Kamis, 17 Mei 2012

Aturan Bukan Main Lebay


Aturan Bukan Main Lebay
Ahmad Rifai ;  Wakil Ketua Majelis Syura Persatuan Ummat Islam (PUI)
SUMBER :  REPUBLIKA, 16 Mei 2012


Pemerintah mulai menghambat dan membatasi keinginan masyarakat untuk mendirikan madrasah diniah. Bak Pemerintah Belanda yang membatasi pendirian madrasah pada 1882 hingga 1932, kini pemerintahan SBY menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, yang bernada sama.
Betapa tidak, setelah PMA 3/2012 itu diteken Suryadharma Ali pada 21 Februari 2012, seluruh pendirian madrasah diniyah (MD) formal harus seizin pemerintah pusat. Tak tanggung-tanggung, izin pendirian MD formal itu harus ditandatangani menteri agama, setelah sebelumnya harus memenuhi per syaratan yang pasti akan berbelit-belit.

Tak cuma itu, untuk mendirikan MD formal, PMA tersebut secara tak langsung mensyaratkan keharusan didirikannya pondok pesantren terlebih dahulu. Pada Pasal 7 ayat 4 PMA disebutkan, “penyelenggaraan pendidikan diniyah formal wajib berada di dalam lingkung an pondok pesantren.” Kini muncul per tanyaan, bagaimana nasib madrasahmadrasah diniah formal di luar pesan tren yang banyak berdiri di desa-desa itu, haruskah didirikan pesantren untuknya ataukah harus bubar?

Lagi pula, jika semuanya harus diubah menjadi lembaga berbadan hukum, berapa dana yang harus mereka keluarkan untuk mengurus akte notaris lembaga tersebut. Mereka juga harus berbondong-bondong mengeluarkan dana untuk memperoleh rekomendasi dari Kepala Kantor Wilayah Kemenag di ibu kota provinsi.

Ketentuan lain PMA itu, yang boleh dikata berlebihan alias lebay (menurut bahasa gaulnya), adalah keharusan pe nyelenggara meminta persetujuan Kementerian Agama untuk sekedar memberi nama pada lembaga pendididikan diniah. Jadi, bahkan nama madrasah di niah formal pun harus diatur oleh pemerintahan SBY.

Yang lebih tak masuk akal, PMA karya pemerintahan orde reformasi itu mensyaratkan si pendiri MD harus sanggup membiayai lembaganya, yakni MD dan pesantren, minimal untuk jangka waktu tiga tahun. Hal itu berarti, penyelenggaranya mesti memiliki perencanaan matang, termasuk pengalokasian anggaran khusus untuk itu. Secara psikologis, persyaratan berat ini akan otomatis mematikan niat kaum Mus limin untuk mendirikan pesantren dan madrasah.

Cara semacam itu pernah ditempuh pemerintah kolonial Belanda dengan mengeluarkan ordonansi sekolah liar. Kebijakan politis Belanda ini bertujuan membatasi ruang gerak bangsa pribumi yang berkiprah melalui dunia pendidikan, dengan harapan agar tidak berkembang alias mati. Semestinya, kita berbaik sangka bahwa PMA itu seharusnya jauh dari niat dan maksud kolonialis tersebut. Namun sayang sekali, peraturan itu ti dak mencantumkan dengan jelas apa yang menjadi tujuan dari keharusan adanya izin-izin untuk kegiatan pendidikan diniah itu.

Kita boleh bertanya, apakah para perancang PMA tadi sudah secara matang mempertimbangkan akibat dari ketentuan-ketentuan yang dicantumkan di dalamnya? Mengapa hal-hal yang sudah berjalan baik harus kemudian menjadi dipersulit?

Tinjau Ulang

Sudah lebih dari wajar jika ketentuan-ketentuan dalam PMA itu ditinjau ulang dan dirumuskan kembali. Cobalah mencontoh pengaturan mengenai kursus-kursus kejuruan dan keterampilan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, yang lebih bersahabat bagi para penyelenggara pendidikan non formal bentukan masyarakat. Izin kursus misalnya, cukup diterbitkan oleh bupati/wali kota atau kepala Dinas Pendidikan kabupaten/kota, sebagai bentuk pemberian legalitas. Tidak perlu sampai ke menteri atau dinas provinsi.

Lagi pula, program-program pembinaan dan bantuan-bantuan kepada lembaga kursus itu diselenggarakan secara transparan dan akuntabel. Berbeda dari Kementerian Agama, hampir seluruh program kegiatan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dibuka ke pada umum, termasuk anggaran mau pun cara akses dan tata pengelolaannya, melalui internet. Jangan harap kita bisa mengetahui program-program lengkap kependidikan yang diselenggarakan Kementerian Agama.

Syahwat pemerintah untuk terlalu jauh mengatur lembaga dan kegiatan yang sudah ada dan berakar di masya rakat, sudah bukan saatnya diterapkan sekarang. Era rezim etatisme, yang menjadikan negara sebagai pusat segala kekuasaan dengan kontrol yang ketat, sudah berlalu. Yang lebih diperlukan kalangan pendidikan justru niat baik pemerintah untuk memberikan bantuan atau paling tidak memfasilitasi agar lembaga yang sudah terbukti perannya itu dapat lebih dikembangkan.

Dari pemerintah diharapkan muncul ketentuan-ketentuan dan kebijakan minimum yang menciptakan iklim yang memungkinkan bantuan yang layak bagi dunia pendidikan, yang memang menjadi hak masyarakat pembayar pajak. Bukan sebaliknya, malah membuat kebijakan yang menyulitkan, kalau tidak mau dibilang membinasakan.

Masih banyak catatan dan kritik terhadap ketentuan PMA itu yang ganjil bahkan bertentangan dengan banyak kebijakan pemerintah orde reformasi, termasuk Peraturan Pemerintah 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan yang menjadi rujukan penerbitan PMA tersebut. PMA itu mematahkan klaim SBY yang hendak memberi kesempatan seluas-luasnya bagi masyara kat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan yang sangat dibutuhkan ketika moralitas bangsa menca pai titik nadir seperti sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar