Silent Crisis
Sunarsip
; Ekonom The
Indonesia Economic Intelligence (IEI)
SUMBER : REPUBLIKA,
14 Mei 2012
Saya
tidak bermaksud membuat khawatir dengan menggunakan istilah silent crisis (krisis diam-diam) dalam
tulisan ini. Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan beberapa fakta bahwa
Indonesia saat ini berpotensi sedang menghadapi silent crisis, terutama disebabkan oleh faktor eksternal dan
internal. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa otoritas ekonomi perlu
mencermati kemungkinan ini dengan mengambil langkah-langkah penting untuk
mengantisipasi agar silent crisis ini
tidak berkembang menjadi krisis yang lebih luas. Bagaimana penjelasan mengenai
silent crisis ini?
Seperti
yang pernah saya kemukakan sebelumnya (12 Desember 2011), penyelesaian krisis
Eropa memang tidak mudah. Kompleksitas yang dihadapi setiap negara Eropa jelas
tidak bisa diselesaikan dengan resep “standar” ala IMF: kebijakan uang ketat (tight money policy), seperti yang pernah
dipraktikkan Indonesia pada 1998-1999 lalu. Pada Desember 2011 lalu, Uni Eropa
bersepakat mem-bail out negara-negara
Eropa yang terkena krisis melalui IMF.
IMF
kemudian meminta negara-negara Eropa yang terkena krisis melakukan pengetatan
fiskal sebagai syarat kucurnya bail out.
Ternyata, pengetatan fiskal ini ditentang para politikus dan rakyat dari masingmasing
negara Eropa yang terkena krisis, seperti yang terjadi di Yunani, karena
khawatir dampaknya bagi kesejahteraan rakyat.
Melihat
penolakan ini, IMF pun mulai “ragu” menekan negara-negara Eropa yang terkena
krisis agar melakukan pengetatan fiskal. IMF, misalnya, baru-baru ini
mengatakan agar pengetatan fiskal dilakukan secara bertahap. Uni Eropa juga
memberikan fleksibilitas dalam aturan defisit fiskal, yang tadinya strict tidak boleh melebihi tiga persen
dari PDB. Dengan adanya fleksibilitas defisit fiskal ini, itu artinya IMF dan
Uni Eropa memberikan kelonggaran bagi negara-negara Eropa yang mengalami krisis
memiliki defisit fiskal di atas tiga persen dari PDB.
Kesimpulannya,
kelangsungan pemulihan krisis Eropa semakin tidak jelas dan perekonomian global
pun akan terganggu. IMF, misalnya, menyatakan bahwa ekonomi global pada 2012
memasuki tahap membahayakan dengan ketidakpastian yang tinggi. Pertumbuhan di
negara maju diperkirakan akan rendah dan volatilitas di pasar keuangan akan
tetap tinggi. Sementara itu, Cina yang menjadi motor pertumbuhan Asia, bahkan
telah memangkas target pertumbuhan ekonomi 2012 dari 8,2 persen menjadi 7,5
persen seiring perlambatan ekspor akibat melemahnya permintaan negara-negara
maju.
Kebijakan
moneter di negara-negara Asia mulai cenderung akomodatif seiring dengan
perlambatan ekonomi. Untuk mendorong perekonomian, Cina kini melonggarkan
fiskal dan moneternya. Sejak 24 Februari lalu, Cina melakukan pemangkasan giro
wajib minimumnya dan mempertahankan suku bunga acuannya di level rendah (6,56
persen). Sedangkan di sisi fiskal, Cina melakukan pemotongan pajak,
meningkatkan belanja untuk sistem kesejahteraan sosial, pembangunan
infrastruktur di kawasan pedesaan dan transportasi kota, serta pengembangan
strategi industri yang baru.
Krisis
global yang telah menyerang Asia ini, sedikit banyak telah memberikan pengaruh
negatif terhadap Indonesia. Dari pasar keuangan, misalnya, kita lihat bahwa
nilai tukar rupiah selama kuartal I 2012 ini cenderung melemah. Pada April
2012, rupiah secara point-to-point
melemah sebesar 0,51 persen (month to
month/mtm) ke level Rp 9.191 per dolar AS atau secara rata-rata melemah 0,27
persen (mtm) menjadi Rp 9.166 per dolar AS. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah
ini dipengaruhi oleh tingginya kebutuhan impor dan ketidakpastian perekonomian
global.
Seiring
dengan pelemahan rupiah, risiko bagi investor untuk memegang rupiah pun semakin
meningkat. Imbal hasil (yield) SUN
cenderung mengalami peningkatan, yang seolah mengabaikan status Indonesia
sebagai investment grade countries. Tekanan
pada yield SUN ini terutama
dipengaruhi oleh adanya ekspektasi inflasi yang meningkat. Dibandingkan dengan
negara-negara emerging markets, inflasi Indonesia memang yang terendah. Namun,
rendahnya inflasi ini karena harga BBM kita ditahan dengan subsidi yang sangat
besar.
Dampak
dari perlambatan perekonomian global mulai tampak dari kinerja perdagangan internasional
Indonesia. Ekspor Indonesia memang meningkat, namun pertumbuhannya cenderung
melambat. Sebaliknya, impor menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi. Per
Maret 2012, pertumbuhan ekspor hanya 5,5 persen (yoy), sedangkan impor tumbuh
13,4 persen (yoy). Lambatnya pertumbuhan ekspor ini karena tidak ada perbaikan
permintaan secara signifikan dari pasar luar negeri. Neraca perdagangan kita
memang surplus, namun surplusnya cenderung mengecil.
Dari
sisi fiskal, APBN kita sejatinya juga cukup tertekan dengan tidak adanya
kejelasan mengenai kebijakan pengendalian subsidi BBM. Sesuai dengan
Undang-Undang APBN-P 2012, harga BBM bersubsidi dapat dinaikkan bila harga
minyak mentah (ICP) dalam enam bulan terakhir rata-rata di atas 15 persen dari
asumsi APBN-P 2012 sebesar 105 dolar AS per barel (atau sebesar 120,75 dolar AS
per barel). Dalam enam bulan terakhir, rata-rata ICP mencapai 119,1 dolar AS
per barel (November 2011-April 2012). Namun, melihat tekanan harga minyak mentah
yang saat ini menurun, sulit bagi pemerintah memiliki peluang untuk menaikkan
harga BBM bersubsidi dalam waktu dekat.
Di
sisi lain, berdasarkan analisis sensitivitas, bila ICP di atas satu dolar AS
per barel dari asumsi APBN-P 2012 sebesar 105 dolar AS per barel, akan
menyebabkan tambahan defisit sebesar Rp 0,54-Rp 0,65 triliun. Itu artinya, bila
selama 2012 ICP bertahan di 120 dolar per barel, tambahan defisit dari faktor
ICP saja akan mencapai sekitar Rp 8,25 triliun. Sedangkan bila lifting minyak
tidak mencapai target sesuai APBN-P 2012 sebesar 930 ribu barel per hari,
setiap satu barel target yang meleset akan menyebabkan tambahan defisit APBN
sekitar Rp 2 triliun. Pada Maret lalu, rata-rata lifting kita berada di level
895 ribu per barel. Jika lifting hanya mampu di level 900 ribu barel, tambahan
defisit APBN bisa mencapai Rp 60
triliun. Sehingga, bila faktor harga dan ICP ini digabung, tambahan defisit
APBN bisa mencapai sekitar Rp 68 triliun, sebuah angka yang tidak kecil.
Sebenarnya,
dalam rangka menjaga agar subsidi BBM berada di level yang ditetapkan APBN,
pemerintah juga memiliki opsi untuk mengendalikan konsumsi BBM. Sayangnya, opsi
ini tidak dilakukan pemerintah. Bahkan, akibat disparitas harga BBM subsidi
dengan nonsubsidi yang begitu tinggi, konsumsi BBM bersubsidi mengalami lonjakan,
dan bila tidak ada langkah-langkah pengendalian, diperkirakan konsumsi BBM
bersubsidi akan melampaui kuota yang ditetapkan APBN2012 sebesar 40 juta
kiloliter.
Berdasarkan
analisis di atas inilah, mengapa saya kemudian menyebut bahwa kita saat ini
sedang mengalami silent crisis,
krisis secara diam-diam, tetapi pelan-pelan berpotensi menurunkan daya tahan
perekonomian kita, bila tidak ada langkah-langkah antisipasi dan pencegahan.
Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi otoritas ekonomi kita, baik
moneter maupun pemerintah, untuk mengambil langkah-langkah mendasar dalam
mengatasi silent crisis ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar