Justice Collaborator
Bambang Soesatyo; Anggota Komisi III DPR RI
SUMBER
: MEDIA
INDONESIA, 10 Mei 2012
NILAI
heroik dari keberanian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperlebar
penanganan kasus suap Wisma Atlet dan kasus Hambalang meredup begitu saja
ketika wacana justice collaborator
kepada seorang tersangka dimunculkan. Syukurlah hal itu segera dibantah KPK. Butuh
keberanian ekstra untuk mengubah status seorang politikus menjadi tersangka
kasus korupsi, apalagi jika sang politikus diketahui dekat dengan pusat
kekuasaan.
Bukan
hanya tarik-menarik kepentingan, itu tidak jarang diwarnai adu kekuatan, saling
ancam, dan saling menyandera. Karena itu, ketika pimpinan KPK mengumumkan
status tersangka atas Angelina Sondakh dalam kasus suap proyek Wisma Atlet,
tindakan itu dinilai berbagai kalangan sangat heroik.
Pun
ketika surat penahanan Angelina ditandatangani, in tegritas KPK memang sudah
teruji. Itu bukti bahwa KPK berani untuk tidak mau mundur, sekalipun hanya satu
langkah. Publik pun menangkap kesan bahwa KPK sedang dan terus mengasah pisau
hukum. Dalam konteks pemberantasan korupsi, semua orang paham bahwa KPK memang
memiliki kewenangan sangat besar. Namun dalam beberapa tahun terakhir, besarnya
kapasitas kewenangan itu tidak dimanfaatkan. Dalam menyikapi kasus besar yang
menjadi perhatian publik, KPK lebih banyak berwacana daripada bertindak.
Bahkan,
sempat muncul kesan KPK menjadi kompromistis ketika harus menyentuh kasus
korupsi yang diduga melibatkan orang-orang kuat di negara ini.
Oleh
karena itu, posisi dan sikap KPK dalam menangani persoalan hukum yang dihadapi
Angelina Sondakh plus sejumlah nama lain patut dipahami sebagai upaya mengaktu
alisasi kewenangan besar yang melekat pada lembaga tersebut. Itu bahkan layak
juga disebut sebagai upaya
merevitalisasi kewenangan besar KPK. Agar revitalisasi itu mencapai tujuan
utamanya, tentu saja semua jajaran KPK harus tegar.
Itu
lantaran tantangan yang mereka hadapi sangat berat di tengah praktik korupsi
yang makin marak sekarang ini.
Sudah
terbukti bahwa upaya KPK merevitalisasi kewenangan besarnya mendapatkan
apresiasi dari seluruh elemen masyarakat; minus komunitas koruptor tentu saja.
Apresiasi dan dukungan publik menjadi modal dasar yang tak ternilai. Sudah lama
rakyat menderita akibat tirani koruptor. KPK dihadirkan untuk meruntuhkan
tirani tersebut. Oleh karena itu, independensi KPK menjadi faktor kunci yang
menentukan kuat-lemahnya KPK. Sumbu korupsi itu ada dalam birokrasi kekuasaan
merupakan fakta.
Karena
itu, sangat penting bagi KPK untuk berani menjaga jarak dengan birokrasi
kekuasaan yang sarat koruptor itu. Hanya birokrasi kekuasaan yang bisa
melemahkan KPK, bukan unsur lain. Oleh karena itu, banyak kalangan terkejut
ketika KPK menawarkan justice
collaborator kepada tersangka Angelina Sondakh. Terkejut karena tawaran itu
benar-benar bertolak belakang dengan asumsi dan persepsi publik.
Bisa
dimaklumi jika tawaran KPK itu ditentang sebagian besar pemerhati. Kajian atau
analisis hukum para ahli terhadap konsekuensi hukum yang mungkin dihadapi
Angelina memang sudah telanjur jauh karena mereka mengacu pada sejumlah
kesaksian di persidangan kasus Wisma Atlet, baik keterangan terdakwa Muhammad
Nazaruddin maupun penuturan sejumlah saksi. Dari persidangan kasus Wisma Atlet,
terdakwa dan sejumlah saksi sudah memberikan gambaran sangat jelas tentang
sumber dana dan perihal aliran dana, baik yang diterima individu maupun
kelompok. Dari persidangan kasus yang sama pula indikasi tentang praktik
pencucian uang dimunculkan.
Pihak-pihak
yang terlibat dan diduga terlibat telah menjadikan sebuah unit usaha sebagai
sarana mengumpulkan uang jasa (fee)
proyek sebelum dibagikan atau dialirkan ke pihak lain. Dengan konstruksi kasus
seperti itu, para ahli berpendapat KPK bisa menggunakan UU Tipikor dan UU
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk menjerat pihak-pihak yang terlibat.
Dengan menggunakan UU TPPU sebagai pintu masuk, KPK bahkan bisa menelusuri
ketidakwajaran sumber-sumber kekayaan tersangka atau pihak-pihak yang sudah
diduga menerima aliran dana dari kasus Wisma Atlet dan Hambalang.
Artinya,
publik ingin agar dakwaan maksimal terhadap semua pihak yang terlibat
dirumuskan. Dakwaan maksimal perlu agar tumbuh efek jera. Maka, urgensi tawaran
justice collaborator memang tidak terlihat karena indikasi keterlibatan
sejumlah nama dalam kasus Wisma Atlet sudah terungkap.
Mengapa
KPK tidak menelusuri nama pemilik nomor telepon seluler yang berkomunikasi
dengan terdakwa Mindo Rosalina Manulang? Artinya, untuk mendapatkan bukti-bukti
yang lebih kuat, masih terdapat beberapa langkah yang bisa ditempuh penyidik
KPK untuk menggugurkan tawaran justice
collaborator itu. Sudah muncul kekhawatiran tentang adanya motif tertentu
di balik tawaran justice collaborator
itu.
Ada
upaya merancang mekanisme tersebut dengan target meringankan dakwaan. Bukan
tidak mungkin konstruksi dakwaan menerima suap berubah menjadi kasus
gratifikasi. Artinya, tawaran justice
collaborator itu tak lebih dari akal-akalan untuk mengakomodasi kepentingan
pihak tertentu yang sangat mengharapkan penerima tawaran justice collaborator tidak mengungkap keterlibatan mereka.
Imbalannya,
si justice collaborator akan diajukan
ke pengadilan tipikor dengan dakwaan yang ringan. Kalau itu yang terjadi,
berarti predator proses hukum justru ada di dalam tubuh penegak hukum itu
sendiri. Fakta dan pengalaman membuktikan rekayasa dakwaan untuk menguntungkan
posisi terdakwa pun bisa terjadi di pengadilan tipikor. Karena itu, pimpinan KPK
harus mewaspadai kemungkinan itu. Kalaupun tawaran justice collaborator itu akan direalisasikan, segala sesuatunya
harus transparan.
Itu
lantaran kasus ini sudah menjadi perhatian publik. Publik harus tahu apa yang
menjadi target KPK dari seorang justice
collaborator itu. Harus ada kesediaan KPK dan justice collaborator untuk berbicara kepada publik. Artinya, kalau
KPK menargetkan justice collaborator
menyebut keterlibatan nama lain, keduanya harus menyebut atau mengumumkannya di
ruang publik, tidak cukup sekadar di ruang pemeriksaan. Pun bukan sekadar nama
warga sipil biasa, apalagi hanya sopir pribadi.
Target KPK dari justice collaborator harus besar dan strategis agar setara dengan
keringanan dakwaan terhadapnya. Kalau kesaksian justice collaborator tidak setara atau sekadar menyebut nama
seseorang berstatus pembantu, tawaran itu harus digugurkan. Bagaimanapun, KPK
tidak boleh kompromistis terhadap tersangka koruptor. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar