Aturan Bukan
Main Lebay
Ahmad Rifai ; Wakil
Ketua Majelis Syura Persatuan Ummat Islam (PUI)
SUMBER : REPUBLIKA,
16 Mei 2012
Pemerintah
mulai menghambat dan membatasi keinginan masyarakat untuk mendirikan madrasah
diniah. Bak Pemerintah Belanda yang membatasi pendirian madrasah pada 1882
hingga 1932, kini pemerintahan SBY menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA)
Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, yang bernada sama.
Betapa
tidak, setelah PMA 3/2012 itu diteken Suryadharma Ali pada 21 Februari 2012,
seluruh pendirian madrasah diniyah (MD) formal harus seizin pemerintah pusat.
Tak tanggung-tanggung, izin pendirian MD formal itu harus ditandatangani
menteri agama, setelah sebelumnya harus memenuhi per syaratan yang pasti akan
berbelit-belit.
Tak
cuma itu, untuk mendirikan MD formal, PMA tersebut secara tak langsung
mensyaratkan keharusan didirikannya pondok pesantren terlebih dahulu. Pada Pasal
7 ayat 4 PMA disebutkan, “penyelenggaraan pendidikan diniyah formal wajib
berada di dalam lingkung an pondok pesantren.” Kini muncul per tanyaan,
bagaimana nasib madrasahmadrasah diniah formal di luar pesan tren yang banyak
berdiri di desa-desa itu, haruskah didirikan pesantren untuknya ataukah harus
bubar?
Lagi
pula, jika semuanya harus diubah menjadi lembaga berbadan hukum, berapa dana
yang harus mereka keluarkan untuk mengurus akte notaris lembaga tersebut.
Mereka juga harus berbondong-bondong mengeluarkan dana untuk memperoleh
rekomendasi dari Kepala Kantor Wilayah Kemenag di ibu kota provinsi.
Ketentuan
lain PMA itu, yang boleh dikata berlebihan alias lebay (menurut bahasa
gaulnya), adalah keharusan pe nyelenggara meminta persetujuan Kementerian Agama
untuk sekedar memberi nama pada lembaga pendididikan diniah. Jadi, bahkan nama
madrasah di niah formal pun harus diatur oleh pemerintahan SBY.
Yang
lebih tak masuk akal, PMA karya pemerintahan orde reformasi itu mensyaratkan si
pendiri MD harus sanggup membiayai lembaganya, yakni MD dan pesantren, minimal
untuk jangka waktu tiga tahun. Hal itu berarti, penyelenggaranya mesti memiliki
perencanaan matang, termasuk pengalokasian anggaran khusus untuk itu. Secara
psikologis, persyaratan berat ini akan otomatis mematikan niat kaum Mus limin
untuk mendirikan pesantren dan madrasah.
Cara
semacam itu pernah ditempuh pemerintah kolonial Belanda dengan mengeluarkan
ordonansi sekolah liar. Kebijakan politis Belanda ini bertujuan membatasi ruang
gerak bangsa pribumi yang berkiprah melalui dunia pendidikan, dengan harapan
agar tidak berkembang alias mati. Semestinya, kita berbaik sangka bahwa PMA itu
seharusnya jauh dari niat dan maksud kolonialis tersebut. Namun sayang sekali,
peraturan itu ti dak mencantumkan dengan jelas apa yang menjadi tujuan dari
keharusan adanya izin-izin untuk kegiatan pendidikan diniah itu.
Kita
boleh bertanya, apakah para perancang PMA tadi sudah secara matang
mempertimbangkan akibat dari ketentuan-ketentuan yang dicantumkan di dalamnya?
Mengapa hal-hal yang sudah berjalan baik harus kemudian menjadi dipersulit?
Tinjau Ulang
Sudah lebih dari wajar jika
ketentuan-ketentuan dalam PMA itu ditinjau ulang dan dirumuskan kembali.
Cobalah mencontoh pengaturan mengenai kursus-kursus kejuruan dan keterampilan yang
dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, yang lebih bersahabat bagi para penyelenggara
pendidikan non formal bentukan masyarakat. Izin kursus misalnya, cukup
diterbitkan oleh bupati/wali kota atau kepala Dinas Pendidikan kabupaten/kota,
sebagai bentuk pemberian legalitas. Tidak perlu sampai ke menteri atau dinas provinsi.
Lagi
pula, program-program pembinaan dan bantuan-bantuan kepada lembaga kursus itu
diselenggarakan secara transparan dan akuntabel. Berbeda dari Kementerian
Agama, hampir seluruh program kegiatan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
dibuka ke pada umum, termasuk anggaran mau pun cara akses dan tata
pengelolaannya, melalui internet. Jangan harap kita bisa mengetahui
program-program lengkap kependidikan yang diselenggarakan Kementerian Agama.
Syahwat
pemerintah untuk terlalu jauh mengatur lembaga dan kegiatan yang sudah ada dan
berakar di masya rakat, sudah bukan saatnya diterapkan sekarang. Era rezim
etatisme, yang menjadikan negara sebagai pusat segala kekuasaan dengan kontrol
yang ketat, sudah berlalu. Yang lebih diperlukan kalangan pendidikan justru
niat baik pemerintah untuk memberikan bantuan atau paling tidak memfasilitasi
agar lembaga yang sudah terbukti perannya itu dapat lebih dikembangkan.
Dari
pemerintah diharapkan muncul ketentuan-ketentuan dan kebijakan minimum yang
menciptakan iklim yang memungkinkan bantuan yang layak bagi dunia pendidikan,
yang memang menjadi hak masyarakat pembayar pajak. Bukan sebaliknya, malah
membuat kebijakan yang menyulitkan, kalau tidak mau dibilang membinasakan.
Masih
banyak catatan dan kritik terhadap ketentuan PMA itu yang ganjil bahkan
bertentangan dengan banyak kebijakan pemerintah orde reformasi, termasuk
Peraturan Pemerintah 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan yang
menjadi rujukan penerbitan PMA tersebut. PMA itu mematahkan klaim SBY yang
hendak memberi kesempatan seluas-luasnya bagi masyara kat untuk berpartisipasi
dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan yang sangat
dibutuhkan ketika moralitas bangsa menca pai titik nadir seperti sekarang ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar