Pram, Tragedi 1965 dan Kebencian
Endang Suryadinata; Alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam
SUMBER
: SINAR
HARAPAN, 08 Mei 2012
Tak terasa sudah enam tahun lebih negeri ini
ditinggalkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Pram meninggal di usia 81 tahun pada
Minggu, 30 April 2006.
Di level dunia, nama Indonesia hingga kini
masih diharumkan oleh Pram. Bayangkan sejak 1981, setiap tahun, Pram selalu
masuk dalam daftar calon peraih hadiah Nobel untuk sastra. Filipina menghargai
prestasi Pram dengan anugerah Magsaysay yang sempat mengundang polemik.
Freedom
to Write Award (PEN), Wertheim
Award, Ramon Magsaysay Award, UNESCO Madanjeet Singh Price, New York Foundation
for the Arts Award, dan Fukuoka
Cultural Grand Prize. Selain itu, ia beroleh gelar Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan, AS (1999).
Ironinya, Pram belum mendapatkan penghargaan dari dalam negeri.
Memang karya-karya Pram, khususnya tetralogi
Bumi Manusia yang diterjemahkan ke 33 bahasa, amat fenomenal. Itu membuktikan
daya kreatif Pram seolah tak ada matinya.
Menulis bagi Pram memang merupakan bukti bagi
keberadaannya. Bagi Pram, menulis adalah bentuk perlawanan terhadap setiap
bentuk penjajahan. Itu bisa dibaca dari semua tokoh dalam karya-karya Pram.
Apalagi Pram memang berasal dari keluarga pejuang kemerdekaan dan ia pun
pejuang kemerdekaan.
Dalam menolak setiap bentuk penjajahan, Pram
agaknya begitu terpengaruh oleh keberanian sosok Chairil Anwar, tokoh angkatan
45. Chairil tidak mau dijadikan binatang ternak oleh penjajah Jepang. Kita
tentu masih ingat sajak Chairil “Aku” yang menyatakan sikap perlawanan terhadap
Jepang.
Lewat tokoh-tokoh dalam karyanya, Pram selalu
menampilkan sosok orang muda seperti Chairil yang selalu lantang melawan
penjajahan. Tidak heran jika gara-gara tulisannya, penjara menjadi rumah kedua
bagi Pram.
Tahun 1947-1949 ia tawanan Belanda di Jakarta
gara-gara membawa pamflet perlawanan terhadap aksi militer I Belanda. Tahun
1960 ia disekap di rumah tahanan militer di Jakarta gara-gara karyanya Hoakiau
di Indonesia. Dalam buku itu, Pram mengkritik Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1960 yang melarang kaum Tionghoa berbisnis hingga ke desa-desa.
Tragedi 1965 dan PKI
Membicarakan Pram, memang sama dengan
membicarakan kontroversi. Salah satu kontroversi adalah pertanyaan apakah Pram
itu komunis atau bukan. Ketika berceramah di Georgetown University AS, pada
April 1999, Pram menjawab bahwa Orba sendirilah yang memberi penilaian bahwa
dirinya komunis. ''Yang mengangkat saya menjadi PKI itu kan Orba, yang kemudian
dikembangkan oleh pers Orba.”
Gara-gara stigma komunis itu, kita tahu, Pram
harus ikut dibuang bersama puluhan ribu tapol ke Pulau Buru. Sebelum dibuang,
Pram harus pindah dari penjara satu ke yang lain, mulai dari rumah tahanan
Kodam, Guntur, Cipinang, Tangerang, Salemba, dan Nusakambangan. Beruntung Pram
tidak dihabisi seperti jutaan orang lainnya.
Bukan hanya Pram yang menderita akibat
pengaitan dirinya dengan PKI. Tiga dari sembilan saudara kandung Pram ikut
dipenjara. Lalu guna menghidupi keluarga, Maemunah istri Pram, sejak suaminya
di Pulau Buru harus jualan es dan kue. Mereka juga harus mengalami teror dan
diskriminasi karena dianggap mendukung PKI.
Namun, lepas dari kontroversi apakah Pram
komunis atau bukan, Pram sejatinya lebih besar daripada kontroversi itu
sendiri. Kita justru akan terperosok dalam kesalahan sejarah Orba, jika kita
menyempitkan manusia hanya berdasarkan ideologi atau keyakinan yang dianutnya.
Sayangnya, meski peristiwa 1965 sudah terjadi
46 tahun silam, hingga kini kita masih terperosok dalam penyempitan manusia
berdasarkan ideologi. Akibatnya sampai detik ini, kita belum bisa menyelesaikan
masalah PKI yang menjadi beban sejarah kita, dengan cara yang bermartabat.
Kebencian
Selalu saja ada bara kebencian dan dendam
tiap kali kita bicara tentang PKI. Bara itu tersimpan di dua kubu, yakni kubu
antikomunis dan kubu yang dicap PKI (Partai Komunis Indonesia). Bara dendam itu
bahkan sengaja dihidupkan setiap saat sehingga bangsa ini belum sepenuhnya
hidup dalam rekonsiliasi atau perdamaian sejati dengan masa silam.
Kubu antikomunis masih suka menyebut
komunisme adalah bahaya laten, meskipun di negara kelahirannya seperti Rusia
atau China, komunisme sudah “keok” oleh neoliberalisme.
Martin Aleida, sastrawan dan korban 1965,
baru-baru ini membeber kisah tragis penuh elegi, bagaimana setiap kali ke Solo
bersama istrinya, dia dan istri harus menyeret langkah dengan hati seberat batu
menuruni tebing Bengawan Solo.
Di situ mereka melarung kembang sesajen untuk
membuat semerbak perjalanan air yang diarungi mertuanya, setelah sang mertua
disuruh tentara untuk jongkok, ditembak, dan jasadnya ditendang, dilarikan arus
entah ke mana (Antara Romo dan Sulastomo oleh Martin Aleida, Indo Progress, 27/4/2012).
Hari-hari ini, terdengar kabar baik bahwa
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan meminta maaf kepada para korban
pelanggaran HAM masa silam, termasuk dalam peristiwa 1965 (Jawa Pos,
25/4/2012). Sayangnya, meski baru rencana, publik kita juga buru-buru terbelah.
Ada kubu yang meminta Presiden SBY tak perlu minta maaf. Ada kubu yang
mendorong agar Presiden segera merealisasikan permintaan maaf itu.
Penulis jadi ingat pada Pram yang juga pernah
berkomentar tidak perlu ada rekonsiliasi terkait peristiwa 1965. Tapi, dalam
satu hal ini, kita boleh tidak setuju pada Pram.
Pasalnya, agar bangsa ini bisa menggapai masa
depan tanpa terbebani beban sejarah masa silam, permintaan maaf SBY adalah
sebuah langkah awal keluar dari belenggu sejarah. Pertimbangan untung rugi
secara politis harus diabaikan, demi terbebasnya anak-anak bangsa dari kondisi
saling membenci akibat perbedaan ideologi.
Mungkin kita perlu terus belajar untuk
mencoba saling memaafkan sebagaimana warga Eropa Timur atau Rusia, yang dulu pernah
di bawah kendali rezim komunis. Kita mungkin juga perlu menimba dari Dahlan
Iskan, yang nenek moyangnya dibantai PKI dalam Peristiwa Madiun 1948, tapi
Dahlan bisa memaafkan, bahkan mengapresiasi Soemarsono, salah satu tokoh yang
dicap komunis.
Meminta maaf atas kesalahan kita pada orang
lain atau mampu memaafkan kesalahan orang lain pada kita, secara psikologis dan
spiritual selalu membawa dampak positif. Dengan minta maaf, kita bakal bebas
dari dendam serta belenggu sejarah warisan rezim Soeharto. Apalagi jika secara
kolektif, anak-anak bangsa sungguh bisa saling memaafkan, jelas bakal luar
biasa dampaknya bagi masa depan bangsa. Masa sampai kiamat kita mau terus
mendendam? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar