Kamis, 17 Mei 2012

Privatisasi Parsial Bandara


Privatisasi Parsial Bandara
Natya K Jenie ;  Pengamat Transportasi
SUMBER :  REPUBLIKA, 14 Mei 2012


Beberapa hari ini media asyik membahas masalah bandara yang dipandang sudah tak layak lagi. Tentunya yang menjadi pokok pembahasan bukan seluruh bandara di Indonesia, melainkan utamanya Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta dan Bandara Ngurah Rai di Bali. Tidak dapat dimungkiri bahwa adanya ketimpangan antara kapasitas dan penggunaan riil memunculkan permasalahan inefisiensi fungsi bandara. Belum lagi permasalahan identitas, citra negeri, maupun efeknya pada perekonomian.

Sebenarnya tak hanya kedua bandara tersebut yang memerlukan revitalisasi. Coba kita tengok kembali be berapa bandara di kota-kota besar di In donesia. Sebut saja Bandara Adi Sucipto di Daerah Istimewa Yogyakarta, Bandara Polonia Medan, juga Bandara Ahmad Yani Semarang. Ke tiga bandara tersebut memiliki lokasi yang relatif dekat dengan pusat kota.

Bukan Tabu

Ini problematika klasik. Ini sangat menyedihkan. Bagi si kota induk, letak bandara yang cukup dekat tersebut juga menjadi kendala untuk meningkatkan kapasitas kota, terutama secara vertikal. Jika pusat kota maupun titik pertumbuhan kota berada dalam jarak kurang dari enam km dari bandara maka akan sangat sulit bagi kota itu untuk mempunyai gedung pencakar langit.

Jika memang tak sanggup meningkatkan performa dan memberikan pelayanan yang baik mungkin lebih baik jika beberapa bandara kita diprivatisasi. Memang sepertinya masih aneh mendengar privatisasi dilakukan pada fasilitas transportasi umum di Indonesia. Bandara komersial umum di Indonesia masih dimiliki pemerintah yang otoritas pengelolaannya diberikan kepada BUMN, yaitu PT (Persero) Angkasa Pura I dan II.

Dengan alasan politik dan kedaulatan, sangat jarang adanya transaksi pasar bandara komersial antardaerah atau negara. Meskipun demikian, lebih dari satu dekade terakhir ini banyak negara yang melakukan privatisasi infrastruktur mereka, termasuk bandara, jalan raya, maupun jasa pelayaran dan kereta api. Umumnya, kebijakan privatisasi ini menurut United States General Accounting Office atau GAO (1996:31) diambil dengan tujuan untuk meningkatkan kapital, mengurangi besarnya sektor publik atau mengurangi monopoli pemerintah, dan memperbaiki efisiensi ekonomi. Gelombang awal privatisasi dimulai pada pertengahan 1980-an ketika Pemerintah Inggris menjual perusahaan pemerintah British Airport Authority (BAA) dan tujuh bandara utamanya kepada publik dengan nilai 2,5 miliar dolar AS pada 1987, termasuk Bandara Heathrow di London. Hasil dari penjualan ini digunakan untuk mengurangi utang negara.

Sejak privatisasi itu, BAA memperoleh profit yang terus mening kat. Berangkat dari hasil positif yang terjadi di Inggris ini, tren privatisasi bandara berpindah ke negara-negara lain. Betancor dan Rendeiro (1999:23) mencatat, beberapa negara yang telah melakukan privatisasi bandara ini, diantaranya Austria, Denmark, Australia, Selandia Baru, Jerman, Peru, Yunani, dan Italia.

Di Amerika Latin, Pemerintah Meksiko berencana untuk melepas sebagian besar saham Cancun Airport yang semula dimiliki penuh oleh pemerintah dan dikelola Grupo Aeroportuario del Sureste SA. Untuk wilayah Asia, negara pertama yang telah memulai pro ses privatisasi bandara adalah Ma lay sia dan Oman (Vasigh et al, 2003:228). Pemerintah Brasil pun melaku kan privatisasi tiga bandaranya menjelang Piala Dunia 2014.

Privatisasi bandara juga telah mulai dipertimbangkan di Indonesia. Sejak 2000-an telah berkembang wacana privatisasi bandara maupun maskapai penerbangan negara. Pada 2003 telah dipersiapkan rencana privatisasi tiga bandara di Indonesia, yaitu Bandara Soekarno Hatta, Bandara Ngurah Rai, dan Bandara Selaparang di Lombok. Tetapi, hingga saat ini realisasi privatisasi tersebut belum terwujud. Privatisasi bandara dapat mengambil bentuk equity carve out untuk tetap mempertahankan kendali terhadap bandara tersebut sekaligus dapat meningkatkan kapasitas bandara dan profesionalisme dalam pengelolaannya. Privatisasi parsial suatu bandara yang pada awalnya berada dalam kepemilikan dan pengelolaan sebuah perusahaan negara memang dimungkinkan. 

Beberapa negara di Eropa telah menerapkannya, seperti Austria, Denmark, juga Jerman. Privatisasi semacam ini dilakukan pula oleh The Schipol Group terhadap Amsterdam Schipol Airport di Belanda. Vasigh et al. (2003:225-236) juga mencoba melakukan studi penilaian tiga bandara terbesar yang dikelola The Korean Airport Corporation (KAC) dalam rang ka privatisasi bandara. Langkah ini merupakan bentuk equity carve out yang kepentingan minoritas di suatu cabang perusahaan dijual sehingga perusahaan induk tetap memiliki ekuitas dan tidak kehilangan kon trol.

Pegang Kendali

Melihat fakta tersebut maka sangat memungkinkan jika privatisasi dilakukan pada bandara di Indonesia. Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara Ngurah Rai merupakan bandara komersial yang tidak hanya melayani warga Indonesia, tetapi juga warga negara asing yang melakukan perjalanan bisnis maupun wisata. Tentu tidak dapat dimungkiri bahwa pada bandara ini tersemat citra Indonesia dalam memberikan fasilitas layanan publik.

Jika memang privatisasi, dalam hal ini dengan bentuk equity carve out, dapat menjadi jalan keluar bagi tercapainya peran bandara yang lebih optimal maka tak ada salahnya jika pemerintah mempersiapkan kedua bandara itu untuk diprivatisasi parsial. Konsentrasi APBN juga APBD dapat lebih difokuskan pada pelayanan kesehatan, pendidikan, serta pelayanan transportasi yang lain. Toh, pada langkah equity carve out ini perusahaan induk tidak kehilangan kontrol sepenuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar