Rabu, 09 Mei 2012

PNS Berkualitas Mengapa Ditelantarkan?


PNS Berkualitas Mengapa Ditelantarkan?
Ratnasari Azahari; PNS dan Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Demografi di Lemhanas
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 08 Mei 2012


Dalam era globalisasi yang ketat dengan persaingan maka merupakan suatu keharusan untuk meningkatkan kualitas pegawai negeri sipil (PNS) guna menghadapinya. Selama ini pun sudah ada upaya untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi PNS melalui berbagai pelatihan-pelatihan yang bersifat teknis maupun strategis. Demikian pun meningkatkan pendidikan melalui jalur formal juga sangat dianjurkan.

Tujuan itu semua adalah agar PNS dapat lebih baik dalam mengelola negara yang saat ini dalam kondisi carut marut. PNS sebagai abdi negara dan masyarakat harus maksimal dan profesional dalam bekerja.

Tak heran jika seorang PNS dapat lulus seleksi untuk mendapatkan beasiswa guna melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, di dalam atau di luar negeri, dia akan sangat bangga. Seharusnya terhadap PNS yang seperti ini diperlakukan dengan lebih baik, apalagi jika dia berhasil menggondol gelar yang lebih tinggi sekembalinya dari pendidikan.

Sementara PNS yang gagal menyelesaikan pendidikannya juga tetap harus dihargai dan harus dicari tahu penyebab kegagalan tersebut. Misalnya, karena kendala bahasa, atau masalah sosial budaya, atau mungkin PNS tersebut mencari ilmu praktis lainnya, dan hanya mendapatkan sertifikat-sertifikat.

Jadi, harus digali penyebab kegagalan itu, dan bukan sebaliknya, malah dicari-cari kesalahannya dan dicocok-cocokkan dengan peraturan yang ada. Jangan sampai kegagalan berarti PNS tersebut harus disingkirkan, hanya karena soal “kedudukan yang terancam”.

Haruslah diakui situasi “kedudukan yang terancam” adalah situasi umum di kalangan birokasi kita. Banyak para alumni yang selesai tugas belajar harus menunggu waktu yang cukup lama, dengan alasan menunggu penerbitan SK penempatan.

Banyak PNS berkualitas dibiarkan begitu saja, bahkan ada yang uang gajinya ditahan dengan alasan baru akan dicairkan jika SK telah keluar. Kasus-kasus seperti ini seharusnya menjadi perhatian para pejabat yang berwenang, dalam hal ini khususnya dari BKN, Menpan, dan semua institusi terkait.

Apa yang Salah?

Kenyataan yang diterima PNS setelah kembali ke instansinya setelah tugas belajar, terutama yang dari luar negeri, banyak yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Padahal, mereka menggebu menuntut ilmu dengan “impian” sekembalinya nanti akan membaktikan diri bagi bangsa dan negara. Kenyataannya banyak yang harus kecewa.

Terlalu banyak “ranjau” yang menyakitkan. Mereka didiamkan, bahkan seperti disingkirkan, dibiarkan “menganggur” tidak diberi pekerjaan, yang notabene ilmunya tidak bisa langsung dimanfaatkan.

Memang tidak di semua instansi pemerintah memperlakukan seperti itu terhadap para PNS alumni tugas belajar, tapi jika diadakan survei, penulis yakin hal seperti ini banyak terjadi. Bahkan akibat perlakuan seperti itu, PNS yang mengalami hal tersebut nantinya akan menyimpan rasa dendam sehingga saat dia menjabat, dia cenderung akan memperlakukan hal yang sama kepada bawahannya.

Baru-baru ini kita mendengar Menteri Perdagangan menginginkan para pegawai di kementeriannya mempunyai kualifikasi TOEFL yang tinggi, guna memperlihatkan para pegawai di situ berkualitas, minimal dalam hal berbahasa Inggris. Jika benar, itu akan memudahkan komunikasi dengan bangsa lain, demi memudahkan perdagangan internasional sehingga berjalan lancar. Padahal, di banyak instansi pemerintah terjadi penelantaran terhadap para PNS yang telah menyelesaikan tugas belajar keluar negeri.

Karena itu sungguh sangat ironis nasib para PNS yang pulang dari luar negeri dengan menyandang tambahan gelar pada namanya, bukannya disambut dengan baik, syukur-syukur diberi penghargaan dengan ditempatkan pada posisi yang sesuai, tapi malah dianggurkan. Padahal, negara saat ini sangat membutuhkan tenaga yang berkualitas, bukan PNS muda yang kini banyak tersangkut kasus korupsi.

Saat ini jumlah PNS sekitar 4,7 juta, dengan rincian berpendidikan S-3 (0,3 persen), S-2 (2,5 persen), S-1 (27 persen), diploma (25,7 persen), SMA (38,2 persen), SMP (2,8 persen), dan SD (3,4 persen). Dari data tersebut, jelas di tingkat pendidikan yang tinggi masih sangat sedikit, dan dari jumlah yang sedikit itu ternyata banyak yang dianggurkan.
Informasi yang penulis dapatkan, justru semakin tinggi pendidikan seorang PNS, semakin banyak pula rintangan yang harus dilaluinya. Situasi di negeri kita memang sangat bertolak belakang dengan di negara-negara maju di mana pendidikan menjadi ukuran, semakin tinggi pendidikan, semakin dihargai seseorang.

Karena itu jangan heran jika banyak tenaga muda berkualitas “lari” menjadi pegawai swasta, wiraswasta, atau bahkan hijrah ke negara lain, daripada mendapat perlakuan yang tak manusiawi sebagai aparatur pemerintah. Sudah gajinya sangat pas-pasan diperlakukan tak pantas pula. Bandingkan, untuk menjadi aktor cukup modal tampang lalu dapat honor besar. Bagaimana ini, bukankah negara kita bukan panggung sandiwara?

Reformasi Birokrasi?

Belum lagi persoalan penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010, yang adalah peraturan baru, sudah diterapkan dengan tergesa-gesa, sementara PP yang lama juga masih diberlakukan. Selain itu, banyak PNS yang direkrut karena faktor KKN. Hal semacam ini haruslah dapat dihindarkan, kalau sudah begitu di mana reformasi birokrasi itu?

Jadi, berbagai perlakuan buruk terhadap para PNS yang berkualitas harus diakhiri. Sambut hangat kedatangan mereka dan berikan jabatan yang baik bagi mereka yang memiliki kualifikasi pendidikan yang lebih baik. Gunakan tenaga mereka dengan maksimal, untuk memperbaiki keadaan negara kita ini.

Akhirnya jika masyarakat Indonesia dapat terwujud sejahtera dan hidup dengan aman maka tidak mustahil ketahanan nasional dapat lebih mudah direalisasikan, dan pada gilirannya, negara Indonesia akan menjadi negara yang kokoh, jauh dari intimidasi bangsa lain, dan dapat kembali menjadi Macan Asia. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar