Pesawat Sukhoi
SJ100 Korban CFIT?
Henry JJ Sumolang ; Pilot
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 16 Mei 2012
SEJAK
pemberlakuan ketentuan pemasangan alat terrain
awareness and warning system (TAWS) pada semua pesawat bertenaga turbin,
Maret 2000, kecelakaan controlled flight
into terrain (CFIT) menjadi berkurang sangat signifikan. Sejak 10 tahun
terakhir bahkan tidak pernah terdengar ada pesawat modern dengan teknologi
navigasi canggih menabrak gunung.
Yang
dimaksud CFIT ialah pesawat terbang dengan keadaan laik terbang di bawah
kendali penerbang berkualifi kasi, terbang secara tidak disengaja menuju medan
rendah atau tinggi (terrain),
rintangan (obstacle) atau air tanpa
kesadaran dari penerbang akan datangnya bahaya tabrakan.
CFIT
selalu diatributkan pada kesalahan manusia (baca: pilot). Namun, pesawat yang
mengalami kerusakan/gangguan teknis sebelum terjadi kecelakaan tidak termasuk
kecelakaan CFIT. Contohnya, kasus B737-300 Adam Air yang ‘menabrak’ lautan.
Contoh lain ialah pesawat yang laik terbang, tetapi diterbangkan pembajak dan
dengan sengaja ditabrakkan ke sebuah rintang an, tidak pula dapat dikategorikan
sebagai CFIT.
CFIT
yang selalu dikorelasikan dengan ‘human error’ telah membuat masygul para
otoritas dan lembaga pener bangan dunia. Flight
Safety Foundation berpartner dengan otoritas penerbangan di Amerika dan
Eropa melakukan riset serta merekomendasi perbaikan sistem navigasi dan
memperkuat kemampuan penerbang mengenai terrain
situational awareness atau kesiagaan situasi medan rintangan untuk
mengurangi kecelakaan CFIT.
Rekomendasi
itulah yang kemudian mengharuskan pemasangan TAWS (sistem kesiagaan medan
rintangan dan peringatan) pada setiap pesawat bertenaga turbin. Di Indonesia,
beberapa tahun lalu Dirjen Perhubungan Udara telah mengharuskan ketentuan
tersebut bagi seluruh pesawat beregistrasi Indonesia. Pemasangan TAWS atau
pemodifikasian sistem lama akan sangat membantu pilot untuk bersiaga dengan
keadaan medan rintangan yang ada di sekitarnya.
GPWS, Alat Pencegah CFIT
Ground proximity warning system (GPWS) atau sistem peringatan
kedekatan pada permukaan tanah akan memberikan peringatan suara `aural' apabila
pesawat mendekati permukaan tanah dengan kecepatan yang tidak lazim.
Apabila pesawat mendekati gunung, alat `radio altimeter' pengukur ketinggian
dengan gelombang radio akan mengi rimkan sinyal kepada komputer yang akan
memperhit tungkan kecepatan mendekat p pesawat ke tanah. Bila kecepatan
tersebut terdeteksi tidak normal (bergantung pada konfigurasi pesawat, apakah
dalam konfigurasi mendarat atau jelajah), komputer akan mengirimkan peringatan
aural (hanya aural) suara digital `terrain,
terrain, pull up!' agar pilot bermanuver untuk menghindari impact dengan tanah.
Sayangnya, sistem
lama ini hanya mengandalkan radio altimeter dan hanya dapat `melihat' ke bawah.
Bagi gunung atau bukit yang dari kaki ke puncaknya mempunyai ketinggian
bertahap (gradual), sistem ini sangat
efektif. Akan tetapi apabila gunung mempunyai ketinggian curam, sistem ini
sangat tidak dapat diandalkan.
Juga,
kesalahan pilot di dalam ‘mengeset’ altimeter berkontribusi terhadap kelemahan
sistem ini. Demikian pula tenggat reaksi bagi pilot untuk melakukan manuver
keluar dari situasi mengancam ini hanya tersedia 15-20 detik sejak peringatan
berbunyi.
Persoalannya,
meski sudah dilengkapi GPWS, mengapa kecelakaan CFIT masih tetap terjadi? Dari
hasil penelitian terhadap kecelakaan diketahui, waktu 20 detik sangat tidak
memadai. Pun karena sering mengalami ‘false
warning’, sistem ini akan membuat pilot berpikir apakah itu peringatan
betulan atau hanya false warning?
Ditambah lagi, apabila pilot merasa yakin posisi pesawatnya benar, diperlukan
kurang lebih 8 sampai 10 detik bagi pilot untuk berpikir dan bereaksi, padahal
itu sudah sangat terlambat. Ditemukan, hampir pada seluruh kecelakaan CFIT yang
menggunakan sistem ini, semua tuas gas mesin dalam keadaan `tancap gas' saat impact, yang berarti pilot sudah sempat
bereaksi untuk keluar dari situasi mengancam tadi, tapi terlambat.
Benda Ajaib EGPWS
Akibat
statistik kecelakaan CFIT masih tetap tinggi, d i luncurkanlah GPWS generasi
baru, yaitu enhanced ground proximity warning system (EGPWS) atau sistem
peringatan kedekatan pada permukaan tanah yang diperkaya.
EGPWS
mengombinasikan database kontur pemukaan bumi (terrain map database), global
positioning system (GPS), database alat bantu navigasi darat dan posisinya,
database bandara di seluruh dunia, pengintegrasian dengan on board flight management computer, inertial reference system, dan
internal area navigation system.
Pengayaan ini diperkuat lagi dengan display
glass cockpit, dan sistem yang menggunakan liquefied crystal display (LCD) dengan resolusi tinggi untuk
instrumentasi kokpit. Dengan kata lain, EGPWS menjadi alat ajaib yang nyaris
sempurna dan sangat membantu pilot di dalam kewaspadaan terhadap rintangan yang
ada di sekitar pesawatnya dan menghindari CFIT.
Dengan sistem yang mutakhir ini, komputer akan mengeplot peta dan gambaran
keadaan rintangan (terrain) yang ada
di hadapan pesawatnya pada instrumen ND (navigation
display) apabila terrain on ND
di-'ON'-kan.
Apabila
pesawat terbang berada pada ketinggian rendah, sistem EGPWS akan memberikan
peringatan `visual' melalui gambar
puncak gunung tertinggi dari hijau berubah menjadi kuning. Apa bila komputer
memprediksi pesawat mempunyai arah yang berpotensi akan terbang ke rintangan di
depannya, muncul pering depannya, muncul peringatan aural berupa suara digital
dengan intonasi rendah `caution terrain'
untuk menyadarkan pilot. Seandainya pilot tidak menghiraukan peringatan pertama
dan pesawat semakin mendekat pada rintangan di depan, muncul suara aural dengan
intonasi sedang `terrain terrain'.
Bila karena sesuatu sebab pilot masih tetap tidak menyadari dan masih tetap
menurunkan pesawatnya, dan komputer memperkirakan segera akan terjadi impact, peringatan aural dengan intonasi
tinggi akan berteriak `terrain terrain,
pull up!' berulang kali, disertai menyalanya lampu merah di hadapan kedua
pilot serta pada instrumen terbangnya akan muncul tulisan merah besar `terrain'.
Bila
terjadi peringatan aural demikian, yang harus dilakukan pilot ialah bereaksi
secepat kilat dengan `tancap gas' maksimum pada seluruh mesin yang ada (ibarat
kendaraan mobil tancap gas sampai pedal gas mentok di lantai), menaikkan
moncong pesawat semaksimal mungkin untuk menambah ketinggian pesawat secepatnya
agar terhindar dari tabrakan dengan gunung.
Tidak
seperti GPWS yang cuma melihat ke bawah, EGPWS mempunyai kemampuan `melihat' ke
depan. Dengan mengombinasikan semua data peta gunung yang ada pada komputer,
radar, posisi pesawat, dll, apabila terjadi peringatan `terrain terrain, pull up', pilot mempunyai waktu 60 detik yang
sangat memadai untuk melakukan manuver menghindar. Kemampuan lain EGPWS ialah,
apabila pilot tidak menyalakan terrain on ND, kemudian komputer mendeteksi ada
potensi menabrak gunung, gambar gunung rintangan akan otomatis keluar (pop-out). Demikian pula apabila pilot
lupa menyalakan sistem aural warning,
EGPWS tetap akan `berteriak' jika terjadi keadaan bahaya tabrakan. Akan tetapi,
semua kecanggihan ini sangat bergantung pada kecakapan dan kompetensi pilot
dalam bereaksi. Karena itu, diperlukan pelatihan rutin bagi setiap pilot untuk
melatih kemampuannya dalam menghadapi keadaan potensi CFIT. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar