PNS Berkualitas Mengapa Ditelantarkan?
Ratnasari Azahari; PNS
dan Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Demografi di Lemhanas
SUMBER
: SINAR
HARAPAN, 08 Mei 2012
Dalam era globalisasi yang ketat dengan
persaingan maka merupakan suatu keharusan untuk meningkatkan kualitas pegawai
negeri sipil (PNS) guna menghadapinya. Selama ini pun sudah ada upaya untuk
meningkatkan kualitas dan kompetensi PNS melalui berbagai pelatihan-pelatihan
yang bersifat teknis maupun strategis. Demikian pun meningkatkan pendidikan
melalui jalur formal juga sangat dianjurkan.
Tujuan itu semua adalah agar PNS dapat lebih
baik dalam mengelola negara yang saat ini dalam kondisi carut marut. PNS
sebagai abdi negara dan masyarakat harus maksimal dan profesional dalam
bekerja.
Tak heran jika seorang PNS dapat lulus
seleksi untuk mendapatkan beasiswa guna melanjutkan pendidikan yang lebih
tinggi, di dalam atau di luar negeri, dia akan sangat bangga. Seharusnya
terhadap PNS yang seperti ini diperlakukan dengan lebih baik, apalagi jika dia
berhasil menggondol gelar yang lebih tinggi sekembalinya dari pendidikan.
Sementara PNS yang gagal menyelesaikan
pendidikannya juga tetap harus dihargai dan harus dicari tahu penyebab
kegagalan tersebut. Misalnya, karena kendala bahasa, atau masalah sosial
budaya, atau mungkin PNS tersebut mencari ilmu praktis lainnya, dan hanya
mendapatkan sertifikat-sertifikat.
Jadi, harus digali penyebab kegagalan itu,
dan bukan sebaliknya, malah dicari-cari kesalahannya dan dicocok-cocokkan
dengan peraturan yang ada. Jangan sampai kegagalan berarti PNS tersebut harus
disingkirkan, hanya karena soal “kedudukan yang terancam”.
Haruslah diakui situasi “kedudukan yang
terancam” adalah situasi umum di kalangan birokasi kita. Banyak para alumni
yang selesai tugas belajar harus menunggu waktu yang cukup lama, dengan alasan
menunggu penerbitan SK penempatan.
Banyak PNS berkualitas dibiarkan begitu saja,
bahkan ada yang uang gajinya ditahan dengan alasan baru akan dicairkan jika SK
telah keluar. Kasus-kasus seperti ini seharusnya menjadi perhatian para pejabat
yang berwenang, dalam hal ini khususnya dari BKN, Menpan, dan semua institusi
terkait.
Apa yang Salah?
Kenyataan yang diterima PNS setelah kembali
ke instansinya setelah tugas belajar, terutama yang dari luar negeri, banyak
yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Padahal, mereka menggebu menuntut ilmu
dengan “impian” sekembalinya nanti akan membaktikan diri bagi bangsa dan
negara. Kenyataannya banyak yang harus kecewa.
Terlalu banyak “ranjau” yang menyakitkan.
Mereka didiamkan, bahkan seperti disingkirkan, dibiarkan “menganggur” tidak
diberi pekerjaan, yang notabene ilmunya tidak bisa langsung dimanfaatkan.
Memang tidak di semua instansi pemerintah
memperlakukan seperti itu terhadap para PNS alumni tugas belajar, tapi jika
diadakan survei, penulis yakin hal seperti ini banyak terjadi. Bahkan akibat
perlakuan seperti itu, PNS yang mengalami hal tersebut nantinya akan menyimpan
rasa dendam sehingga saat dia menjabat, dia cenderung akan memperlakukan hal
yang sama kepada bawahannya.
Baru-baru ini kita mendengar Menteri
Perdagangan menginginkan para pegawai di kementeriannya mempunyai kualifikasi
TOEFL yang tinggi, guna memperlihatkan para pegawai di situ berkualitas,
minimal dalam hal berbahasa Inggris. Jika benar, itu akan memudahkan komunikasi
dengan bangsa lain, demi memudahkan perdagangan internasional sehingga berjalan
lancar. Padahal, di banyak instansi pemerintah terjadi penelantaran terhadap
para PNS yang telah menyelesaikan tugas belajar keluar negeri.
Karena itu sungguh sangat ironis nasib para
PNS yang pulang dari luar negeri dengan menyandang tambahan gelar pada namanya,
bukannya disambut dengan baik, syukur-syukur diberi penghargaan dengan
ditempatkan pada posisi yang sesuai, tapi malah dianggurkan. Padahal, negara saat
ini sangat membutuhkan tenaga yang berkualitas, bukan PNS muda yang kini banyak
tersangkut kasus korupsi.
Saat ini jumlah PNS sekitar 4,7 juta, dengan
rincian berpendidikan S-3 (0,3 persen), S-2 (2,5 persen), S-1 (27 persen),
diploma (25,7 persen), SMA (38,2 persen), SMP (2,8 persen), dan SD (3,4
persen). Dari data tersebut, jelas di tingkat pendidikan yang tinggi masih
sangat sedikit, dan dari jumlah yang sedikit itu ternyata banyak yang
dianggurkan.
Informasi yang penulis dapatkan, justru
semakin tinggi pendidikan seorang PNS, semakin banyak pula rintangan yang harus
dilaluinya. Situasi di negeri kita memang sangat bertolak belakang dengan di
negara-negara maju di mana pendidikan menjadi ukuran, semakin tinggi
pendidikan, semakin dihargai seseorang.
Karena itu jangan heran jika banyak tenaga
muda berkualitas “lari” menjadi pegawai swasta, wiraswasta, atau bahkan hijrah
ke negara lain, daripada mendapat perlakuan yang tak manusiawi sebagai aparatur
pemerintah. Sudah gajinya sangat pas-pasan diperlakukan tak pantas pula.
Bandingkan, untuk menjadi aktor cukup modal tampang lalu dapat honor besar.
Bagaimana ini, bukankah negara kita bukan panggung sandiwara?
Reformasi Birokrasi?
Belum lagi persoalan penerapan Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010, yang adalah peraturan baru, sudah diterapkan
dengan tergesa-gesa, sementara PP yang lama juga masih diberlakukan. Selain
itu, banyak PNS yang direkrut karena faktor KKN. Hal semacam ini haruslah dapat
dihindarkan, kalau sudah begitu di mana reformasi birokrasi itu?
Jadi, berbagai perlakuan buruk terhadap para
PNS yang berkualitas harus diakhiri. Sambut hangat kedatangan mereka dan
berikan jabatan yang baik bagi mereka yang memiliki kualifikasi pendidikan yang
lebih baik. Gunakan tenaga mereka dengan maksimal, untuk memperbaiki keadaan
negara kita ini.
Akhirnya jika masyarakat Indonesia dapat
terwujud sejahtera dan hidup dengan aman maka tidak mustahil ketahanan nasional
dapat lebih mudah direalisasikan, dan pada gilirannya, negara Indonesia akan
menjadi negara yang kokoh, jauh dari intimidasi bangsa lain, dan dapat kembali
menjadi Macan Asia. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar