Quo Vadis
Pembaruan Agraria?
Zainun Ahmadi ; Anggota
DPR Fraksi PDI Perjuangan
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 15 Mei 2012
MESUJI
terus membara. Kejadian mutakhir, amuk massa, yang menyerbu dan membakar kantor
bupati di kawasan Register 45--daerah laten konflik lahan yang masih bergolak. Untuk
kesekian kalinya ulah anarkistis semacam itu mengingatkan betapa mendesak
penyelesaian konfl ik sumber daya agraria sebagai arahan ketetapan MPR RI.
Mesuji
akan terus dalam kondisi kisruh sepanjang akar masalah keagrariaan tidak
terselesaikan, bukan sematamata penolakan terhadap penonaktifan Wakil Bupati
Mesuji oleh Mendagri. Fakta di lapangan menunjukkan, sudah berbulan-bulan
ratusan warga berkemah menguasai kawasan Register 45-–daerah persengketaan
lahan antara pengusaha dan petani.
Empat
hari warga menduduki kantor bupati sebelum pembakaran yang rusuh itu. Baru
kemudian pascakejadian, gubernur dan polisi saling menyalahkan, bahkan Presiden
Yudhoyono menyatakan peristiwa itu tidak dapat ditoleransi dan harus diusut
tuntas.
Mesuji
ialah potret buram yang mungkin merepresentasikan tragedi di banyak tempat
akibat timpangnya struktur penguasaan tanah, kepemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatannya.
Buah Reformasi
Pembaruan agraria merupakan kemauan reformasi. Tekad
politik itu dituangkan ke dalam Ketetapan (Tap) MPR Nomor IX/2001 tentang pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Salah satu arah kebijakan pengelolaannya
ialah menyelesaikan konflik sekaligus mengantisipasi potensi terjadinya konflik.
Sebelumnya di era Orde Baru, berbagai kasus muncul karena ambiguitas kebijakan
(peraturan) pemerintah, struktur hukum agraria menjadi tumpang-tindih, dan
bahkan ada upaya sistematis penanganan bidang agraria hanya sebatas hak-hak
atas tanah. UU Nomor 5/1960 tentang UU Pokok Agraria (UUPA) sebagai payung
hukum bagi kebijakan agraria menjadi tidak berfungsi dengan diterbitkannya beragam
peraturan perundang-undangan, antara lain di sektor kehutanan, pertambangan, mineral
dan gas bumi, jalan, transmigrasi, pengairan, perumahan, pemerintahan desa, dan
tata ruang.
Keseluruhan UU itu mempunyai kedudukan yang sama dengan
objek yang sama pula, yaitu
tanah, sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkkan benturan kepentingan antardaerah-vertikal
dan horizontal, serta antarinstansi-yang menafsirkan peraturan perundangan
menurut syahwat ego sektor masing-masing.
Pemerintah seperti nya berpijak pada
`hak menguasai' menurut rumusan Pasal 2 U U PA , dan menafsirkan sendiri
pengertian `dikuasai oleh negara' pada rumusan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Padahal
`hak menguasai' berbeda dengan hak memiliki, seperti dipraktikkan pada zaman
kolonial, karena makna `menguasai' di sini dalam kapasitas negara sebagai ba
dan publik-bukan individu yang memiliki tanah. Adapun `dikuasai oleh negara'
nyatanyata merupakan pemenggalan frasa yang seharusnya menjadi suatu kesatuan
tidak terpisahkan dengan frasa `dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat'.
Bukankah
Pasal 1 UUPA menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan kesatuan
tanah air bagi rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia? UUPA
menjadi bagian dari keberhasilan anak bangsa melepaskan diri dari keterikatan
pada peraturan hukum kolonial, mengakhiri berlakunya dualisme hukum, dan juga
merupakan bentuk pembaruan agraria. Maka, pada tempatnya, negara Indonesia yang
agraris menganggap bumi, air, dan ruang angkasa adalah karunia Tuhan sebagai
sarana pembangunan masyarakat adil dan makmur.
Program
pembaruan agraria mulai marak dijalankan di banyak negara Asia dan Amerika
Latin sejak Perang Dunia II berakhir. Namun, baru pada 1960 Indonesia berhasil
meletakkan landasan hukumnya. Selain UUPA, ada juga undangundang perjanjian
bagi hasil, penggunaan, dan penetapan luas tanah untuk tanaman tertentu,
penetapan luas tanah pertanian, dan lain-lain. Dimulailah program alokasi
sumber agraria secara proporsional atas dasar peruntukannya (land reform), restrukturisasi sebaran
pemilikan dan penguasaan (redistribusi lahan), dan program penunjang lain yang
prorakyat. Objeknya tidak hanya tanah pertanian rakyat, tetapi juga semua sektor
seperti pertanian, perkebunan, pertam bangan, dan kehu tanan.
Program
itu terhenti pada 1965 karena prahara politik, dan seiring dengan pergantian
rezim, kondisi politik terbalikkan dengan kebijakan `rumah terbuka'. Hutan,
tambang, dan sumber daya agraria lain dijual dan digadai demi mengejar
pertumbuhan ekonomi. Tanah menjadi komoditas. Hal itu melahirkan praktik
spekulasi, ketimpangan penguasaan tanah meluas, dan tanahtanah pertanian
terkonversi yang menyebabkan petani tergusur menjadi TKI ke luar negeri, atau
menjadi kaum buruh dan kaum miskin di kota-kota. Selain itu, konflik/ sengketa
tanah merajalela di mana-mana.
Pembaruan
agraria sejatinya merupakan kemauan politik pemerintah yang sedang berkuasa.
Berhasil atau tidak, itu terpulang kepada prakarsanya sendiri, sebutlah pada
tingkat paling bawah, perangkat pemerintahan desa akan senantiasa terlibat.
Pada 1967, pemerintahan Orde Baru mengubah orientasi kebijakan yang berbeda
dengan sebelumnya. Pertama, mengejar pertumbuhan tinggi melalui utang luar
negeri (padahal penerimaan minyak bumi pada waktu itu sedang booming). Kedua, mendorong investasi
asing dengan berbagai kemudahan dan fasilitas tax holiday.
Ketiga, menuju mekanisme pasar, perdagangan dan rezim
devisa bebas.
Ketiga
hal tersebut telah mengubah kebijakan agraria yang selalu dikaitkan dengan
utang, membuat negeri ini tidak berdaulat secara politik. Perekonomian digiring
ke dalam kapitalisme global sehingga tidak lagi mampu berdiri di atas kaki
sendiri, dan pada gilirannya kini kebudayaan agraria (agrarian culture) di negeri agraris terasa hilang kepribadiannya.
Mandat Presiden
Reformasi
1998 mendesakkan paradigma baru. Salah satunya pembaruan agraria yang menjadi
Tap MPR Nomor IX/2001, dan merupakan mandat yang harus dilaksanakan presiden.
Tap itu menentukan arah/dasar pembangunan nasional dalam menjawab reformasi
berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan sosial ekonomi
rakyat, serta kerusakan sumber daya alam. Konkretnya, mengamanatkan presiden
untuk menata ulang penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan lahan secara adil
serta menyelesaikan konflik agraria.
Sudah
10 tahun lebih amanat MPR tersebut belum diwujudkan sehingga tidak mengherankan
bila memunculkan gejolak sosial seperti di Mesuji. Pemerintah seperti
menghindar. Terbukti, tujuh rekomendasi tim gabungan pencari fakta kasus Mesuji
beberapa waktu lalu hanya menyangkut pelaku/ korban serta pembuat/pengedar video
kekerasan. Tidak ada upaya penyelesaian akar konflik agraria sebagai realisasi
mandat Tap MPR Nomor IX/2001.
Pemerintah
abai, padahal pesan Pasal 6 Tap MPR tersebut amat keras: `...segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan
pembaruan agraria dan pengelo laan sumber daya alam serta mencabut, mengubah,
dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak
sejalan dengan Tap MPR'. Quo vadis? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar