Krisis
Keindonesiaan
Adi
Ekopriyono ; Direktur Eksekutif Budi Santoso Foundation
SUMBER
: SUARA
MERDEKA, 22 Mei 2012
CITA-CITA Bung Karno, yang terpatri dalam
pidato tahun 1960-an berjudul Trisaksi, kini ibarat jauh pangang dari api. Kita
bukan bangsa yang berdaulat dalam politik, tidak berdikari dalam ekonomi, tidak
berkepribadian dalam budaya. Reformasi yang bergulir sejak keruntuhan rezim
Orde Baru tahun 1998 belum melahirkan kondisi yang sesuai dengan harapan
masyarakat, belum menunjukkan hasil memadai.
Menurut tokoh pers Jacob Oetama, salah satu
hambatan reformasi adalah kurang diperhatikannya reformasi budaya, dalam arti
sikap, orientasi nilai-nilai, dan praktis dalam kerja, karya, dan lain-lain
(dalam Verdiansyah, Membongkar Budaya,
2007).
Kita sedang mengalami krisis keindonesiaan.
Analog dengan ungkapan Jawa ilang jawane
maka sekarang terjadi gejala Indonesia ilang
indonesiane. Secara budaya, sebagian besar dari kita sudah kehilangan
keindonesiaan; bergeser menjadi kebarat-baratan, kearab-araban,
keindia-indiaan, kechina-chinaan, atau entah keapa-apaan lagi. Salah satu
penyebab krisis keindonesiaan adalah kurang diperhatikannya faktor budaya dan
manusia, kalah jauh dari perhatian terhadap faktor ekonomi.
Kenyataan itu melengkapi pernyataan Julio
Carranza Valdes (Culture and Development:
Some Considerations for Debate, 2002), bahwa selama ini memang banyak
negara hanya menekankan pertumbuhan ekonomi sehingga mengabaikan dimensi budaya
yang sangat mendasar dan penting. Pembangunan yang hanya menitikberatkan
pertumbuhan ekonomi telah mengembangbiakkan kultur konsumeristik, konsentrasi
demografi di kota-kota besar, kesenjangan sosial, marginalisasi sektor-sektor
kependudukan, mempertajam kesenjangan ekonomi antara negara-negara kaya dan
negara miskin, serta merusak alam dan lingkungan.
Pentingnya pendekatan budaya dan manusia
diungkapkan Sri Aurobindo dalam The Human
Cycle (van Ufford dan Kumar Giri,
2008) bahwa tujuan pembangunan ekonomi adalah kebahagiaan umat manusia
lahir dan batin. Setiap individu bukan sebagai unit-unit masalah sosial yang
harus digantikan oleh mesin-mesin canggih melainkan lebih sebagai jiwa yang
sedang tumbuh dan perlu didorong untuk tumbuh. Dalam konteks itu, maka
pembangunan ekonomi sesungguhnya juga merupakan masalah kebudayaan.
Budaya
Lokal
Pendekatan budaya dan manusia akan memberi
kontribusi reformasi sikap, orientasi nilai-nilai, praktis dalam kerja, karya,
serta aspek-aspek budaya yang lain, yang sangat diperlukan bangsa ini.
Aspek-aspek tersebut, menurut Koentjaraningrat (Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, 1999) tercakup dalam sistem
nilai budaya, yang secara bersamaan sering disebut sebagai sikap mental.
Upaya memperbaiki sikap mental yang cocok
untuk pembangunan berarti upaya menitikberatkan pembangunan pada faktor budaya
dan manusia. Pembangunan sebaiknya diarahkan menurut tanggung jawab atau
keprihatinan kita akan martabat manusia, yaitu martabat semua warga masyarakat
sebagai manusia (Sastrapratedja, Menguak
Mitos-mitos Pembangunan, Telaah Etis dan Kritis, 1986).
Bangsa Indonesia perlu melakukan reorientasi
dalam pembangunan. Pendekatan ekonomi yang selama ini lebih ditonjolkan perlu
diubah menjadi pendekatan budaya dan manusia. Kalau reorientasi itu tidak
dilakukan, mustahil bangsa ini mampu bangkit, sederajat, bahkan lebih maju dari
bangsa-bangsa lain.
Caranya? Memperkuat ketahanan budaya lokal.
Ini konsekuensi logis dari pertarungan nilai-nilai global-lokal sebagai akibat
globalisasi (dan gerakan ideologi transnasional) yang memang berkonotasi mematikan
budaya lokal. Kita tidak boleh terbuai dengan gemerlapannya budaya dan
nilai-nilai yang dibawa arus global tersebut. Kita juga tidak boleh hanya
terpaku pada angka-angka pertumbuhan ekonomi, yang tidak secara otomatis
menyejahterakan masyarakat.
Idealnya, pembangunan bertitik tolak dari
penguatan budaya-budaya lokal, tentu dengan berbagai rekonstruksi nilai-nilai
agar sesuai dengan perkembangan zaman. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar