Kamis, 17 Mei 2012

Silent Crisis


Silent Crisis
Sunarsip ;  Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
SUMBER :  REPUBLIKA, 14 Mei 2012


Saya tidak bermaksud membuat khawatir dengan menggunakan istilah silent crisis (krisis diam-diam) dalam tulisan ini. Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan beberapa fakta bahwa Indonesia saat ini berpotensi sedang menghadapi silent crisis, terutama disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa otoritas ekonomi perlu mencermati kemungkinan ini dengan mengambil langkah-langkah penting untuk mengantisipasi agar silent crisis ini tidak berkembang menjadi krisis yang lebih luas. Bagaimana penjelasan mengenai silent crisis ini?

Seperti yang pernah saya kemukakan sebelumnya (12 Desember 2011), penyelesaian krisis Eropa memang tidak mudah. Kompleksitas yang dihadapi setiap negara Eropa jelas tidak bisa diselesaikan dengan resep “standar” ala IMF: kebijakan uang ketat (tight money policy), seperti yang pernah dipraktikkan Indonesia pada 1998-1999 lalu. Pada Desember 2011 lalu, Uni Eropa bersepakat mem-bail out negara-negara Eropa yang terkena krisis melalui IMF.

IMF kemudian meminta negara-negara Eropa yang terkena krisis melakukan pengetatan fiskal sebagai syarat kucurnya bail out. Ternyata, pengetatan fiskal ini ditentang para politikus dan rakyat dari masingmasing negara Eropa yang terkena krisis, seperti yang terjadi di Yunani, karena khawatir dampaknya bagi kesejahteraan rakyat.

Melihat penolakan ini, IMF pun mulai “ragu” menekan negara-negara Eropa yang terkena krisis agar melakukan pengetatan fiskal. IMF, misalnya, baru-baru ini mengatakan agar pengetatan fiskal dilakukan secara bertahap. Uni Eropa juga memberikan fleksibilitas dalam aturan defisit fiskal, yang tadinya strict tidak boleh melebihi tiga persen dari PDB. Dengan adanya fleksibilitas defisit fiskal ini, itu artinya IMF dan Uni Eropa memberikan kelonggaran bagi negara-negara Eropa yang mengalami krisis memiliki defisit fiskal di atas tiga persen dari PDB.

Kesimpulannya, kelangsungan pemulihan krisis Eropa semakin tidak jelas dan perekonomian global pun akan terganggu. IMF, misalnya, menyatakan bahwa ekonomi global pada 2012 memasuki tahap membahayakan dengan ketidakpastian yang tinggi. Pertumbuhan di negara maju diperkirakan akan rendah dan volatilitas di pasar keuangan akan tetap tinggi. Sementara itu, Cina yang menjadi motor pertumbuhan Asia, bahkan telah memangkas target pertumbuhan ekonomi 2012 dari 8,2 persen menjadi 7,5 persen seiring perlambatan ekspor akibat melemahnya permintaan negara-negara maju.

Kebijakan moneter di negara-negara Asia mulai cenderung akomodatif seiring dengan perlambatan ekonomi. Untuk mendorong perekonomian, Cina kini melonggarkan fiskal dan moneternya. Sejak 24 Februari lalu, Cina melakukan pemangkasan giro wajib minimumnya dan mempertahankan suku bunga acuannya di level rendah (6,56 persen). Sedangkan di sisi fiskal, Cina melakukan pemotongan pajak, meningkatkan belanja untuk sistem kesejahteraan sosial, pembangunan infrastruktur di kawasan pedesaan dan transportasi kota, serta pengembangan strategi industri yang baru.

Krisis global yang telah menyerang Asia ini, sedikit banyak telah memberikan pengaruh negatif terhadap Indonesia. Dari pasar keuangan, misalnya, kita lihat bahwa nilai tukar rupiah selama kuartal I 2012 ini cenderung melemah. Pada April 2012, rupiah secara point-to-point melemah sebesar 0,51 persen (month to month/mtm) ke level Rp 9.191 per dolar AS atau secara rata-rata melemah 0,27 persen (mtm) menjadi Rp 9.166 per dolar AS. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah ini dipengaruhi oleh tingginya kebutuhan impor dan ketidakpastian perekonomian global.

Seiring dengan pelemahan rupiah, risiko bagi investor untuk memegang rupiah pun semakin meningkat. Imbal hasil (yield) SUN cenderung mengalami peningkatan, yang seolah mengabaikan status Indonesia sebagai investment grade countries. Tekanan pada yield SUN ini terutama dipengaruhi oleh adanya ekspektasi inflasi yang meningkat. Dibandingkan dengan negara-negara emerging markets, inflasi Indonesia memang yang terendah. Namun, rendahnya inflasi ini karena harga BBM kita ditahan dengan subsidi yang sangat besar.

Dampak dari perlambatan perekonomian global mulai tampak dari kinerja perdagangan internasional Indonesia. Ekspor Indonesia memang meningkat, namun pertumbuhannya cenderung melambat. Sebaliknya, impor menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi. Per Maret 2012, pertumbuhan ekspor hanya 5,5 persen (yoy), sedangkan impor tumbuh 13,4 persen (yoy). Lambatnya pertumbuhan ekspor ini karena tidak ada perbaikan permintaan secara signifikan dari pasar luar negeri. Neraca perdagangan kita memang surplus, namun surplusnya cenderung mengecil.

Dari sisi fiskal, APBN kita sejatinya juga cukup tertekan dengan tidak adanya kejelasan mengenai kebijakan pengendalian subsidi BBM. Sesuai dengan Undang-Undang APBN-P 2012, harga BBM bersubsidi dapat dinaikkan bila harga minyak mentah (ICP) dalam enam bulan terakhir rata-rata di atas 15 persen dari asumsi APBN-P 2012 sebesar 105 dolar AS per barel (atau sebesar 120,75 dolar AS per barel). Dalam enam bulan terakhir, rata-rata ICP mencapai 119,1 dolar AS per barel (November 2011-April 2012). Namun, melihat tekanan harga minyak mentah yang saat ini menurun, sulit bagi pemerintah memiliki peluang untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dalam waktu dekat.

Di sisi lain, berdasarkan analisis sensitivitas, bila ICP di atas satu dolar AS per barel dari asumsi APBN-P 2012 sebesar 105 dolar AS per barel, akan menyebabkan tambahan defisit sebesar Rp 0,54-Rp 0,65 triliun. Itu artinya, bila selama 2012 ICP bertahan di 120 dolar per barel, tambahan defisit dari faktor ICP saja akan mencapai sekitar Rp 8,25 triliun. Sedangkan bila lifting minyak tidak mencapai target sesuai APBN-P 2012 sebesar 930 ribu barel per hari, setiap satu barel target yang meleset akan menyebabkan tambahan defisit APBN sekitar Rp 2 triliun. Pada Maret lalu, rata-rata lifting kita berada di level 895 ribu per barel. Jika lifting hanya mampu di level 900 ribu barel, tambahan defisit  APBN bisa mencapai Rp 60 triliun. Sehingga, bila faktor harga dan ICP ini digabung, tambahan defisit APBN bisa mencapai sekitar Rp 68 triliun, sebuah angka yang tidak kecil.

Sebenarnya, dalam rangka menjaga agar subsidi BBM berada di level yang ditetapkan APBN, pemerintah juga memiliki opsi untuk mengendalikan konsumsi BBM. Sayangnya, opsi ini tidak dilakukan pemerintah. Bahkan, akibat disparitas harga BBM subsidi dengan nonsubsidi yang begitu tinggi, konsumsi BBM bersubsidi mengalami lonjakan, dan bila tidak ada langkah-langkah pengendalian, diperkirakan konsumsi BBM bersubsidi akan melampaui kuota yang ditetapkan APBN2012 sebesar 40 juta kiloliter.

Berdasarkan analisis di atas inilah, mengapa saya kemudian menyebut bahwa kita saat ini sedang mengalami silent crisis, krisis secara diam-diam, tetapi pelan-pelan berpotensi menurunkan daya tahan perekonomian kita, bila tidak ada langkah-langkah antisipasi dan pencegahan. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi otoritas ekonomi kita, baik moneter maupun pemerintah, untuk mengambil langkah-langkah mendasar dalam mengatasi silent crisis ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar