Rabu, 09 Mei 2012

Negeri Kleptokrasi


Negeri Kleptokrasi
Ali Wardhana Isha; Peneliti Senior Human Institute for Democracy Studies (HIDS)
SUMBER :  REPUBLIKA, 08 Mei 2012


Ketika berkendaraan bermotor tanpa surat-surat yang lengkap, kemudian ada razia dan ditilang polisi, acap kali kita mengajukan “damai“. Dalam persepsi umum, tindakan melanggar hukum hanya ditujukan kepada polisi yang melakukan pungli itu. Tapi, jarang sekali menuduh diri sendiri melakukan kesalahan.

Kasus seperti ini merupakan kasus keseharian sebagai cerminan betapa budaya korup telah mengakari masyarakat kita di negeri ini. Belum lagi praktik-praktik korupsi di sektor hukum yang dikenal dengan istilah “mafia peradilan“, mark up proyek, pemberian pelbagai komisi dan upeti dalam anggaran belanja.

Ada kisah menarik tentang seorang polisi jujur yang dipromosikan menjadi kepala polisi di perbatasan Kalimantan-Sarawak, beberapa tahun ke belakang. Konon, karena kejujurannya, banyak kesempatan uang suap, komisi, dan sejenisnya ditolak. Bukannya pujian yang diperoleh, melainkan cibiran dan sikap antipati dari para bawahannya. Atas laporan bawahan sebagai pemimpin yang “tidak kooperatif“, kepala polisi itu pun dimutasi. Sedangkan, bawahannya dipromosikan ke tingkat yang lebih tinggi.

Satu lagi, di negeri ini pun setiap ada seleksi pegawai negeri sipil, masih kental budaya sogokan. Hingga kini budaya itu belum hilang. Dari pengalaman ke beberapa daerah hasil pemekaran, sogokaan jadi PNS ini telah menembus angka 100 juta rupiah.

Pada lain waktu, di negeri ini setiap kali ada promosi kenaikan jabatan dalam suatu instansi, seseorang secara sosial dituntut mengganti jenis mobil dinasnya. Atau, setiap kali acara sosial, seorang pejabat dituntut menyumbang sesuai kedudukan yang disandangnya. Padahal, Indonesia, kembali saya katakan, yang “kayaknya“ negeri hukum dengan multibudaya dan etnis di mana seharusnya semua orang diperlakukan sama di depan hukum, secara tidak langsung dapat diyakini semua budaya yang ada dan terjadi di Indonesia juga akan ikut memengaruhi perilaku aparat negaranya.

Di struktur birokrasi, mulai dari level terendah (RT, RW, bupati/walikota, dan presiden), budaya korupsi dan patgulipat uang rakyat juga terjadi. Hal ini makin dibuka dengan maraknya pe milihan umum yang diselenggarakan di seluruh elemen pemerintahan negeri yang dapat dipastikan menelan anggaran besar, baik dari APBD, APBN, maupun si calon itu sendiri yang makin memperparah perilaku koruptif ini.

Bahkan, segala cara dilakukan siapa pun kandidat yang maju dalam kompetisi politik untuk memenangkan pertarungan politik di level parlemen atau eksekutif. Ini jadi bukti bahwa budaya ketidakjujuran yang terjadi di semua sisi kehidupan di ranah kenegaraan ini sangat ikut memengaruhi pola kehidupan dan gaya memerintah aparat dan pejabat di semua level yang ada dalam tata struktur bernegara kita.

Hebatnya lagi di negeri ini, banyak mantan atau pejabat aktif yang menampilkan wajah dewa kebaikannya, membangun fasilitas umum dari hasil korup. Masih sering kita menyaksikan tentang pejabat atau mantan pejabat dengan wajah sumringah menatap sorotan kamera di pengadilan tanpa rasa malu. Bandingkan dengan beberapa negara lain, seperti Jepang. Ketika seseorang terlibat kasus kejahatan, ia berani melepaskan jabatannya bahkan ada yang bunuh diri karena malu. Yang jadi pertanyaan, mengapa di negeri ini tidak ada budaya malu?

Dari fenomena ini, seorang Pramoedya Ananta Toer pernah menyatakan para pejabat yang merupakan kepanjangan dari praktik para raja zaman feodal memang merasa berhak mendapatkan upeti, sekaligus berkewajiban memberikan perintah pada para kaula abdi. Oleh karena itu, para pejabat kita tidak pernah memiliki sense melayani rakyatnya dan sebaliknya, mereka merasa berkuasa untuk memerintah.

Sesungguhnya, kita bisa bercermin pada Singapura yang peringkat korupsinya menurut Lembaga Transparansi Internasional (IT) berbanding terbalik dengan Indonesia yang menempati peringkat ke-6. Semasa Lee Kuan Yew menjadi perdana menteri (PM) Singapura, ia kerap membawa termos dari rumahnya. Artinya, untuk minum pun dia tidak menggunakan fasilitas Negara. Mentalitas semacam inilah yang diperlukan oleh orang-orang kita, dalam posisi apa pun, yakni mentalitas menentang arus.

Orang Jepang menamai spirit ini dengan istilah Koinobori. Tampaknya, inilah mentalitas yang perlu kita tanamkan dalam institusi-institusi pendidikan kita—spirit menentang arus, spirit untuk tidak terjerumus dalam praktik kleptokrasi. Bukankah praktik-praktik korupsi biasanya berawal dari sekolah?

Awalnya, mereka dibiarkan menyontek, menyalin jawaban yang telah dipersiapkan sebelumnya ke lembar jawaban ulangannya. Ketika lulus dari perguruan tinggi dan menduduki posisi jabatan ter tentu, mereka tidak lagi memindahkan contekannya, melainkan memindahkan angka-angka dari kas negara ke dalam rekening pribadinya. Malah ada yang memindahkan ke rekening perempuan simpanannya.

Melihat realitas dan aneka perilaku koruptif di negeri ini, ternyata jelas sudah bagi kita bahwa siapa pun pejabat di negeri ini tidak dapat terlepaskan dari pengaruh budaya korup, yang sela ma ini dibangun oleh sebuah sistem otoriter yang mengabaikan peran serta masyarakat dalam pengambilan, pengawasan, serta penetapan suatu kebijakan.

Budaya korup ini merupakan bukti nyata bahwa warisan dari sistem pemerintahan otoriter telah menjadi suatu gaya kepemimpinan dan telah merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan rakyat di negeri ini. Sehingga, tentu tidak salah jika ada beberapa teman di luar negeri sana, yang kebetulan pasti bukan warga negara Indonesia menjuluki atau menamai Indonesia sebagai negara kleptokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar