata. Tempat evakuasi jauh dari pusat aktivitas warga membuat upaya edukasi
agar masyarakat tak menggunakan kendaraan saat evakuasi jadi sia-sia. Perasaan
takut tak punya waktu cukup mendorong masyarakat menggunakan kendaraan saat
evakuasi. Kondisi ini biasanya diperburuk oleh beragam isu dan kondisi di
lapangan yang tak terkendali sehingga warga yang panik cenderung akan mengikuti
ke mana dan bagaimana kebanyakan orang mengungsi.
Kedua, perlu dipahami bahwa dalam hal-hal
khusus, penggunaan mobil diperlukan saat evakuasi, misalnya mengangkut warga
berusia lanjut. Hal ini harus jadi perhatian, khususnya untuk daerah dengan
populasi berusia lanjut tinggi. Diperlukan rencana kontijensi yang memuat
jalur-jalur satu arah untuk kendaraan dengan alasan khusus tersebut.
Ketiga, faktor psikologis antaranggota
keluarga. Sangat sering terjadi pada saat bencana, orangtua mencari anak atau
anggota keluarga lain agar dapat bersama-sama menuju tempat evakuasi. Hal ini
tentu sangat manusiawi, tetapi menggiring masyarakat untuk menggunakan kendaraan
agar semua anggota keluarga tertampung dan evakuasi diharap bisa lebih cepat.
Evakuasi Vertikal
Tiga permasalahan di atas bermuara pada satu
solusi: tempat evakuasi vertikal yang terdistribusi di pusat-pusat aktivitas
atau permukiman warga. Implementasinya tentu tak sederhana. Penentuan jenis
bangunan seperti apa, di mana, dan berapa banyak harus mengacu pada dua hal
agar ia berfungsi maksimal dan terpelihara secara berkelanjutan.
Pertama, ketersediaan sarana penunjang di
daerah. Faktor ini mencakup ketersediaan lahan/ tempat, teknologi, sumber daya
manusia, dan faktor-faktor lain, seperti material konstruksi dan pendanaan.
Aspek ini akan menjamin keberlanjutan penggunaan dan pemeliharaan shelter tanpa
harus bergantung pada pemerintah pusat atau supervisi dari luar negeri.
Kedua, jenis shelter dan lokasinya harus
sesuai dengan permasalahan evakuasi yang mungkin berbeda di setiap daerah. Ini
penting agar nantinya mampu menjawab kebutuhan sarana evakuasi masyarakat tanpa
merusak budaya lokal atau faktor psikologis di daerah tertentu.
Dua hal ini saling terkait. Contohnya: opsi
gedung bertingkat di daerah yang pernah luluh lantak oleh gempa mungkin tak
bijaksana, mengingat aspek trauma masih melekat di masyarakat. Modifikasi
arsitektur rumah ibadah mungkin lebih tepat dibandingkan membangun gedung
khusus untuk evakuasi di daerah yang nuansa religiusnya sangat kuat.
Opsi bukit buatan di daerah padat penduduk
harus melalui seleksi perencanaan matang. Keberadaan tempat evakuasi yang besar
pada saat darurat akan memancing pergerakan massa menuju satu titik pada saat
bersamaan. Alih-alih menyelesaikan masalah, pilihan ini bisa memancing
kemacetan di sepanjang jalan jika ditunjang oleh keberadaan shelter lain untuk
mengurai penumpukan massa.
Belajar dari pengalaman saat tsunami 2011,
salah satu ide yang sedang diteliti di Jepang saat ini adalah memfungsikan
jembatan penyeberangan sebagai tempat evakuasi sementara. Selain dapat
diaplikasikan di kota-kota besar yang padat penduduk, ide ini juga dianggap
jadi solusi kemacetan saat darurat karena terdistribusi di sepanjang
jalur-jalur evakuasi. Biaya pembangunan dan pemeliharaan yang relatif murah
serta ditunjang oleh manfaatnya sehari-hari membuat opsi ini juga layak
dibangun di Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar