Ancaman
Krisis Nasionalisme TKI
Ririn
Handayani ; Mahasiswa Pascasarjana Ilmu HI
Universitas Airlangga
SUMBER
: SINAR
HARAPAN, 22 Mei 2012
Ketidakhadiran peran negara secara nyata dan
optimal dalam pemenuhan kebutuhan dasar warga negaranya adalah salah satu
ancaman terbesar bagi nasionalisme.
Ancaman ini akan semakin serius jika dalam
kondisi yang lebih genting, negara tetap absen sebagai pelindung dan pengayom
masyarakat. Dalam hal ini, tenaga kerja Indonesia atau TKI masuk dalam kelompok
masyarakat yang rentan terhadap ancaman krisis nasionalisme.
Sulitnya mencari kerja di Tanah Air sebagai
akibat dari ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja yang mencukupi
mendorong sejumlah orang lebih memilih bertaruh nasib di negeri orang.
Banyak orang tua lebih mendukung
putra-putrinya langsung bekerja sebagai TKI selepas lulus sekolah menengah atas
(SMA) atau sederajat daripada melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Biaya
pendidikan yang mahal, waktu studi yang lama dan sempitnya lapangan kerja yang
tersedia menjadi pertimbangan logis untuk mencari jalan pintas yang lebih
prospektif.
Bak bola salju yang terus bergulir, menjadi
TKI kini tidak lagi didominasi tenaga kerja berpendidikan rendah menengah di
sektor informal. Fakta ini kian memudarkan pengertian TKI yang selama ini
dikonotasikan dengan pekerja kasar. Konotasi yang muncul karena sebanyak 80
persen TKI kita bekerja di sektor informal terutama sebagai pembantu rumah
tangga (PRT).
Minimnya ketersediaan lapangan kerja yang
semakin diperparah oleh apresiasi yang rendah serta sistem kompetisi yang tidak
fair menjadi dorongan kuat bagi masyarakat kelas menengah (lulusan perguruan
tinggi) untuk lebih memilih bekerja di luar negeri. Banyak di antara mereka
yang kemudian merasa eksistensi dan kontribusi mereka lebih dihargai di negeri
orang daripada di negaranya sendiri. Ancaman terhadap nasionalisme semakin
besar.
Negara Absen
Cerita kehidupan TKI di luar negeri sangat
beragam. Dari yang tragis dan memilukan hingga sukses mendulang banyak modal
dan pengetahuan di negeri orang. Baik yang menuai hujan emas maupun hujan batu,
keduanya acapkali mempertanyakan kehadiran negara. Seperti yang dialami
sejumlah saudara kita yang menjadi TKI di Arab Saudi.
Banyak di antara mereka yang telantar di
kolong jembatan, kasus yang tak kunjung selesai, penyiksaan dan pelecehan
seksual hingga pulang hanya tinggal nama. Dalam kondisi seperti itu, peran
negara yang seharusnya melindungi dan mengayomi warga negaranya di manapun
berada sering kali tidak ada. Banyak yang harus mengurus masalahnya sendiri
atau dengan bantuan dari pihak lain nonpemerintah.
Mereka yang sukses juga mempertanyakan peran
negara. Mengapa negara lain lebih memperhatikan, melindungi dan menghargai
mereka daripada negaranya sendiri. Jangankan yang bekerja di sektor formal, TKI
yang bekerja di sektor informal sebagai PRT saja sangat diperhatikan.
Seperti para PRT di Hong Kong. Dengan gaji
yang lumayan, sistem kerja yang manusiawi dan perlindungan hukum yang memadai
dari pemerintah setempat, seorang PRT di sana bisa mengalami lompatan luar
biasa tidak hanya secara ekonomi namun juga intelektual.
Mereka bisa bermetamorfosis secara dinamis
untuk mempersiapkan masa depan yang lebih sekembalinya ke Tanah Air. Beberapa
PRT bisa nyambi sebagai penulis atau berbisnis kecil-kecilan bahkan melanjutkan
studi hingga jenjang perguruan tinggi. Sebuah kemajuan yang luar biasa. Seperti
langit dan bumi saja jika dibandingkan dengan PRT dan buruh di dalam negeri.
Kehidupan para guru swasta kita pun kalah. Padahal, notabene sebagian mereka
adalah para sarjana lulusan perguruan tinggi yang seharusnya memiliki kehidupan
lebih layak.
Ketika masyarakat mulai mempertanyakan peran
negara, ini bisa menjadi indikasi adanya bibit-bibit krisis nasionalisme dari
anak negeri sendiri. Pertanyaan demi pertanyaan yang tidak terjawab akan
berakumulasi menjadi kekecewaan yang jika terus dibiarkan akan menjadi bom
waktu yang bisa meledak meluluhlantakkan nasionalisme bangsa di kemudian hari.
Hilangnya Aset Potensial
Apa yang paling mengkhawatirkan jika krisis
nasionalime TKI terutama pada kelompok kelas menengah terus berlanjut hingga
semakin parah? Salah satu dampak terbesarnya adalah hilangnya aset potensial
berupa sumber daya manusia yang berkualitas di negeri ini.
Kondisi dalam negeri yang semakin tidak
kondusif seperti lapangan kerja yang terbatas, sistem rekrutmen Pegawai Negeri
Sipil (PNS) sarat dengan kecurangan, iklim kompetisi tidak fair dan apresiasi
kerja rendah, menjadi faktor pendorong kalangan menengah profesional untuk lebih
memilih bekerja dan berkarya di luar negeri.
Sementara itu, permintaan TKI di luar negeri
masih sangat tinggi. TKI menjadi salah satu favorit di sejumlah negara karena
etos kerja TKI dikenal baik. Indonesia juga dikenal sebagai negara yang
memiliki banyak tenaga ahli profesional di berbagai bidang ilmu. Banyak negara
mengincar tenaga-tenaga profesional kita.
Untuk itu, mereka bersedia membayar mahal dan
memberikan fasilitas serta kesempatan seluas-luasnya bagi tenaga ahli kita
untuk berkembang maksimal. Gayung bersambut. Kekecewaan terhadap pemerintah
digunakan sebagai kesempatan baik oleh negara lain untuk mendapatkan
tenaga-tenaga profesional yang disia-siakan oleh pemerintahnya sendiri.
Semakin besarnya komposisi pekerja
profesional dalam piramida TKI berarti semakin besar aset potensial kita yang
hilang. Sebuah kerugian besar karena SDM seperti ini adalah salah satu modal
utama untuk membangun negara. Aset yang seharusnya dipertahankan.
Pemerintah seharusnya mengantisipasi agar
ancaman terhadap krisis nasionalisme ini tidak benar-benar terjadi. Mengirimkan
banyak TKI terutama tenaga profesional memang sangat menguntungkan.
Selain mengurangi beban pemerintah untuk
menyediakan lebih banyak lapangan kerja, mereka juga bisa membantu negara
melalui remitansi dalam jumlah yang sangat signifikan. Meski demikian,
menggalakkan pembangunan di dalam negeri adalah prioritas. Jika bukan anak
negeri sendiri, siapa lagi yang akan membangun negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar