Rabu, 23 Mei 2012

Krisis Keindonesiaan


Krisis Keindonesiaan
Adi Ekopriyono ; Direktur Eksekutif Budi Santoso Foundation
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 22 Mei 2012


CITA-CITA Bung Karno, yang terpatri dalam pidato tahun 1960-an berjudul Trisaksi, kini ibarat jauh pangang dari api. Kita bukan bangsa yang berdaulat dalam politik, tidak berdikari dalam ekonomi, tidak berkepribadian dalam budaya. Reformasi yang bergulir sejak keruntuhan rezim Orde Baru tahun 1998 belum melahirkan kondisi yang sesuai dengan harapan masyarakat, belum menunjukkan hasil memadai.

Menurut tokoh pers Jacob Oetama, salah satu hambatan reformasi adalah kurang diperhatikannya reformasi budaya, dalam arti sikap, orientasi nilai-nilai, dan praktis dalam kerja, karya, dan lain-lain (dalam Verdiansyah, Membongkar Budaya, 2007).

Kita sedang mengalami krisis keindonesiaan. Analog dengan ungkapan Jawa ilang jawane maka sekarang terjadi gejala Indonesia ilang indonesiane. Secara budaya, sebagian besar dari kita sudah kehilangan keindonesiaan; bergeser menjadi kebarat-baratan, kearab-araban, keindia-indiaan, kechina-chinaan, atau entah keapa-apaan lagi. Salah satu penyebab krisis keindonesiaan adalah kurang diperhatikannya faktor budaya dan manusia, kalah jauh dari perhatian terhadap faktor ekonomi.

Kenyataan itu melengkapi pernyataan Julio Carranza Valdes (Culture and Development: Some Considerations for Debate, 2002), bahwa selama ini memang banyak negara hanya menekankan pertumbuhan ekonomi sehingga mengabaikan dimensi budaya yang sangat mendasar dan penting. Pembangunan yang hanya menitikberatkan pertumbuhan ekonomi telah mengembangbiakkan kultur konsumeristik, konsentrasi demografi di kota-kota besar, kesenjangan sosial, marginalisasi sektor-sektor kependudukan, mempertajam kesenjangan ekonomi antara negara-negara kaya dan negara miskin, serta merusak alam dan lingkungan.

Pentingnya pendekatan budaya dan manusia diungkapkan Sri Aurobindo dalam The Human Cycle (van Ufford dan Kumar Giri, 2008) bahwa tujuan pembangunan ekonomi adalah kebahagiaan umat manusia lahir dan batin. Setiap individu bukan sebagai unit-unit masalah sosial yang harus digantikan oleh mesin-mesin canggih melainkan lebih sebagai jiwa yang sedang tumbuh dan perlu didorong untuk tumbuh. Dalam konteks itu, maka pembangunan ekonomi sesungguhnya juga merupakan masalah kebudayaan.

Budaya Lokal

Pendekatan budaya dan manusia akan memberi kontribusi reformasi sikap, orientasi nilai-nilai, praktis dalam kerja, karya, serta aspek-aspek budaya yang lain, yang sangat diperlukan bangsa ini. Aspek-aspek tersebut, menurut Koentjaraningrat (Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, 1999) tercakup dalam sistem nilai budaya, yang secara bersamaan sering disebut sebagai sikap mental.

Upaya memperbaiki sikap mental yang cocok untuk pembangunan berarti upaya menitikberatkan pembangunan pada faktor budaya dan manusia. Pembangunan sebaiknya diarahkan menurut tanggung jawab atau keprihatinan kita akan martabat manusia, yaitu martabat semua warga masyarakat sebagai manusia (Sastrapratedja, Menguak Mitos-mitos Pembangunan, Telaah Etis dan Kritis, 1986).

Bangsa Indonesia perlu melakukan reorientasi dalam pembangunan. Pendekatan ekonomi yang selama ini lebih ditonjolkan perlu diubah menjadi pendekatan budaya dan manusia. Kalau reorientasi itu tidak dilakukan, mustahil bangsa ini mampu bangkit, sederajat, bahkan lebih maju dari bangsa-bangsa lain.

Caranya? Memperkuat ketahanan budaya lokal. Ini konsekuensi logis dari pertarungan nilai-nilai global-lokal sebagai akibat globalisasi (dan gerakan ideologi transnasional) yang memang berkonotasi mematikan budaya lokal. Kita tidak boleh terbuai dengan gemerlapannya budaya dan nilai-nilai yang dibawa arus global tersebut. Kita juga tidak boleh hanya terpaku pada angka-angka pertumbuhan ekonomi, yang tidak secara otomatis menyejahterakan masyarakat.

Idealnya, pembangunan bertitik tolak dari penguatan budaya-budaya lokal, tentu dengan berbagai rekonstruksi nilai-nilai agar sesuai dengan perkembangan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar