Rabu, 16 Mei 2012

Quo Vadis Pembaruan Agraria?


Quo Vadis Pembaruan Agraria?
Zainun Ahmadi ;  Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 15 Mei 2012


MESUJI terus membara. Kejadian mutakhir, amuk massa, yang menyerbu dan membakar kantor bupati di kawasan Register 45--daerah laten konflik lahan yang masih bergolak. Untuk kesekian kalinya ulah anarkistis semacam itu mengingatkan betapa mendesak penyelesaian konfl ik sumber daya agraria sebagai arahan ketetapan MPR RI.

Mesuji akan terus dalam kondisi kisruh sepanjang akar masalah keagrariaan tidak terselesaikan, bukan sematamata penolakan terhadap penonaktifan Wakil Bupati Mesuji oleh Mendagri. Fakta di lapangan menunjukkan, sudah berbulan-bulan ratusan warga berkemah menguasai kawasan Register 45-–daerah persengketaan lahan antara pengusaha dan petani.

Empat hari warga menduduki kantor bupati sebelum pembakaran yang rusuh itu. Baru kemudian pascakejadian, gubernur dan polisi saling menyalahkan, bahkan Presiden Yudhoyono menyatakan peristiwa itu tidak dapat ditoleransi dan harus diusut tuntas.

Mesuji ialah potret buram yang mungkin merepresentasikan tragedi di banyak tempat akibat timpangnya struktur penguasaan tanah, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatannya.

Buah Reformasi

Pembaruan agraria merupakan kemauan reformasi. Tekad politik itu dituangkan ke dalam Ketetapan (Tap) MPR Nomor IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Salah satu arah kebijakan pengelolaannya ialah menyelesaikan konflik sekaligus mengantisipasi potensi terjadinya konflik. 

Sebelumnya di era Orde Baru, berbagai kasus muncul karena ambiguitas kebijakan (peraturan) pemerintah, struktur hukum agraria menjadi tumpang-tindih, dan bahkan ada upaya sistematis penanganan bidang agraria hanya sebatas hak-hak atas tanah. UU Nomor 5/1960 tentang UU Pokok Agraria (UUPA) sebagai payung hukum bagi kebijakan agraria menjadi tidak berfungsi dengan diterbitkannya beragam peraturan perundang-undangan, antara lain di sektor kehutanan, pertambangan, mineral dan gas bumi, jalan, transmigrasi, pengairan, perumahan, pemerintahan desa, dan tata ruang.

Keseluruhan UU itu mempunyai kedudukan yang sama dengan objek yang sama pula, yaitu tanah, sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkkan benturan kepentingan antardaerah-­vertikal dan horizontal, serta antarinstansi-yang menafsirkan peraturan perundangan menurut syahwat ego sektor masing-masing. 

Pemerintah seperti nya berpijak pada `hak menguasai' menurut rumusan Pasal 2 U U PA , dan menafsirkan sendiri pengertian `dikuasai oleh negara' pada rumusan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Padahal `hak menguasai' berbeda dengan hak memiliki, seperti dipraktikkan pada zaman kolonial, karena makna `menguasai' di sini dalam kapasitas negara sebagai ba dan publik-­bukan individu yang memiliki tanah. Adapun `dikuasai oleh negara' nyatanyata merupakan pemenggalan frasa yang seharusnya menjadi suatu kesatuan tidak terpisahkan dengan frasa `dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat'.

Bukankah Pasal 1 UUPA menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan kesatuan tanah air bagi rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia? UUPA menjadi bagian dari keberhasilan anak bangsa melepaskan diri dari keterikatan pada peraturan hukum kolonial, mengakhiri berlakunya dualisme hukum, dan juga merupakan bentuk pembaruan agraria. Maka, pada tempatnya, negara Indonesia yang agraris menganggap bumi, air, dan ruang angkasa adalah karunia Tuhan sebagai sarana pembangunan masyarakat adil dan makmur.

Program pembaruan agraria mulai marak dijalankan di banyak negara Asia dan Amerika Latin sejak Perang Dunia II berakhir. Namun, baru pada 1960 Indonesia berhasil meletakkan landasan hukumnya. Selain UUPA, ada juga undangundang perjanjian bagi hasil, penggunaan, dan penetapan luas tanah untuk tanaman tertentu, penetapan luas tanah pertanian, dan lain-lain. Dimulailah program alokasi sumber agraria secara proporsional atas dasar peruntukannya (land reform), restrukturisasi sebaran pemilikan dan penguasaan (redistribusi lahan), dan program penunjang lain yang prorakyat. Objeknya tidak hanya tanah pertanian rakyat, tetapi juga semua sektor seperti pertanian, perkebunan, pertam bangan, dan kehu tanan.

Program itu terhenti pada 1965 karena prahara politik, dan seiring dengan pergantian rezim, kondisi politik terbalikkan dengan kebijakan `rumah terbuka'. Hutan, tambang, dan sumber daya agraria lain dijual dan digadai demi mengejar pertumbuhan ekonomi. Tanah menjadi komoditas. Hal itu melahirkan praktik spekulasi, ketimpangan penguasaan tanah meluas, dan tanahtanah pertanian terkonversi yang menyebabkan petani tergusur menjadi TKI ke luar negeri, atau menjadi kaum buruh dan kaum miskin di kota-kota. Selain itu, konflik/ sengketa tanah merajalela di mana-mana.

Pembaruan agraria sejatinya merupakan kemauan politik pemerintah yang sedang berkuasa. Berhasil atau tidak, itu terpulang kepada prakarsanya sendiri, sebutlah pada tingkat paling bawah, perangkat pemerintahan desa akan senantiasa terlibat. Pada 1967, pemerintahan Orde Baru mengubah orientasi kebijakan yang berbeda dengan sebelumnya. Pertama, mengejar pertumbuhan tinggi melalui utang luar negeri (padahal penerimaan minyak bumi pada waktu itu sedang booming). Kedua, mendorong investasi asing dengan berbagai kemudahan dan fasilitas tax holiday

Ketiga, menuju mekanisme pasar, perdagangan dan rezim devisa bebas.
Ketiga hal tersebut telah mengubah kebijakan agraria yang selalu dikaitkan dengan utang, membuat negeri ini tidak berdaulat secara politik. Perekonomian digiring ke dalam kapitalisme global sehingga tidak lagi mampu berdiri di atas kaki sendiri, dan pada gilirannya kini kebudayaan agraria (agrarian culture) di negeri agraris terasa hilang kepribadiannya.

Mandat Presiden

Reformasi 1998 mendesakkan paradigma baru. Salah satunya pembaruan agraria yang menjadi Tap MPR Nomor IX/2001, dan merupakan mandat yang harus dilaksanakan presiden. Tap itu menentukan arah/dasar pembangunan nasional dalam menjawab reformasi berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan sosial ekonomi rakyat, serta kerusakan sumber daya alam. Konkretnya, mengamanatkan presiden untuk menata ulang penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan lahan secara adil serta menyelesaikan konflik agraria.

Sudah 10 tahun lebih amanat MPR tersebut belum diwujudkan sehingga tidak mengherankan bila memunculkan gejolak sosial seperti di Mesuji. Pemerintah seperti menghindar. Terbukti, tujuh rekomendasi tim gabungan pencari fakta kasus Mesuji beberapa waktu lalu hanya menyangkut pelaku/ korban serta pembuat/pengedar video kekerasan. Tidak ada upaya penyelesaian akar konflik agraria sebagai realisasi mandat Tap MPR Nomor IX/2001.

Pemerintah abai, padahal pesan Pasal 6 Tap MPR tersebut amat keras: `...segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelo laan sumber daya alam serta mencabut, mengubah, dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Tap MPR'. Quo vadis?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar