Otorisasi Berkacamata Kuda
Bambang Satriya; Guru Besar dan Dosen Luar Biasa
Universitas Ma Chung dan UIN Malang, Penulis Buku Etika Birokrasi
SUMBER
: MEDIA
INDONESIA, 10 Mei 2012
SEKURANG-KURANGNYA
mulai Mei ini, salah satu komunitas yang paling sengsara ialah kalangan
orangtua miskin yang mempunyai anak-anak berprestasi. Pasalnya, dengan
otorisasi yang dimiliki PT (perguruan tinggi), khususnya PTN dalam berburu
calon mahasiswa, boleh jadi mereka hanya punya impian meski oleh konstitusi
diberi hak memperoleh pendidikan. Apa dampak jangka panjangnya bagi negeri ini
saat mereka `disingkirkan'?
Dalam
bidang teknologi, menurut Global
Information Technology Rank 2008 yang dilansir World Economic Forum (WEF), derajat penguasaan teknologi informasi
di Indonesia tergolong rendah. Indonesia berada di peringkat ke-76.
Peringkat tersebut masih kalah jika dibandingkan dengan negara-negara Asia
Tenggara lainnya seperti Singapura (5), Malaysia (26), Thailand (40), dan
Vietnam (73). Rendahnya tingkat penguasaan teknologi berdampak pada lemahnya
daya saing ekonomi Indonesia. Daya saing ekonomi Indonesia yang dicirikan
melalui indikator pertumbuhan, institusi publik, dan teknologi masih di bawah
rata-rata. Indonesia masih bercokol di peringkat ke54, jauh di bawah negeri
jiran, Malaysia dan Thailand.
Indikator
yang digunakan WEF tersebut berkaitan dengan kualitas layanan publik, khususnya
dampak hubungan antara pendidikan dan masya rakat, kualitas kesehatan dan
ekonomi rakyat. Rakyat tak akan mungkin hidup terpuruk atau semakin tidak
berdaya menghadapi ‘rimba global’ kalau dalam dirinya ada kapabilitas edukatif
yang memadai.
Kondisi
yang semakin terpuruk akibat krisis berkepanjangan, termasuk krisis global, di
samping banyaknya korban bencana alam yang tak ditangani secara tuntas dan
merosotnya kemampuan ekonomi rakyat lantaran berbagai kebijakan negara yang tak
memanusiakan rakyat, membuat posisi Indonesia seperti ‘terjun bebas’ alias
melorot ke peringkat dasar. Di 2011 misalnya, tingkat produktivitas dunia usaha
Indonesia berada di peringkat 58, jauh di bawah negara tetangga di Asia
Tenggara seperti Thailand (27) dan Malaysia (18).
Posisi
sumber daya manusia (SDM) Indonesia itu secara umum berakar pada
penyelenggaraan pendidikan yang memengaruhinya. Ketika masyarakat sedang
menghadapi problem komplikasi seperti kemiskinan, pengangguran, gizi buruk,
cadangan pangan menipis, dan masalah fundamental lainnya, sulit membangun SDM
yang andal (profesional), apalagi bila sektor pendidikan yang idealnya jadi
tulang punggungnya ternyata juga terjangkit virus.
Negara
ini pun akan mengalami krisis SDM berkualitas jika problem yang menghegemoninya
itu gagal didekonstruksi. Problem kemiskinan dan pemiskinan, misalnya,
merupakan salah satu akar penyakit y yang menyulitkan anak-anak I Indonesia
bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih baik.
Mereka
barangkali hanya berhak bermimpi bisa berebut perguruan tinggi favorit, apa itu
PTN atau PTS, mengingat kondisi ekonomi keluarga tak cukup untuk membayar
impian tersebut. Bagaimana mungkin mereka bisa `membeli' impian kalau alat
belinya tidak ada atau terbatas? Sebut misalnya, pada 2007 angka misalnya, pada
2007 angka kemiskinan sebesar 37,17 juta dengan inflasi 16,58.
Pada 2008, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin menjadi 41,7 juta, dengan
inflasi pemerintah 15,42 akibat kebijakan penaikan harga BBM. Meski sampel
tersebut sudah empat tahun lalu, itu dapat dijadikan refleksi bahwa kebijakan
yang tidak humanistis berdampak serius terhadap kualitas SDM.
Tali-temali
antara pendidikan berkualitas dan SDM berkualitas seharusnya menjadi `pelajaran
utama' elite pemimpin bangsa ini. Apalah artinya pemerintah memberikan regulasi
yang menguntungkan PT dalam berburu calon-calon mahasiswa kalau strategi
politik penjaringan calon mahasiswa yang diterapkan PT, terutama yang melalui
jalur khusus PTN, hanya memberikan ruang liberal kepada calon mahasiswa dari
kalangan ekonomi mapan?
PTN,
misalnya, telah diberi regulasi berupa otoritas penuh dalam menjaring calon-calon
mahasiswa sehingga mereka pun berlomba memasang tarif yang tinggi, irasional,
dan ugal-ugalan. Ada jalur khusus di PTN yang memasang tarif Rp100 juta lebih
bagi calon mahasiswa yang menginginkan masuk atau diterima. Jalur di PTN
seperti itukah yang mencerminkan mereka sebagai perguruan tinggi favorit? Apakah
kefavoritan perguruan tinggi identik dengan besaran uang yang mereka regu
lasikan? Ataukah untuk jadi PTN favorit, mereka harus berbekal modal besar dari
masyarakat atau konsumen pendidikan?
Terbukti,
PT yang menyebut diri mereka favorit atau disebut berkualitas di masyarakat
sering kali dikaitkan dengan masalah besaran pembiayaan saat awal masuk atau
mengikuti proses perkuliahan. Semakin mahal tarif yang dikenakan atau
`diiklankan' kepada masyarakat, PT yang memberlakukan demikian serta-merta
dicap masyarakat sebagai PT favorit.
Dengan
standar atau parameter seperti itu, rasanya PT berlabel mahal hanya berhak
menyandang predikat favorit secara eksklusif, bukan favorit yang berbasis
inklusivitas, humanitas, dan egalitarianisme. Kefavoritan PT ini terbatas pada
ranah kapabilitas ekonomi yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang
berhasil `membeli' atau menjinakkan.
PT
seperti itu tak akan mampu mengangkat atau membebaskan masyarakat Indonesia
dari keterpurukan, mengingat apa yang mereka lakukan terbatas mengurus rumah
tangga sendiri, mengikuti irama otoritas, indepen densi tak bernurani, atau tak
mempertimbangkan model penjaringan calon mahasiswa berdasar mahasiswa
berdasarkan bakat-bakat secara murni.
PT
seperti itu hanya sibuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan atau menjadikan calon
mahasiswa sebagai objek `pengerukan' uang sebanyak banyaknya. PT lupa atau abai
terhadap tanggung jawab moral intelektual. Mereka seharusnya berkonsentrasi
mencari SDM dan mendidiknya supaya menjadi generasi mandiri dan militan, bukan
generasi yang memperbanyak beban di masyarakat.
Sulit Ditembus
PT
eksklusif itu menciptakan dinding yang sulit ditembus anak-anak dari kalangan
akar rumput. Wong alit ini hanya bisa menyaksikan menjulangnya bangunan PT
berharga mahal dan beraksesori megapolitan, yang mustahil bisa ditembusnya
akibat banyaknya regulasi yang menyuarakan kewajiban bagi orangtua untuk
mengeluarkan biaya secara berlapis-lapis.
Jika
seperti itu yang digolongkan PT favorit, rasanya mustahil bangsa ini akan bisa
terbebas dari problem komplikasi SDM. PT yang seharusnya menjadi kekuatan moral
intelektual, yang memediasi dan menyembuhkan berbagai bentuk penyakit, justru
menjadi salah satu embrio yang melahirkan dan memekarkan penyakit, seperti
kedengkian, kecemburuan, ketamakan, dan kesombongan.
Kontribusi
PT berpenyakitan itu tak bisa diharapkan bagi pemberdayaan, pembaruan, dan
pencerahan masyarakat. Masyarakat tak lebih berposisi sebagai `pasar terbuka'
yang bisa dikail (ditodong dan dikail) sesuka hati sesuai dengan ambisi tak
kenal henti atau selera pengelola PT.
Kalau
selera pengelola menjadikan PT sebagai `pusat mencari uang banyak', PT demikian
akan jadi gerbong besar kapitalisme pendidikan. Inilah yang pernah diingatkan
Aristoteles, “Semakin tinggi penghargaan
manusia terhadap kekayaan (uang), semakin rendahlah penghargaan manusia
terhadap nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan keadilan.” PT yang
orientasinya sudah bergeser itu tidak akan mampu menjadi kawah candradimuka
yang mendadar atau membentuk anak-anak bangsa menjadi kader militan.
Justru
sebaliknya, PT tersebut dapat menggiring mahasiswa menjadi elite borjuis yang
di kemudian hari (ketika lulus) tidak akan menjadi pengabdi yang humanis atau
nasionalis sejati. Pasalnya, mereka akan berlomba menjadi ‘bandit-bandit
intelektual’ yang sibuk memeras atau memalak sumber daya rakyat, seperti ketika
dirinya dijadikan sapi perah oleh PT yang menjadi tempat mengayuh gelar.
Ancaman
bahaya itulah yang seharusnya disikapi pemerintah dengan cara merekonstruksi
secara moral egaliter dan yuridis penyelenggaraan jagat pendidikan yang sibuk
bertualang dengan paradigma kacamata kuda: memburu dan mengumpulkan modal atas
nama otorisasi eksklusif PT, meski sebenarnya keputusan MK (Mahkamah
Konstitusi) sudah menganulirnya dan mengembalikan otorisasi privilese ‘wong
cilik’ atas hak mereka dalam memperoleh dan menikmati pendidikan tinggi
berkualitas.
Pemerintah perlu mempertegas bahwa
independensi atau otorisasi PT tak identik dengan kebebasan berburu uang sesuka
hati. Butuh rambu-rambu tegas yang menempatkan PT sebagai ‘rumah rakyat secara
egaliter’, bukan kerajaan elitis milik kaum borjuis. Kebebasan dengan payung
hukum tetaplah wajib ‘membahasakan’ kepentingan masyarakat yang secara ekonomi
tergolong tidak mampu, di samping menyelamatkan generasi potensial dari praktik
otorisasi yang menyingkirkannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar