Penyelesaian
bagi Obligasi Rekap
Sunarsip
; Ekonom The Indonesia Economic Intelligence
SUMBER
: KORAN
TEMPO, 22 Mei 2012
Beberapa waktu lalu, dalam keterangannya,
Bank Mandiri berniat melepas obligasi rekap suku bunga mengambang (variable
rate/VR). Berdasarkan pemberitaan, Bank Mandiri melihat bahwa keberadaan
obligasi rekap jenis VR yang dimilikinya membebani perusahaan. Ini mengingat
beban yang harus ditanggung bank berupa yield dari obligasi rekap VR
yang lebih kecil dibanding bila obligasi rekap VR dilepas dan dananya
ditempatkan pada instrumen utang lain yang mampu menghasilkan yield
tinggi.
Sejarah munculnya obligasi rekap dalam neraca
bank adalah karena krisis perbankan di pengujung era 1990-an. Bank menerima
obligasi rekap senilai aset kredit macet (100 persen) sebagai ganti atas aset
macet bank yang diserahkan kepada pemerintah (melalui Badan Penyehatan
Perbankan Nasional). BPPN menjual aset macet tersebut laku sekitar 30 persen.
Pada titik ini, bank sejatinya telah untung sekitar 70 persen dari nilai
obligasi yang diperoleh. Setiap tahun bank juga menerima pembayaran kupon dari
pemerintah sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku. Untuk pemegang obligasi
rekap berbunga tetap (fixed rate), bunga yang diterima sebesar rate
yang tertera dalam obligasi. Adapun untuk pemilik obligasi rekap VR, bunga yang
diterima sebesar tingkat suku bunga yang dijadikan acuan.
Ketika obligasi rekap VR mengacu pada
Sertifikat Bank Indonesia (SBI), pada 2002 bank pemiliknya memperoleh untung
besar, karena tingkat bunga SBI sangat tinggi, sekitar 17 persen. Seiring
dengan membaiknya ekonomi, suku bunga SBI mengalami penurunan. Namun tingkat
bunga SBI dalam enam tahun terakhir rata-rata masih tinggi, di level 7-12
persen. Bank juga tidak mengalami negative spread, karena dana obligasi
tidak berasal dari dana deposan.
Setelah SBI tiga bulan dihapus dan digantikan
dengan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tiga bulan yang bunganya rendah (2-4
persen), bank juga tidak lantas merugi. Rendahnya yield yang diterima
saat ini, jika di-offsetting dengan keuntungan yang diperoleh bank dari
transaksi pertukaran aset yang diserahkan kepada pemerintah dengan nilai
obligasi rekap yang diterima bank (plus bunga), saya kira posisinya masih
positif. Dengan kata lain, tidak tepat bila keberadaan obligasi rekap VR
disebut membebani bank. Yang terjadi adalah bank kehilangan kesempatan (opportunity
loss) untuk mendapatkan keuntungan lebih besar bila dana obligasi rekap VR
diinvestasikan pada instrumen utang lainnya atau disalurkan melalui kredit.
Solusi Pelepasan
Saya kira keinginan bank mengeluarkan
obligasi rekap dari neracanya patut diapresiasi. Tinggal bagaimana solusi
pelepasan yang tepat agar dapat memberi manfaat yang positif, baik bagi
pemerintah maupun bank. Saya berpendapat parameternya juga harus tegas (clear).
Pelepasan obligasi rekap haruslah ditujukan untuk menyehatkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara serta membantu bank meningkatkan pembiayaan ke
sektor riil.
Bank Mandiri mengusulkan tiga opsi pelepasan
obligasi rekap, yaitu (1) dilepas ke pasar; (2) buyback oleh pemerintah
atau BI; dan (3) switching ke instrumen lain. Menurut saya, opsi pertama
dan kedua menarik untuk dikaji. Bila opsi pertama diambil, bank akan memperoleh
dana untuk membiayai ekspansinya, sehingga ada ekspektasi peningkatan
pendapatan bunga. Namun, bagi pemerintah, opsi ini tidak berpengaruh apa-apa
(netral), karena beban utangnya tidak berubah.
Pada dasarnya, praktek pelepasan obligasi
rekap ke pasar telah berlangsung lama, sejak 1 Februari 2000. Strateginya, bank
mengalihkan obligasi rekap yang dimiliki ke dalam pos tradable bond pada
neracanya. Tapi umumnya pelepasan obligasi rekap ini dilakukan at best price
dan menguntungkan bank. Sementara itu, bila obligasi rekap VR dilepas saat ini,
bank harus bersedia melepas pada harga diskon (in deep discount price)
bila ingin diserap pasar. Namun, bila melepas obligasi rekap in deep
discount price, bank perlu mempertimbangkan aspek non-teknis yang bisa
muncul di kemudian hari, misalnya treatment bahwa langkah itu dinilai
merugikan keuangan negara. Karena itu, bila opsi ini diambil, sebaiknya bank
berkonsultasi dengan pemerintah. Dari sisi saya, melihat kerumitan ini, jelas
tidak menyarankan agar bank mengambil opsi pertama ini.
Saya berpendapat, opsi kedua merupakan opsi
yang cukup ideal, karena berpotensi menguntungkan bank atau BI ataupun
pemerintah yang akan mem-buyback obligasi rekap VR ini. Adapun opsi
ketiga, debt switching (misalnya melalui refinancing), saya kira
tidak relevan karena tidak memberikan nilai tambah bagi pemerintah, khususnya
APBN.
Bila opsi kedua diambil, tentunya harga tetap
harus "menarik" (at discount price). Bagi BI, buyback
bisa menjadi langkah yang strategis untuk memperbanyak instrumen moneter. BI
juga berpotensi memperoleh keuntungan yang dapat digunakan untuk kegiatan
operasi moneter. Bagi pemerintah, solusi buyback ini akan menjadi
momentum untuk mengurangi beban utangnya. Masalahnya, apakah pemerintah
memiliki dana untuk membeli obligasi rekap? APBN kita masih tersandera oleh
subsidi bahan bakar minyak yang besar. Di sisi lain, pemerintah sepertinya
belum menemukan solusi yang tepat untuk mengurangi subsidi BBM ini.
Namun ini tidak berarti pemerintah tidak
memiliki jalan keluar untuk memanfaatkan momentum buyback obligasi
rekap. Pemerintah, misalnya, bisa menempuh solusi konversi obligasi rekap
dengan aset kredit (asset to bond swap/ABS) yang saat ini dikelola
Perusahaan Pengelola Aset, yang merupakan sisa aset kelolaan BPPN. Solusi ini
juga menjadi jaminan bagi pemerintah bahwa dana hasil pelepasan obligasi rekap
dipergunakan untuk ekspansi kredit. Yang perlu diperhatikan adalah rasio
kecukupan modal (CAR) dari bank yang melakukan ABS. Sebab, ketika solusi ABS
diambil, akan terjadi peningkatan aset tertimbang menurut risiko, yang pasti
akan sedikit menurunkan CAR. Namun, melihat CAR bank BUMN yang saat ini relatif
cukup tinggi, saya kira solusi ABS tidak akan menyebabkan penurunan CAR bank
secara drastis.
Secara teori, ketika obligasi rekap dilepas,
bank akan mengalami kelebihan likuiditas yang dapat digunakan untuk ekspansi.
Namun alangkah bijaknya bila bank tidak mengalihkan dana hasil pelepasan
obligasi rekap untuk investasi pada instrumen utang lainnya, karena manfaatnya
bagi sektor rill minim. Tapi, menyalurkan dana pengalihan obligasi rekap
menjadi kredit juga tidak mudah. Data menunjukkan bahwa pada akhir 2011,
penempatan dana bank di BI mencapai Rp 508 triliun (sekitar 18 persen dari
total dana pihak ketiga) dan komitmen kredit yang belum ditarik mencapai Rp 683
triliun. Dengan kata lain, melihat fakta-fakta ini, solusi ABS tampaknya paling
tepat dilakukan.
Pada akhirnya, perbankan memang harus
menerima kenyataan bahwa seiring dengan diberlakukannya SPN sebagai acuan, yield
obligasi VR memang harus turun. Sebab, sesuai dengan habitatnya, dalam kondisi
normal (tidak krisis), suku bunga SBI/SPN memang harus di bawah suku bunga
deposito. Dan saya kira juga tidak keliru bila bank mengajukan solusi pelepasan
obligasi rekap VR yang dinilai tidak memberi keuntungan maksimal ini. Namun,
ketika solusi pelepasan obligasi rekap ini baru diambil sekarang, tentunya
aspek pertama yang harus diperhatikan adalah kepentingan pemerintah. ●
It's a very nice article. Thank you Pak Sunarsip for writing such a beneficial article, and thank you Pak Budi for sharing it with us.
BalasHapus