Membenahi
Kinerja Partai Politik
Ridho
Imawan Hanafi ; Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate
Jakarta
SUMBER
: SUARA
MERDEKA, 23 Mei 2012
DARI hasil survei yang dirilis beberapa
lembaga, kepercayaan publik terhadap partai politik sangat rendah. Perilaku
korup sejumlah kader partai dan orientasi dangkal pada kekuasaaan menjadi latar
sikap publik yang kian jengkel dan apatis terhadap partai. Kondisi itu sangat
mengkhawatirkan mengingat parpol merupakan salah satu elemen penting demokrasi.
Seperti dikatakan Richards Katz (1980), partai politik adalah syarat yang tidak
dapat ditawar, modern democracy is party
democracy.
Sejauh ini, partai dan elitenya terkesan bekerja untuk mementingkan diri dan kelompok. Persoalan riil rakyat seperti kemiskinan, pengangguran, insfrastruktur buruk, maupun kejahatan sosial, tak banyak dilirik. Alih-alih bekerja untuk rakyat, yang muncul justru perilaku korup, hedonisme sebagian elitenya di parlemen, dan aneka konflik internal. Dengan kata lain, kegaduhan seperti itu menebalkan persepsi publik bahwa partai sudah jauh dari konstituennya dan terjangkit disfungsi kepartaian.
Idealnya fungsi kepartaian harus diperankan dengan baik. Seperti dijelaskan Hague dan Harrop (2001) fungsi itu antara lain, artikulasi dan agregasi kepentingan, komunikasi politik, sosialisasi politik, ataupun perekrutan politik. Artikulasi dan agregasi kepentingan merupakan fungsi untuk merumuskan kepentingan, sekaligus dari beragam kepentingan yang terdapat dalam kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan itu digabung menjadi satu.
Fungsi komunikasi politik diarahkan untuk menjembatani antara pemerintah dan masyarakat. Di negara yang demokratis, proses komunikasi yang dilakukan partai mengalirkan arus informasi yang sifatnya dua arah: dari atas ke bawah dan sebaliknya. Fungsi sosialisasi politik diarahkan untuk proses di mana seseorang mendapatkan pandangan atau orientasinya akan nilai-nilai dan norma-norma di masyarakat.
Adapun perekrutan politik merupakan cara partai untuk mencari atau mendapatkan anggota baru dengan mengajaknya, terutama orang yang memiliki kemampuan dalam politik dan kepemimpinan, untuk berpartisipasi dalam politik. Perekrutan bertujuan demi terjaganya kontinuitas eksistensi partai sekaligus dapat menyeleksi calon pemimpin. Apalagi saat ini partai menjadi pintu penting dalam pencalonan pejabat publik.
Sejauh ini, partai dan elitenya terkesan bekerja untuk mementingkan diri dan kelompok. Persoalan riil rakyat seperti kemiskinan, pengangguran, insfrastruktur buruk, maupun kejahatan sosial, tak banyak dilirik. Alih-alih bekerja untuk rakyat, yang muncul justru perilaku korup, hedonisme sebagian elitenya di parlemen, dan aneka konflik internal. Dengan kata lain, kegaduhan seperti itu menebalkan persepsi publik bahwa partai sudah jauh dari konstituennya dan terjangkit disfungsi kepartaian.
Idealnya fungsi kepartaian harus diperankan dengan baik. Seperti dijelaskan Hague dan Harrop (2001) fungsi itu antara lain, artikulasi dan agregasi kepentingan, komunikasi politik, sosialisasi politik, ataupun perekrutan politik. Artikulasi dan agregasi kepentingan merupakan fungsi untuk merumuskan kepentingan, sekaligus dari beragam kepentingan yang terdapat dalam kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan itu digabung menjadi satu.
Fungsi komunikasi politik diarahkan untuk menjembatani antara pemerintah dan masyarakat. Di negara yang demokratis, proses komunikasi yang dilakukan partai mengalirkan arus informasi yang sifatnya dua arah: dari atas ke bawah dan sebaliknya. Fungsi sosialisasi politik diarahkan untuk proses di mana seseorang mendapatkan pandangan atau orientasinya akan nilai-nilai dan norma-norma di masyarakat.
Adapun perekrutan politik merupakan cara partai untuk mencari atau mendapatkan anggota baru dengan mengajaknya, terutama orang yang memiliki kemampuan dalam politik dan kepemimpinan, untuk berpartisipasi dalam politik. Perekrutan bertujuan demi terjaganya kontinuitas eksistensi partai sekaligus dapat menyeleksi calon pemimpin. Apalagi saat ini partai menjadi pintu penting dalam pencalonan pejabat publik.
Untuk itu, upaya membenahi partai politik
agar dapat memulihkan kepercayaan masyarakat, mensyaratkan beberapa hal yang
mendesak dilakukan. Pertama; revitalisasi ideologi. Ideologi partai saat ini
nyaris tidak terdengar. Padahal hal itu merupakan sebuah ide dan prinsip yang
menjadi dasar panduan bagi partai untuk bekerja.
Saat ini hampir semua partai tidak memiliki diferensiasi yang tegas tentang ideologi yang dianut. Kalaupun sudah didengungkan, implementasi ideologi (working ideology) tak tampak. Yang muncul adalah perilaku pragmatis. Antara program yang direncanakan dan dijalankan tidak terpapar satu kesambungan ideologis. Kalkulasi pasar politik lebih dipilih daripada keyakinan ideologis. Ujungnya, ideologi hanya menjadi simbol atau aksesori.
Ketidakmampuan partai meneguhkan ideologi menjadi celah bagi munculnya elite, kader, anggota, yang mudah terjebak dalam praktik politik pragmatis dan oportunis. Mereka tidak memiliki semacam alat kontrol berupa nilai ikat kepartaian karena hal tersebut lebur oleh kepentingan-kepentingan praktis dan logika transaksional yang menyebar luas. Di sini, disafilisasi anggota partai seperti sebuah kelaziman.
Kader Instan
Kedua; menata proses perekrutan. Dalam perekrutan, partai kerap dihadapkan pada masalah kebutuhan mendapatkan kader berkualitas tanpa memperhatikan prosesnya. Watak partai mudah terhanyut oleh keinginan mendapat kader karbitan tanpa seleksi ketat dan bersandar persyaratan ideologis. Selain itu, dibanding meritokrasi, pererutan partai di Indonesia lebih cenderung didasarkan pada pragmatisme politik.
Perekrutan partai sekarang ini tidak dilakukan dengan proses baik melalui pola reguler dengan melewati tahap seleksi, penjenjangan, dan pendidikan politik. Tak heran jika di beberapa partai ada kader yang dengan mudah menduduki jabatan teras walaupun baru beberapa masa menjadi anggota. Kader seperti itu tanpa melewati pendidikan politik yang cukup, tidak akan mampu menginternalisasi nilai-nilai kepartaian sehingga perilakunya kerap merugikan partai.
Saat ini hampir semua partai tidak memiliki diferensiasi yang tegas tentang ideologi yang dianut. Kalaupun sudah didengungkan, implementasi ideologi (working ideology) tak tampak. Yang muncul adalah perilaku pragmatis. Antara program yang direncanakan dan dijalankan tidak terpapar satu kesambungan ideologis. Kalkulasi pasar politik lebih dipilih daripada keyakinan ideologis. Ujungnya, ideologi hanya menjadi simbol atau aksesori.
Ketidakmampuan partai meneguhkan ideologi menjadi celah bagi munculnya elite, kader, anggota, yang mudah terjebak dalam praktik politik pragmatis dan oportunis. Mereka tidak memiliki semacam alat kontrol berupa nilai ikat kepartaian karena hal tersebut lebur oleh kepentingan-kepentingan praktis dan logika transaksional yang menyebar luas. Di sini, disafilisasi anggota partai seperti sebuah kelaziman.
Kader Instan
Kedua; menata proses perekrutan. Dalam perekrutan, partai kerap dihadapkan pada masalah kebutuhan mendapatkan kader berkualitas tanpa memperhatikan prosesnya. Watak partai mudah terhanyut oleh keinginan mendapat kader karbitan tanpa seleksi ketat dan bersandar persyaratan ideologis. Selain itu, dibanding meritokrasi, pererutan partai di Indonesia lebih cenderung didasarkan pada pragmatisme politik.
Perekrutan partai sekarang ini tidak dilakukan dengan proses baik melalui pola reguler dengan melewati tahap seleksi, penjenjangan, dan pendidikan politik. Tak heran jika di beberapa partai ada kader yang dengan mudah menduduki jabatan teras walaupun baru beberapa masa menjadi anggota. Kader seperti itu tanpa melewati pendidikan politik yang cukup, tidak akan mampu menginternalisasi nilai-nilai kepartaian sehingga perilakunya kerap merugikan partai.
Ketiga; partai perlu membangun komunikasi
politik yang baik kepada massa. Dalam konteks menurunnya kepercayaan publik,
partai seharusnya tak lagi mengutamakan gaya komunikasi dengan retorika kekuasaan
belaka. Yang diperlukan adalah bagaimana komunikasi pada level substansi berupa
reproduksi bahasa komunikasi yang menyangkut pembelaan kepentingan riil rakyat.
Partai harus bisa mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) secara konkret dengan menjadikan ide atau
kebijakan partai yang berpihak pada rakyat.
Keempat; penerapan sanksi tegas bagi kader yang bermasalah. Kinerja kader partai yang buruk, terutama yang bersinggungan dengan persoalan hukum harus mendapat perhatian ganda. Seringkali partai masih harus menunggu sampai pihak yang terkena kasus mendapat kepastian hukum. Hanya saja, sikap seperti itu akan berhadapan dengan vonis publik. Pada titik persepsi, publik tidak bisa direbut kepercayaannya karena publik bisa bertindak secara otonom dengan menjatuhkan vonis sendiri berupa ketidakpercayaan pada partai. ●
Keempat; penerapan sanksi tegas bagi kader yang bermasalah. Kinerja kader partai yang buruk, terutama yang bersinggungan dengan persoalan hukum harus mendapat perhatian ganda. Seringkali partai masih harus menunggu sampai pihak yang terkena kasus mendapat kepastian hukum. Hanya saja, sikap seperti itu akan berhadapan dengan vonis publik. Pada titik persepsi, publik tidak bisa direbut kepercayaannya karena publik bisa bertindak secara otonom dengan menjatuhkan vonis sendiri berupa ketidakpercayaan pada partai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar