Negeri Kleptokrasi
Ali Wardhana Isha; Peneliti Senior Human Institute for Democracy Studies
(HIDS)
SUMBER
: REPUBLIKA,
08 Mei 2012
Ketika
berkendaraan bermotor tanpa surat-surat yang lengkap, kemudian ada razia dan
ditilang polisi, acap kali kita mengajukan “damai“. Dalam persepsi umum,
tindakan melanggar hukum hanya ditujukan kepada polisi yang melakukan pungli
itu. Tapi, jarang sekali menuduh diri sendiri melakukan kesalahan.
Kasus
seperti ini merupakan kasus keseharian sebagai cerminan betapa budaya korup
telah mengakari masyarakat kita di negeri ini. Belum lagi praktik-praktik
korupsi di sektor hukum yang dikenal dengan istilah “mafia peradilan“, mark up proyek, pemberian pelbagai
komisi dan upeti dalam anggaran belanja.
Ada
kisah menarik tentang seorang polisi jujur yang dipromosikan menjadi kepala
polisi di perbatasan Kalimantan-Sarawak, beberapa tahun ke belakang. Konon,
karena kejujurannya, banyak kesempatan uang suap, komisi, dan sejenisnya
ditolak. Bukannya pujian yang diperoleh, melainkan cibiran dan sikap antipati
dari para bawahannya. Atas laporan bawahan sebagai pemimpin yang “tidak
kooperatif“, kepala polisi itu pun dimutasi. Sedangkan, bawahannya dipromosikan
ke tingkat yang lebih tinggi.
Satu
lagi, di negeri ini pun setiap ada seleksi pegawai negeri sipil, masih kental
budaya sogokan. Hingga kini budaya itu belum hilang. Dari pengalaman ke
beberapa daerah hasil pemekaran, sogokaan jadi PNS ini telah menembus angka 100
juta rupiah.
Pada
lain waktu, di negeri ini setiap kali ada promosi kenaikan jabatan dalam suatu
instansi, seseorang secara sosial dituntut mengganti jenis mobil dinasnya.
Atau, setiap kali acara sosial, seorang pejabat dituntut menyumbang sesuai
kedudukan yang disandangnya. Padahal, Indonesia, kembali saya katakan, yang “kayaknya“
negeri hukum dengan multibudaya dan etnis di mana seharusnya semua orang
diperlakukan sama di depan hukum, secara tidak langsung dapat diyakini semua
budaya yang ada dan terjadi di Indonesia juga akan ikut memengaruhi perilaku
aparat negaranya.
Di
struktur birokrasi, mulai dari level terendah (RT, RW, bupati/walikota, dan
presiden), budaya korupsi dan patgulipat uang rakyat juga terjadi. Hal ini
makin dibuka dengan maraknya pe milihan umum yang diselenggarakan di seluruh
elemen pemerintahan negeri yang dapat dipastikan menelan anggaran besar, baik
dari APBD, APBN, maupun si calon itu sendiri yang makin memperparah perilaku
koruptif ini.
Bahkan,
segala cara dilakukan siapa pun kandidat yang maju dalam kompetisi politik
untuk memenangkan pertarungan politik di level parlemen atau eksekutif. Ini
jadi bukti bahwa budaya ketidakjujuran yang terjadi di semua sisi kehidupan di
ranah kenegaraan ini sangat ikut memengaruhi pola kehidupan dan gaya memerintah
aparat dan pejabat di semua level yang ada dalam tata struktur bernegara kita.
Hebatnya
lagi di negeri ini, banyak mantan atau pejabat aktif yang menampilkan wajah
dewa kebaikannya, membangun fasilitas umum dari hasil korup. Masih sering kita
menyaksikan tentang pejabat atau mantan pejabat dengan wajah sumringah menatap
sorotan kamera di pengadilan tanpa rasa malu. Bandingkan dengan beberapa negara
lain, seperti Jepang. Ketika seseorang terlibat kasus kejahatan, ia berani
melepaskan jabatannya bahkan ada yang bunuh diri karena malu. Yang jadi
pertanyaan, mengapa di negeri ini tidak ada budaya malu?
Dari
fenomena ini, seorang Pramoedya Ananta Toer pernah menyatakan para pejabat yang
merupakan kepanjangan dari praktik para raja zaman feodal memang merasa berhak
mendapatkan upeti, sekaligus berkewajiban memberikan perintah pada para kaula
abdi. Oleh karena itu, para pejabat kita tidak pernah memiliki sense melayani rakyatnya dan sebaliknya,
mereka merasa berkuasa untuk memerintah.
Sesungguhnya,
kita bisa bercermin pada Singapura yang peringkat korupsinya menurut Lembaga
Transparansi Internasional (IT) berbanding terbalik dengan Indonesia yang
menempati peringkat ke-6. Semasa Lee Kuan Yew menjadi perdana menteri (PM)
Singapura, ia kerap membawa termos dari rumahnya. Artinya, untuk minum pun dia
tidak menggunakan fasilitas Negara. Mentalitas semacam inilah yang diperlukan
oleh orang-orang kita, dalam posisi apa pun, yakni mentalitas menentang arus.
Orang
Jepang menamai spirit ini dengan istilah Koinobori. Tampaknya, inilah mentalitas
yang perlu kita tanamkan dalam institusi-institusi pendidikan kita—spirit
menentang arus, spirit untuk tidak terjerumus dalam praktik kleptokrasi.
Bukankah praktik-praktik korupsi biasanya berawal dari sekolah?
Awalnya,
mereka dibiarkan menyontek, menyalin jawaban yang telah dipersiapkan sebelumnya
ke lembar jawaban ulangannya. Ketika lulus dari perguruan tinggi dan menduduki
posisi jabatan ter tentu, mereka tidak lagi memindahkan contekannya, melainkan
memindahkan angka-angka dari kas negara ke dalam rekening pribadinya. Malah ada
yang memindahkan ke rekening perempuan simpanannya.
Melihat
realitas dan aneka perilaku koruptif di negeri ini, ternyata jelas sudah bagi
kita bahwa siapa pun pejabat di negeri ini tidak dapat terlepaskan dari
pengaruh budaya korup, yang sela ma ini dibangun oleh sebuah sistem otoriter
yang mengabaikan peran serta masyarakat dalam pengambilan, pengawasan, serta
penetapan suatu kebijakan.
Budaya
korup ini merupakan bukti nyata bahwa warisan dari sistem pemerintahan otoriter
telah menjadi suatu gaya kepemimpinan dan telah merasuki seluruh sendi-sendi
kehidupan rakyat di negeri ini. Sehingga, tentu tidak salah jika ada beberapa
teman di luar negeri sana, yang kebetulan pasti bukan warga negara Indonesia
menjuluki atau menamai Indonesia sebagai negara kleptokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar