Tatanan Politik Prorakyat
L Murbandono Hs; Peminat dan Pengamat Peradaban,
Tinggal
di Ambarawa Kabupaten Semarang
SUMBER
: SUARA
MERDEKA, 10 Mei 2012
TATANAN kekuasaan di negara
kita sejak merdeka sampai hari ini dikendalikan oleh para pemimpin dan “pemimpin”.
Yang pertama adalah pemimpin wa-jar yang kita dambakan. Yang kedua adalah
orang-orang yang disebut pe-mimpin di semua tingkat tetapi ternyata menjadi
koruptor atau penjahat-penjahat lain ikutannya, dengan aneka macam wujud
kenistaan sikap lakunya.
Berdasar sejarah pergerakan nasional, hakikat “pemimpin” adalah pengkhianat dengan dua nomena. Pertama; dengan se-genap sekutunya para “pemimpin” itu menggiring kehidupan berbangsa dan bernegara menyimpang dari cita-cita proklamasi kemerdekaan RI 1945 yang telah dirintis sejak awal abad XX oleh para patriot bangsa dengan seluruh pengorbanannya. Kedua; mereka juga telah menciptakan tatanan ketidakadilan sosial bagi rakyat Indonesia.
Dua nomena itu, sebagai fenomena, muncul dalam banyak aneka wujud, tetapi selalu dimentahkan dan dikaburkan para “pemimpin” sebagai agen-agen antireformasi total 1998 yang oportunistik. Para oportunis ini agaknya tidak tahu (karena bodoh atau buta sejarah) atau pura-pura tidak tahu (karena kepentingannya terganggu) tentang hakikat keindonesiaan dan orientasi RI, sebagaimana dicita-citakan pendiri bangsa.
Tatanan politis prorakyat itu, oleh para “pemimpin” dan semua kliknya diselewengkan, dimanipulasi, dan dibengkokkan menjadi tatanan politis hari-hari ini yang tidak prorakyat meski pawai retorika para “pemimpin” berkata sebaliknya. Jadi, partai-partai politik dengan ideologi apa pun sebagai perkakas “pemimpin”, sejatinya badut-badutan belaka. Pasalnya, ujung ideologi “pemimpin” hanyalah oportunisme atau paling pol pragmatisme dari jenis pendekatan yang paling konyol.
Kapitalisme Prorakyat
Maka logis jika tatanan politik di bawah kendali para “pemimpin” yang ahistoris itu, pada sektor ekonomi misalnya, ujungnya hanya menguntungkan para penguasa di semua tingkat (makin tinggi tingkat makin bergelimang dolar) dan kaum saudagar serta segenap klik lainnya. Mereka dapat roti dan rakyat jelata dapat remah-remahnya. Padahal RI kaya raya. Satu pernik kecil dalam lautan penghasilan negara sebagai contoh, ada satu sentra industri tambang di Tanah Air yang mampu setor 7 juta dolar AS ke pemerintah RI, bukan tiap tahun, tapi tiap hari.
Kenyataan itu menandai kemenangan “pemimpin” atas pemimpin. Ini tampak antara lain dalam dua gejala. Pertama; dengan banyak pesan yang dangkal, heboh, mengecoh, dan dominasi para “pemimpin” menggiring kehidupan berbangsa dan bernegara menuju politik “kanan”. Kedua; 1.001 perbendaharaan nilai dan terminologi berwatak “kanan” tiap hari dipromosikan, membodohi benak publik, dengan segala cara, antara lain lewat strategi media gaya koboi dan mafia.
Sejarah kita mencatat: perintis patriot bangsa Indonesia terdiri atas banyak suku, agama, ras, dan banyak paham hidup: berbagai isme termasuk kiri dan kanan terpadu bahu-membahu, berproses dinamis saling memberi masukan, demi tujuan Indonesia Raya.
Dalam konteks dinamika saling memberi masukan itulah lahir Pancasila sebagai penyelaras konflik kiri dengan kanan. Salah satu butirnya, sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (oleh Bung Karno disebut sosialisme ala Indonesia) adalah hasil pergulatan panjang penggalian memadukan Declaration of Independence dan Manifesto Komunis yang membelah dunia dalam Blok Barat dan Blok Timur yang amat melelahkan.
Salah satu butir terpenting dalam sosialisme ala Indonesia adalah tidak antisaudagar sejauh saudagar tersebut prorakyat. Maka kapitalisme prorakyat mendapat tempat. Jelasnya, dalam kapitalisme prorakyat, rakyat menjadi kata kunci dan tujuan utama, sehingga seluruh jargon ekonomi cuma perkakas. Nyatanya, yang terjadi adalah sebaliknya. Sampai kapan? ●
Berdasar sejarah pergerakan nasional, hakikat “pemimpin” adalah pengkhianat dengan dua nomena. Pertama; dengan se-genap sekutunya para “pemimpin” itu menggiring kehidupan berbangsa dan bernegara menyimpang dari cita-cita proklamasi kemerdekaan RI 1945 yang telah dirintis sejak awal abad XX oleh para patriot bangsa dengan seluruh pengorbanannya. Kedua; mereka juga telah menciptakan tatanan ketidakadilan sosial bagi rakyat Indonesia.
Dua nomena itu, sebagai fenomena, muncul dalam banyak aneka wujud, tetapi selalu dimentahkan dan dikaburkan para “pemimpin” sebagai agen-agen antireformasi total 1998 yang oportunistik. Para oportunis ini agaknya tidak tahu (karena bodoh atau buta sejarah) atau pura-pura tidak tahu (karena kepentingannya terganggu) tentang hakikat keindonesiaan dan orientasi RI, sebagaimana dicita-citakan pendiri bangsa.
Tatanan politis prorakyat itu, oleh para “pemimpin” dan semua kliknya diselewengkan, dimanipulasi, dan dibengkokkan menjadi tatanan politis hari-hari ini yang tidak prorakyat meski pawai retorika para “pemimpin” berkata sebaliknya. Jadi, partai-partai politik dengan ideologi apa pun sebagai perkakas “pemimpin”, sejatinya badut-badutan belaka. Pasalnya, ujung ideologi “pemimpin” hanyalah oportunisme atau paling pol pragmatisme dari jenis pendekatan yang paling konyol.
Kapitalisme Prorakyat
Maka logis jika tatanan politik di bawah kendali para “pemimpin” yang ahistoris itu, pada sektor ekonomi misalnya, ujungnya hanya menguntungkan para penguasa di semua tingkat (makin tinggi tingkat makin bergelimang dolar) dan kaum saudagar serta segenap klik lainnya. Mereka dapat roti dan rakyat jelata dapat remah-remahnya. Padahal RI kaya raya. Satu pernik kecil dalam lautan penghasilan negara sebagai contoh, ada satu sentra industri tambang di Tanah Air yang mampu setor 7 juta dolar AS ke pemerintah RI, bukan tiap tahun, tapi tiap hari.
Kenyataan itu menandai kemenangan “pemimpin” atas pemimpin. Ini tampak antara lain dalam dua gejala. Pertama; dengan banyak pesan yang dangkal, heboh, mengecoh, dan dominasi para “pemimpin” menggiring kehidupan berbangsa dan bernegara menuju politik “kanan”. Kedua; 1.001 perbendaharaan nilai dan terminologi berwatak “kanan” tiap hari dipromosikan, membodohi benak publik, dengan segala cara, antara lain lewat strategi media gaya koboi dan mafia.
Sejarah kita mencatat: perintis patriot bangsa Indonesia terdiri atas banyak suku, agama, ras, dan banyak paham hidup: berbagai isme termasuk kiri dan kanan terpadu bahu-membahu, berproses dinamis saling memberi masukan, demi tujuan Indonesia Raya.
Dalam konteks dinamika saling memberi masukan itulah lahir Pancasila sebagai penyelaras konflik kiri dengan kanan. Salah satu butirnya, sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (oleh Bung Karno disebut sosialisme ala Indonesia) adalah hasil pergulatan panjang penggalian memadukan Declaration of Independence dan Manifesto Komunis yang membelah dunia dalam Blok Barat dan Blok Timur yang amat melelahkan.
Salah satu butir terpenting dalam sosialisme ala Indonesia adalah tidak antisaudagar sejauh saudagar tersebut prorakyat. Maka kapitalisme prorakyat mendapat tempat. Jelasnya, dalam kapitalisme prorakyat, rakyat menjadi kata kunci dan tujuan utama, sehingga seluruh jargon ekonomi cuma perkakas. Nyatanya, yang terjadi adalah sebaliknya. Sampai kapan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar