Pemilu Presiden
dan Masa Depan Mesir
Ibnu Burdah ; Pemerhati
Timur Tengah dan Dunia Islam;
Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 16 Mei 2012
CI
TA-C I TA revolusi Mesir untuk mewujudkan demokrasi politik, keadilan dan
kesejahteraan ekonomi, serta kesetaraan hubungan sosial ternyata tidak mudah
menjadi kenyataan. Mewujudkan masyarakat demokratis yang menghargai perbedaan
secara matang ternyata jauh lebih sulit daripada menumbangkan rezim Mubarak
yang sudah menggurat-mengakar selama tiga dasawarsa. Menciptakan kesetaraan
hubungan antarkelompok masyarakat yang plural ternyata juga tidak mudah.
Terlebih lagi menciptakan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan. Itulah
perjalanan berat Mesir pascarevolusi 25 Januari tahun lalu hingga sekarang.
Sebaliknya,
fakta menunjukkan kondisi Mesir pascarevolusi justru diwarnai ketidakstabilan
ekonomi, sosial, politik, bahkan keamanan. Sebagian pemikir kenegaraan Mesir
juga memperingatkan potensi ancaman terhadap pertahanan negara, terutama dari
intelijen AS dan Israel, yang sudah mencium gelagat Mesir akan menjauh dari
orbit mereka setelah jatuhnya Mubarak. Suasana pemilu merupakan titik rawan
bagi penyusupan intelijen asing untuk mengacaukan situasi.
Peran
Mesir di forum regional dan internasional seolah juga tidak lagi bertaji. Di
Liga Arab, misalnya, Mesir yang merupakan tempat markas besar organisasi itu
sekarang seperti dikangkangi negara mikro (duwailah/microstate)
Qatar. Pertemuan-pertemuan penting dan keputusan-keputusan strategis organisasi
itu sering diambil di Doha, Qatar, bukan di Kairo, Mesir.
Pemilihan
presiden yang akan diselenggarakan pada 23-24 Mei ini menjadi momentum penting,
setidaknya bagi upaya mengembalikan Mesir ke jalur cita-cita revolusi itu dan
menegakkan kembali harga dirinya di mata negara lain. Jika proses pemilu itu
berjalan lancar dan berhasil memilih presiden yang dapat diterima kalangan
luas, baik sipil maupun militer, rakyat biasa maupun aktivis revolusi, dan
kekuatan partai yang beragam spektrum ideologi dan kepentingan, niscaya pemilu
itu akan menjadi harapan bagi titik tolak kebangkitan dan kemajuan negara itu.
Jika presiden terpilih mampu menginstitusionalisasikan hasil-hasil revolusi
rakyat ke dalam pemerintahan yang demokratis, bersih, dan berjuang untuk
kesejahteraan rakyat, bukan hanya kelompok, niscaya Mesir baru yang
dicita-citakan revolusi 25 Januari bukanlah utopia belaka.
Memperburuk Situasi?
Sebaliknya, jika proses pemilu itu
cacat karena diwarnai kecurangan signifikan atau sebab lain, niscaya hal itu
akan memperburuk situasi di Mesir. Proses pemilu presiden sejauh ini telah
menganulir beberapa tokoh potensial. Coba kita tengok daftar kandidat
tereliminasi berikut: Ayman Nour dari partai liberal al-Ghad, satu-satunya
tokoh yang berani maju melawan Mubarak dalam pemilihan presiden selama 30 tahun
rezim diktator itu. Kandidat lain ialah Abu Ismail yang memperoleh dukungan
solid dari Partai al-Noor dengan basis kelompok salafi.
Kelompok itu dikenal sangat dekat dengan Arab Saudi dan ditengarai memiliki
pendanaan yang luar biasa. Pun Umar Sulaiman, calon yang didukung anasir-anasir
rezim lama. Penganuliran tersebut tidak bisa dipandang enteng sebab setiap
kandidat memiliki dukungan yang luas dan kuat di masyarakat. Penganuliran Abu Ismail
berubah menjadi demonstrasi besar-besaran yang digerakkan kelompok salafi
hingga saat ini dan diperparah dengan bergabungnya kelompok liberal meski
dengan mengangkat isu berbeda.
Jika
proses itu yang terjadi, sulit membayangkan pemerintahan yang dihasilkan pemilu
akan mampu membawa Mesir ke jalur cita-cita revolusi. Pemerintahan baru akan
sulit melakukan apa pun, bahkan untuk menarik kekuasaan dari Dewan Tertinggi
Militer kepada pemerintah sipil hasil pemilu, yang merupakan agenda terdekat
dan terpenting pascapemilu. Mereka akan menemui banyak kesulitan untuk
mengembalikan stabilitas politik, ekonomi, maupun keamanan di tengah-tengah
euforia kebebasan dan kecenderungan menguatnya politik sektarian saat ini. Yang
paling mengerikan, ancaman perpecahan potensial terus membayangi Mesir ke
depan.
Kualitas
para kandidat yang lolos kualifikasi sepertinya tidak perlu diragukan lagi,
apalagi Mesir memang memiliki stok pemikir dan orang-orang hebat di Timur
Tengah. Namanama seperti Amr Musa, Abdul Mun’im Abul Futuh, Muhammad Salim Awa,
dan Khalid Aly bukanlah orang-orang dengan kapasitas intelektual dan integritas
sembarangan. Yang menjadi masalah ialah seberapa besar mereka dapat diterima
rakyat dan kelompok-kelompok yang beragam di tengah suasana seperti sekarang.
Dari
kandidat-kandidat yang ada, tak ada satu pun yang dapat diterima secara luas di
kalangan lain. Amr Musa, bagaimanapun, dipandang anak-anak muda revolusioner
sebagai bagian rezim Mubarak meskipun ia lolos kualifikasi dan sangat populer.
Amr Musa adalah menteri luar negeri era Mubarak sebelum 2001. Regulasi pemilu
presiden menyebut larangan para petinggi masa Mubarak selama 10 tahun terakhir
(setelah 2001) untuk turut serta dalam pemilu presiden ini. Kandidat lain,
Abdul Mun'im Abul Futuh, sangat sulit diterima parlemen Mesir sebab sikapnya
yang berseberangan dengan Partai Khurriyah
wa al-Adalah (sayap politik Ikhwanul Muslimin) yang menyebabkannya
dikeluarkan dari jemaah Ikhwanul Muslimin. Muhammad Musryi dan Khalid Aly
kurang begitu dikenal dan sulit untuk sementara ini menyaingi popularitas dua
kandidat itu.
Mengingat
sulitnya mencari tokoh yang dapat diterima semua pihak, proses pemilu yang
bersih, jujur, dan adil akan menjadi syarat mutlak bagi legitimasi mereka untuk
memerintah. Terlalu jauh untuk berbicara terwujudnya cita-cita revolusi 25
Januari dalam kehidupan masyarakat Mesir pada waktu-waktu dekat ini. Pulihnya
stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan pascapemilu yang sukses sudah
merupakan capaian historis yang amat berarti. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar