Privatisasi
Parsial Bandara
Natya K Jenie ; Pengamat
Transportasi
SUMBER : REPUBLIKA,
14 Mei 2012
Beberapa
hari ini media asyik membahas masalah bandara yang dipandang sudah tak layak
lagi. Tentunya yang menjadi pokok pembahasan bukan seluruh bandara di
Indonesia, melainkan utamanya Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta dan Bandara
Ngurah Rai di Bali. Tidak dapat dimungkiri bahwa adanya ketimpangan antara kapasitas
dan penggunaan riil memunculkan permasalahan inefisiensi fungsi bandara. Belum
lagi permasalahan identitas, citra negeri, maupun efeknya pada perekonomian.
Sebenarnya
tak hanya kedua bandara tersebut yang memerlukan revitalisasi. Coba kita tengok
kembali be berapa bandara di kota-kota besar di In donesia. Sebut saja Bandara
Adi Sucipto di Daerah Istimewa Yogyakarta, Bandara Polonia Medan, juga Bandara
Ahmad Yani Semarang. Ke tiga bandara tersebut memiliki lokasi yang relatif
dekat dengan pusat kota.
Bukan Tabu
Ini
problematika klasik. Ini sangat menyedihkan. Bagi si kota induk, letak bandara
yang cukup dekat tersebut juga menjadi kendala untuk meningkatkan kapasitas
kota, terutama secara vertikal. Jika pusat kota maupun titik pertumbuhan kota
berada dalam jarak kurang dari enam km dari bandara maka akan sangat sulit bagi
kota itu untuk mempunyai gedung pencakar langit.
Jika
memang tak sanggup meningkatkan performa dan memberikan pelayanan yang baik
mungkin lebih baik jika beberapa bandara kita diprivatisasi. Memang sepertinya
masih aneh mendengar privatisasi dilakukan pada fasilitas transportasi umum di
Indonesia. Bandara komersial umum di Indonesia masih dimiliki pemerintah yang
otoritas pengelolaannya diberikan kepada BUMN, yaitu PT (Persero) Angkasa Pura
I dan II.
Dengan
alasan politik dan kedaulatan, sangat jarang adanya transaksi pasar bandara
komersial antardaerah atau negara. Meskipun demikian, lebih dari satu dekade
terakhir ini banyak negara yang melakukan privatisasi infrastruktur mereka,
termasuk bandara, jalan raya, maupun jasa pelayaran dan kereta api. Umumnya, kebijakan
privatisasi ini menurut United States
General Accounting Office atau GAO (1996:31) diambil dengan tujuan untuk
meningkatkan kapital, mengurangi besarnya sektor publik atau mengurangi
monopoli pemerintah, dan memperbaiki efisiensi ekonomi. Gelombang awal privatisasi
dimulai pada pertengahan 1980-an ketika Pemerintah Inggris menjual perusahaan
pemerintah British Airport Authority
(BAA) dan tujuh bandara utamanya kepada publik dengan nilai 2,5 miliar dolar AS
pada 1987, termasuk Bandara Heathrow di London. Hasil dari penjualan ini
digunakan untuk mengurangi utang negara.
Sejak
privatisasi itu, BAA memperoleh profit yang terus mening kat. Berangkat dari
hasil positif yang terjadi di Inggris ini, tren privatisasi bandara berpindah
ke negara-negara lain. Betancor dan Rendeiro (1999:23) mencatat, beberapa
negara yang telah melakukan privatisasi bandara ini, diantaranya Austria,
Denmark, Australia, Selandia Baru, Jerman, Peru, Yunani, dan Italia.
Di
Amerika Latin, Pemerintah Meksiko berencana untuk melepas sebagian besar saham Cancun Airport yang semula dimiliki
penuh oleh pemerintah dan dikelola Grupo
Aeroportuario del Sureste SA. Untuk wilayah Asia, negara pertama yang telah
memulai pro ses privatisasi bandara adalah Ma lay sia dan Oman (Vasigh et al,
2003:228). Pemerintah Brasil pun melaku kan privatisasi tiga bandaranya
menjelang Piala Dunia 2014.
Privatisasi
bandara juga telah mulai dipertimbangkan di Indonesia. Sejak 2000-an telah
berkembang wacana privatisasi bandara maupun maskapai penerbangan negara. Pada
2003 telah dipersiapkan rencana privatisasi tiga bandara di Indonesia, yaitu
Bandara Soekarno Hatta, Bandara Ngurah Rai, dan Bandara Selaparang di Lombok.
Tetapi, hingga saat ini realisasi privatisasi tersebut belum terwujud.
Privatisasi bandara dapat mengambil bentuk equity
carve out untuk tetap mempertahankan kendali terhadap bandara tersebut sekaligus
dapat meningkatkan kapasitas bandara dan profesionalisme dalam pengelolaannya. Privatisasi
parsial suatu bandara yang pada awalnya berada dalam kepemilikan dan
pengelolaan sebuah perusahaan negara memang dimungkinkan.
Beberapa negara di
Eropa telah menerapkannya, seperti Austria, Denmark, juga Jerman. Privatisasi
semacam ini dilakukan pula oleh The
Schipol Group terhadap Amsterdam Schipol Airport di Belanda. Vasigh et al. (2003:225-236)
juga mencoba melakukan studi penilaian tiga bandara terbesar yang dikelola The Korean Airport Corporation (KAC)
dalam rang ka privatisasi bandara. Langkah ini merupakan bentuk equity carve out yang kepentingan
minoritas di suatu cabang perusahaan dijual sehingga perusahaan induk tetap
memiliki ekuitas dan tidak kehilangan kon trol.
Pegang Kendali
Melihat
fakta tersebut maka sangat memungkinkan jika privatisasi dilakukan pada bandara
di Indonesia. Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara Ngurah Rai merupakan bandara komersial
yang tidak hanya melayani warga Indonesia, tetapi juga warga negara asing yang
melakukan perjalanan bisnis maupun wisata. Tentu tidak dapat dimungkiri bahwa
pada bandara ini tersemat citra Indonesia dalam memberikan fasilitas layanan
publik.
Jika memang
privatisasi, dalam hal ini dengan bentuk equity
carve out, dapat menjadi jalan keluar bagi tercapainya peran bandara yang
lebih optimal maka tak ada salahnya jika pemerintah mempersiapkan kedua bandara
itu untuk diprivatisasi parsial. Konsentrasi APBN juga APBD dapat lebih
difokuskan pada pelayanan kesehatan, pendidikan, serta pelayanan transportasi
yang lain. Toh, pada langkah equity carve
out ini perusahaan induk tidak kehilangan kontrol sepenuhnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar