Kamis, 10 Mei 2012

Justice Collaborator

Justice Collaborator
Bambang Soesatyo; Anggota Komisi III DPR RI
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 10 Mei 2012


NILAI heroik dari keberanian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperlebar penanganan kasus suap Wisma Atlet dan kasus Hambalang meredup begitu saja ketika wacana justice collaborator kepada seorang tersangka dimunculkan. Syukurlah hal itu segera dibantah KPK. Butuh keberanian ekstra untuk mengubah status seorang politikus menjadi tersangka kasus korupsi, apalagi jika sang politikus diketahui dekat dengan pusat kekuasaan.

Bukan hanya tarik-menarik kepentingan, itu tidak jarang diwarnai adu kekuatan, saling ancam, dan saling menyandera. Karena itu, ketika pimpinan KPK mengumumkan status tersangka atas Angelina Sondakh dalam kasus suap proyek Wisma Atlet, tindakan itu dinilai berbagai kalangan sangat heroik.

Pun ketika surat penahanan Angelina ditandatangani, in tegritas KPK memang sudah teruji. Itu bukti bahwa KPK berani untuk tidak mau mundur, sekalipun hanya satu langkah. Publik pun menangkap kesan bahwa KPK sedang dan terus mengasah pisau hukum. Dalam konteks pemberantasan korupsi, semua orang paham bahwa KPK memang memiliki kewenangan sangat besar. Namun dalam beberapa tahun terakhir, besarnya kapasitas kewenangan itu tidak dimanfaatkan. Dalam menyikapi kasus besar yang menjadi perhatian publik, KPK lebih banyak berwacana daripada bertindak.

Bahkan, sempat muncul kesan KPK menjadi kompromistis ketika harus menyentuh kasus korupsi yang diduga melibatkan orang-orang kuat di negara ini.

Oleh karena itu, posisi dan sikap KPK dalam menangani persoalan hukum yang dihadapi Angelina Sondakh plus sejumlah nama lain patut dipahami sebagai upaya mengaktu alisasi kewenangan besar yang melekat pada lembaga tersebut. Itu bahkan layak juga disebut  sebagai upaya merevitalisasi kewenangan besar KPK. Agar revitalisasi itu mencapai tujuan utamanya, tentu saja semua jajaran KPK harus tegar.

Itu lantaran tantangan yang mereka hadapi sangat berat di tengah praktik korupsi yang makin marak sekarang ini.

Sudah terbukti bahwa upaya KPK merevitalisasi kewenangan besarnya mendapatkan apresiasi dari seluruh elemen masyarakat; minus komunitas koruptor tentu saja. Apresiasi dan dukungan publik menjadi modal dasar yang tak ternilai. Sudah lama rakyat menderita akibat tirani koruptor. KPK dihadirkan untuk meruntuhkan tirani tersebut. Oleh karena itu, independensi KPK menjadi faktor kunci yang menentukan kuat-lemahnya KPK. Sumbu korupsi itu ada dalam birokrasi kekuasaan merupakan fakta.

Karena itu, sangat penting bagi KPK untuk berani menjaga jarak dengan birokrasi kekuasaan yang sarat koruptor itu. Hanya birokrasi kekuasaan yang bisa melemahkan KPK, bukan unsur lain. Oleh karena itu, banyak kalangan terkejut ketika KPK menawarkan justice collaborator kepada tersangka Angelina Sondakh. Terkejut karena tawaran itu benar-benar bertolak belakang dengan asumsi dan persepsi publik.

Bisa dimaklumi jika tawaran KPK itu ditentang sebagian besar pemerhati. Kajian atau analisis hukum para ahli terhadap konsekuensi hukum yang mungkin dihadapi Angelina memang sudah telanjur jauh karena mereka mengacu pada sejumlah kesaksian di persidangan kasus Wisma Atlet, baik keterangan terdakwa Muhammad Nazaruddin maupun penuturan sejumlah saksi. Dari persidangan kasus Wisma Atlet, terdakwa dan sejumlah saksi sudah memberikan gambaran sangat jelas tentang sumber dana dan perihal aliran dana, baik yang diterima individu maupun kelompok. Dari persidangan kasus yang sama pula indikasi tentang praktik pencucian uang dimunculkan.

Pihak-pihak yang terlibat dan diduga terlibat telah menjadikan sebuah unit usaha sebagai sarana mengumpulkan uang jasa (fee) proyek sebelum dibagikan atau dialirkan ke pihak lain. Dengan konstruksi kasus seperti itu, para ahli berpendapat KPK bisa menggunakan UU Tipikor dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk menjerat pihak-pihak yang terlibat. Dengan menggunakan UU TPPU sebagai pintu masuk, KPK bahkan bisa menelusuri ketidakwajaran sumber-sumber kekayaan tersangka atau pihak-pihak yang sudah diduga menerima aliran dana dari kasus Wisma Atlet dan Hambalang.

Artinya, publik ingin agar dakwaan maksimal terhadap semua pihak yang terlibat dirumuskan. Dakwaan maksimal perlu agar tumbuh efek jera. Maka, urgensi tawaran justice collaborator memang tidak terlihat karena indikasi keterlibatan sejumlah nama dalam kasus Wisma Atlet sudah terungkap.

Mengapa KPK tidak menelusuri nama pemilik nomor telepon seluler yang berkomunikasi dengan terdakwa Mindo Rosalina Manulang? Artinya, untuk mendapatkan bukti-bukti yang lebih kuat, masih terdapat beberapa langkah yang bisa ditempuh penyidik KPK untuk menggugurkan tawaran justice collaborator itu. Sudah muncul kekhawatiran tentang adanya motif tertentu di balik tawaran justice collaborator itu.

Ada upaya merancang mekanisme tersebut dengan target meringankan dakwaan. Bukan tidak mungkin konstruksi dakwaan menerima suap berubah menjadi kasus gratifikasi. Artinya, tawaran justice collaborator itu tak lebih dari akal-akalan untuk mengakomodasi kepentingan pihak tertentu yang sangat mengharapkan penerima tawaran justice collaborator tidak mengungkap keterlibatan mereka.

Imbalannya, si justice collaborator akan diajukan ke pengadilan tipikor dengan dakwaan yang ringan. Kalau itu yang terjadi, berarti predator proses hukum justru ada di dalam tubuh penegak hukum itu sendiri. Fakta dan pengalaman membuktikan rekayasa dakwaan untuk menguntungkan posisi terdakwa pun bisa terjadi di pengadilan tipikor. Karena itu, pimpinan KPK harus mewaspadai kemungkinan itu. Kalaupun tawaran justice collaborator itu akan direalisasikan, segala sesuatunya harus transparan.

Itu lantaran kasus ini sudah menjadi perhatian publik. Publik harus tahu apa yang menjadi target KPK dari seorang justice collaborator itu. Harus ada kesediaan KPK dan justice collaborator untuk berbicara kepada publik. Artinya, kalau KPK menargetkan justice collaborator menyebut keterlibatan nama lain, keduanya harus menyebut atau mengumumkannya di ruang publik, tidak cukup sekadar di ruang pemeriksaan. Pun bukan sekadar nama warga sipil biasa, apalagi hanya sopir pribadi.

Target KPK dari justice collaborator harus besar dan strategis agar setara dengan keringanan dakwaan terhadapnya. Kalau kesaksian justice collaborator tidak setara atau sekadar menyebut nama seseorang berstatus pembantu, tawaran itu harus digugurkan. Bagaimanapun, KPK tidak boleh kompromistis terhadap tersangka koruptor. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar