Rabu, 23 Mei 2012

Patriarki hingga Martyrdom


Patriarki hingga Martyrdom
Tri Marhaeni PA ; Guru Besar Jurusan Sosiologi dan Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial Unnes
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 23 Mei 2012


DIAPUNGKANNYA nama Ani Yudhoyono sebagai calon presiden oleh sejumlah tokoh, walaupun kemudian dinetralisasi oleh keluarga Cikeas, menggugah minat penulis untuk memberi amatan yang berfokus pada kepemimpinan perempuan di Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Mengapa dua kawasan tersebut, karena wilayah ini dikenal memiliki cukup banyak perempuan sebagai pemimpin politik. Sebutlah Indira Gandhi, Benazir Bhutto, Khaleda Zia, Sirimavo Bandaranaike, Aung San Suu Kyi, Megawati Soekarnoputri, Gloria Macapagal Arroyo, sampai Yingluck Shinawatra. Selain itu, Asia Selatan dan Asia Tenggara adalah tetangga terdekat kita.

Variabel paling dasar yang memengaruhi pemunculan perempuan pemimpin politik di wilayah ini antara lain adalah budaya patriarki, pertalian keluarga, martyrdom, kelas sosial, gaya hidup, konteks sejarah, pengalaman penjara, dan sistem pemilihan umum. Semua variabel itu, seperti hasil penelitian Linda K Richter (1990), saling memengaruhi.

Patriarki dan Martyrdom

Dominasi budaya patriarki di Asia Selatan dan Tenggara sangat membatasi peluang perempuan secara umum untuk terjun ke dunia politik, atau lebih jauh lagi memegang tampuk kepemimpinan politik nasional. Berdasarkan budaya ini, para laki-laki dilegitimasikan dalam politik dan hukum.
Konsekuensinya, perempuan dibenarkan atau diterima perannya dalam lingkup publik/ politik hanya untuk mengisi kekosongan yang diakibatkan oleh kematian atau dipenjarakannya salah seorang anggota keluarganya yang laki-laki. Jadi penerimaan itu bukan karena masyarakat menganggap kaum perempuan mampu dan berhak untuk terjun ke dunia politik melainkan lebih pada menjunjung tinggi nama baik keluarga.

Peluang seorang perempuan untuk memegang tampuk kepemimpinan politik akan lebih besar manakala ia memiliki hubungan keluarga dengan pemimpin politik laki-laki terkemuka. Peluang ini menjadi lebih besar lagi dengan kematian pemimpin atau tokoh politik laki-laki yang kemudian dianggap wafat sebagai martir. Martyrdom biasanya dikaitkan dengan kematian seorang tokoh politik karena pembunuhan.

Benazir Bhutto mengambil alih kepemimpinan Pakistan People’s Party sejak ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto dipenjarakan dan dihukum gantung oleh Presiden Zia ul-Haq. Kematian suami sebagai tokoh politik juga menunjang naiknya Corry Aquino sebagai Presiden Filipina. Kematian salah satu anggota keluarga laki-laki sebagai pemimpin mendorong tampilnya Sirimavo Bandaranaike, Khaleda Zia, dan Aung San Suu Kyi.

 Sosialisasi politik dalam keluarga juga memengaruhi kepekaan para perempuan pemimpin politik yang secara tidak langsung dipersiapkan untuk ikut terjun. Indira, Benazir, dan Corry dibesarkan dalam keluarga yang aktif di dunia politik. Memang ada beberapa di antaranya yang mendukung sosialisasi tersebut dengan kemampuan pendidikan di bidang politik, tetapi tidak jarang yang hanya lantaran romantisme sejarah keluarga.

Ada pula latar belakang sejarah pergerakan atau momentum politik di negara masing-masing. Salah satu momentum penting adalah gerakan nasionalisme yang melanda wilayah ini pada era 1960-an. Gerakan kemerdekaan memolitisasi seluruh masyarakat bangsa yang bersangkutan, baik laki-laki maupun perempuan. Juga mengakibatkan banyak tokoh pejuang kemerdekaan yang dipenjarakan, diasingkan, dan dibunuh, sehingga membuka peluang bagi istri atau anak-anak perempuan mereka terjun ke dunia politik.

Pengalaman penjara tidak saja melatih seseorang untuk menjadi pemimpin politik, tetapi juga memperkokoh status politiknya sebagai pahlawan. Hal ini dialami oleh Benazir dan Suu Kyi. Pun, tak kalah penting, pengalaman istri tokoh-tokoh politik yang dipenjarakan, seperti Corry Aquino yang menjadi perantara politik Benigno Aquino dengan para pendukung ketika suaminya dipenjarakan oleh Ferdinand Marcos selama tujuh tahun. Dan, ketika suaminya terbunuh, dia pun tampil sebagai pengganti.

Kelemahan dan Kelebihan

 Kelemahan utama perempuan pemimpin politik adalah ketiadaan dukungan institusional dan pendukung pemilih regional karena sebagian besar muncul dalam situasi -situasi khusus yang seringkali bersifat dramatis seperti pembunuhan, kudeta politik, dan gerakan oposisi radikal. Selain itu, mereka diterima masyarakat hanya sebagai “pemimpin sementara” untuk tujuan “persatuan dan meredam gejolak”. Hal ini dialami oleh Indira Gandhi sebagai putri Nehru yang dapat diterima semua kelompok, dan Corry yang dipilih oleh oposisi dan dianggap dapat mempersatukan berbagai dukungan karena “romantisme” dan ketergugahan oleh pembunuhan suaminya.
Mereka diasumsikan sebagai perempuan yang akan dapat dikendalikan, namun tak seorang pun mengira mereka dapat menjalankan pemerintahan dengan baik. Akibatnya, sering mendapat tentangan, misalnya dari kelompok militer dan agama. Corry mengalami enam kali kudeta yang diorganisasi militer. Suu Kyi ditahan junta militer. Indira ditentang oleh kaum fundamentalis, demikian pula Benazir.

Mereka membawa kelebihan dalam menarik simpati dan dukungan masyarakat, setidak-tidaknya pada awal kepemimpinannya. Mereka dianggap jujur, lebih memiliki komitmen terhadap kepentingan umum, dan tidak memiliki ambisi politik berlebihan karena stereotipe peran gender.
Lalu bagaimana dengan perempuan pemimpin politik di Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar