Rabu, 09 Mei 2012

Pram, Tragedi 1965 dan Kebencian


Pram, Tragedi 1965 dan Kebencian
Endang Suryadinata; Alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 08 Mei 2012


Tak terasa sudah enam tahun lebih negeri ini ditinggalkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Pram meninggal di usia 81 tahun pada Minggu, 30 April 2006.

Di level dunia, nama Indonesia hingga kini masih diharumkan oleh Pram. Bayangkan sejak 1981, setiap tahun, Pram selalu masuk dalam daftar calon peraih hadiah Nobel untuk sastra. Filipina menghargai prestasi Pram dengan anugerah Magsaysay yang sempat mengundang polemik.

Freedom to Write Award (PEN), Wertheim Award, Ramon Magsaysay Award, UNESCO Madanjeet Singh Price, New York Foundation for the Arts Award, dan Fukuoka Cultural Grand Prize. Selain itu, ia beroleh gelar Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan, AS (1999). Ironinya, Pram belum mendapatkan penghargaan dari dalam negeri.

Memang karya-karya Pram, khususnya tetralogi Bumi Manusia yang diterjemahkan ke 33 bahasa, amat fenomenal. Itu membuktikan daya kreatif Pram seolah tak ada matinya.
Menulis bagi Pram memang merupakan bukti bagi keberadaannya. Bagi Pram, menulis adalah bentuk perlawanan terhadap setiap bentuk penjajahan. Itu bisa dibaca dari semua tokoh dalam karya-karya Pram. Apalagi Pram memang berasal dari keluarga pejuang kemerdekaan dan ia pun pejuang kemerdekaan.

Dalam menolak setiap bentuk penjajahan, Pram agaknya begitu terpengaruh oleh keberanian sosok Chairil Anwar, tokoh angkatan 45. Chairil tidak mau dijadikan binatang ternak oleh penjajah Jepang. Kita tentu masih ingat sajak Chairil “Aku” yang menyatakan sikap perlawanan terhadap Jepang.

Lewat tokoh-tokoh dalam karyanya, Pram selalu menampilkan sosok orang muda seperti Chairil yang selalu lantang melawan penjajahan. Tidak heran jika gara-gara tulisannya, penjara menjadi rumah kedua bagi Pram.

Tahun 1947-1949 ia tawanan Belanda di Jakarta gara-gara membawa pamflet perlawanan terhadap aksi militer I Belanda. Tahun 1960 ia disekap di rumah tahanan militer di Jakarta gara-gara karyanya Hoakiau di Indonesia. Dalam buku itu, Pram mengkritik Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1960 yang melarang kaum Tionghoa berbisnis hingga ke desa-desa.

Tragedi 1965 dan PKI

Membicarakan Pram, memang sama dengan membicarakan kontroversi. Salah satu kontroversi adalah pertanyaan apakah Pram itu komunis atau bukan. Ketika berceramah di Georgetown University AS, pada April 1999, Pram menjawab bahwa Orba sendirilah yang memberi penilaian bahwa dirinya komunis. ''Yang mengangkat saya menjadi PKI itu kan Orba, yang kemudian dikembangkan oleh pers Orba.”

Gara-gara stigma komunis itu, kita tahu, Pram harus ikut dibuang bersama puluhan ribu tapol ke Pulau Buru. Sebelum dibuang, Pram harus pindah dari penjara satu ke yang lain, mulai dari rumah tahanan Kodam, Guntur, Cipinang, Tangerang, Salemba, dan Nusakambangan. Beruntung Pram tidak dihabisi seperti jutaan orang lainnya.

Bukan hanya Pram yang menderita akibat pengaitan dirinya dengan PKI. Tiga dari sembilan saudara kandung Pram ikut dipenjara. Lalu guna menghidupi keluarga, Maemunah istri Pram, sejak suaminya di Pulau Buru harus jualan es dan kue. Mereka juga harus mengalami teror dan diskriminasi karena dianggap mendukung PKI.

Namun, lepas dari kontroversi apakah Pram komunis atau bukan, Pram sejatinya lebih besar daripada kontroversi itu sendiri. Kita justru akan terperosok dalam kesalahan sejarah Orba, jika kita menyempitkan manusia hanya berdasarkan ideologi atau keyakinan yang dianutnya.

Sayangnya, meski peristiwa 1965 sudah terjadi 46 tahun silam, hingga kini kita masih terperosok dalam penyempitan manusia berdasarkan ideologi. Akibatnya sampai detik ini, kita belum bisa menyelesaikan masalah PKI yang menjadi beban sejarah kita, dengan cara yang bermartabat.

Kebencian

Selalu saja ada bara kebencian dan dendam tiap kali kita bicara tentang PKI. Bara itu tersimpan di dua kubu, yakni kubu antikomunis dan kubu yang dicap PKI (Partai Komunis Indonesia). Bara dendam itu bahkan sengaja dihidupkan setiap saat sehingga bangsa ini belum sepenuhnya hidup dalam rekonsiliasi atau perdamaian sejati dengan masa silam.

Kubu antikomunis masih suka menyebut komunisme adalah bahaya laten, meskipun di negara kelahirannya seperti Rusia atau China, komunisme sudah “keok” oleh neoliberalisme.

Martin Aleida, sastrawan dan korban 1965, baru-baru ini membeber kisah tragis penuh elegi, bagaimana setiap kali ke Solo bersama istrinya, dia dan istri harus menyeret langkah dengan hati seberat batu menuruni tebing Bengawan Solo.

Di situ mereka melarung kembang sesajen untuk membuat semerbak perjalanan air yang diarungi mertuanya, setelah sang mertua disuruh tentara untuk jongkok, ditembak, dan jasadnya ditendang, dilarikan arus entah ke mana (Antara Romo dan Sulastomo oleh Martin Aleida, Indo Progress, 27/4/2012).

Hari-hari ini, terdengar kabar baik bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan meminta maaf kepada para korban pelanggaran HAM masa silam, termasuk dalam peristiwa 1965 (Jawa Pos, 25/4/2012). Sayangnya, meski baru rencana, publik kita juga buru-buru terbelah. Ada kubu yang meminta Presiden SBY tak perlu minta maaf. Ada kubu yang mendorong agar Presiden segera merealisasikan permintaan maaf itu.

Penulis jadi ingat pada Pram yang juga pernah berkomentar tidak perlu ada rekonsiliasi terkait peristiwa 1965. Tapi, dalam satu hal ini, kita boleh tidak setuju pada Pram.
Pasalnya, agar bangsa ini bisa menggapai masa depan tanpa terbebani beban sejarah masa silam, permintaan maaf SBY adalah sebuah langkah awal keluar dari belenggu sejarah. Pertimbangan untung rugi secara politis harus diabaikan, demi terbebasnya anak-anak bangsa dari kondisi saling membenci akibat perbedaan ideologi.

Mungkin kita perlu terus belajar untuk mencoba saling memaafkan sebagaimana warga Eropa Timur atau Rusia, yang dulu pernah di bawah kendali rezim komunis. Kita mungkin juga perlu menimba dari Dahlan Iskan, yang nenek moyangnya dibantai PKI dalam Peristiwa Madiun 1948, tapi Dahlan bisa memaafkan, bahkan mengapresiasi Soemarsono, salah satu tokoh yang dicap komunis.

Meminta maaf atas kesalahan kita pada orang lain atau mampu memaafkan kesalahan orang lain pada kita, secara psikologis dan spiritual selalu membawa dampak positif. Dengan minta maaf, kita bakal bebas dari dendam serta belenggu sejarah warisan rezim Soeharto. Apalagi jika secara kolektif, anak-anak bangsa sungguh bisa saling memaafkan, jelas bakal luar biasa dampaknya bagi masa depan bangsa. Masa sampai kiamat kita mau terus mendendam? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar