Rabu, 09 Mei 2012

Ekonomi-Politik Bahan Bakar Nabati


Ekonomi-Politik Bahan Bakar Nabati
Khudori; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
 Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
SUMBER :  KORAN TEMPO, 08 Mei 2012


Cadangan terbukti minyak Indonesia 4,04 miliar barel, gas alam 188 triliun cubic feet, dan batu bara 57 miliar ton. Dengan tingkat produksi saat ini, Indonesia masih bisa bertumpu pada bahan bakar fosil 180-200 tahun lagi. Yang kritis tentu minyak. Dengan pengurasan seperti saat ini, tanpa temuan cadangan baru, cadangan hanya bertahan 12 tahun. Namun, hakikatnya, Indonesia memiliki ”keterbatasan” sumber energi fosil. Untuk membangun ketahanan energi yang kuat, mustahil Indonesia bertumpu pada sumber energi yang terbatas dan tak bisa diperbarui seperti energi fosil.

Karena itu, semua kebijakan dan pengelolaan energi di semua tingkatan, termasuk pengguna, harus mengacu pada efisiensi, diversifikasi, konservasi, dan lingkungan. Sayangnya, kita tak hanya lamban menyadari bahwa keberlanjutan kehidupan serta pembangunan hanya bisa ditopang oleh energi baru dan terbarukan, tetapi kita juga tidak pernah memiliki komitmen yang kuat dan konsistensi untuk mengembangkannya.

Sejumlah negara telah membangun ketahanan energi jauh-jauh hari. Brasil telah mengekspor surplus produksi bahan bakar etanol dari kebun tebunya. Denmark beroleh listrik yang seperlimanya dari tenaga angin. India, di samping penghasil gasohol, juga memanfaatkan tenaga angin, biogas, biomassa, dan belakangan menanam besar-besaran jarak pagar. Afrika Selatan, yang sempat diembargo puluhan tahun lalu, berswasembada dengan mencairkan batu bara yang menghasilkan avtur, bensin, diesel, dan minyak tanah. Cina, dengan cadangan migas terbatas, mulai mencairkan batu bara kualitas rendah untuk menghasilkan BBM. Melalui China National Offshore Oil Corporation, Cina amat gesit membeli berbagai perusahaan energi dan migas milik negara lain, termasuk milik AS.

Masa depan ketahanan energi Indonesia bukan di energi fosil, melainkan pada energi baru dan terbarukan. Salah satunya bahan bakar nabati (BBN). Secara politik, landasan pengembangan BBN cukup kuat. Pertama, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Ketiga, Instruksi Presiden Nomor 1/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan BBN sebagai Bahan Bakar Lain. Keempat, sebagai implementasi UU Nomor 30/2007, dibentuk Dewan Energi Nasional. Kelima, Kementerian ESDM membentuk Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi. Semua itu menunjukkan komitmen politik para petinggi negeri ini untuk mengembangkan BBN.

Menurut cetak biru pengembangan bahan bakar nabati, BBN diarahkan pada biopremium (dari tebu dan singkong), biosolar (sawit, kelapa, dan jarak pagar), biooil, dan biokerosene. Sejak 20 Mei 2006, Pertamina memasarkan Biopremium E-5 (5 persen bioetanol + 95 persen Premium) dan Biosolar B-5 (5 persen biodiesel + 95 persen solar). Pengembangan BBN saat itu mendapatkan momentum kenaikan harga BBM yang tinggi. Namun absennya komitmen dan konsistensi implementasi kebijakan membuat pengembangan BBN layu. Kini, Biopremium tak ditemukan lagi. Tinggal Biosolar. Itu pun terbatas, baik jumlah maupun cakupan wilayah.

Secara ekonomi, kalkulasi pengembangan BBN amat menarik. Data Departemen Perhubungan menunjukkan, pada 2010 konsumsi Premium dan solar mencapai 33,34 dan 30,4 juta kiloliter. Cetak biru pengembangan BBN menargetkan, pada 2025 ada pengurangan konsumsi BBM nasional minimal 10 persen, dan BBN memberi kontribusi sedikitnya 5 persen pada energi mix primer. Misalnya, substitusi Premium oleh biopremium. Dengan asumsi tidak ada tambahan kapasitas kilang, sekitar 50 persen atau 16,67 juta kiloliter kebutuhan Premium pada 2010 harus diimpor. Jika 1 persen konsumsi 2010 dipenuhi dari biopremium, dibutuhkan 333,4 juta liter biopremium. Angka ini membutuhkan 2 juta ton singkong per tahun atau 100 ribu hektare perkebunan singkong (asumsi produktivitas 20 ton per hektare).

Padahal, satu hektare kebun singkong intensif perlu 110-125 hari kerja orang. Biopremium itu bisa dipenuhi 3-10 pabrik yang akan menciptakan lapangan kerja lebih dari 2.000 orang. Substitusi 1 persen berarti 333,4 juta liter impor minyak Premium terhindarkan. Dengan asumsi harga minyak di pasar US$ 25 sen per liter, berarti US$ 83,35 juta bisa dihemat. Multiplier effect ini tidak akan tercipta jika kita mengimpor. Itu baru 1 persen, bagaimana jika 5 persen atau 10 persen? Belum lagi potensi substitusi solar, kerosene, atau minyak bakar.

Di luar itu, masih terbuka peluang kita meraih pendapatan dari penurunan emisi lewat Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). Dari budi daya 10 juta hektare jarak pagar, diproyeksikan dana MPB US$ 800 juta per tahun. Dana yang diperoleh kian besar apabila kelapa sawit, tebu, singkong, dan tanaman lain penghasil BBN diusahakan dalam luasan signifikan. Memanfaatkan MPB tak ubahnya menanam pohon uang yang terus berbuah. Kalkulasi ini berujung di satu titik: BBN bisa menjadi jawaban masalah energi kita. Solusi ini sekaligus mengatasi multikrisis: krisis energi, membuka lapangan kerja baru, mengentaskan masyarakat miskin, memulihkan jutaan hektare lahan kritis dan tata air.

Namun masa depan BBN sebagai substitusi energi fosil bergantung pada bagaimana pemerintah meregulasi sektor energi. Salah satunya soal harga dan pasar. Amat tidak adil BBN yang ramah lingkungan, bersifat renewable dan menciptakan beragam multiplier effect harus bersaing dengan energi fosil yang disubsidi, mencemari lingkungan, dan non-renewable. Sebagai bagian penataan pasar dan harga, pemerintah sebaiknya menetapkan biosolar, biopremium, biokerosene, dan bio-oil sebagai bahan bakar public service obligation yang disubsidi. Agar bahan baku BBN domestik terjamin, perlu mewajibkan produsen BBN menyalurkan sebagian produknya untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Untuk mengakselerasi pertumbuhan industri BBN, pemerintah bisa memberikan insentif pajak, baik kepada produsen bahan baku maupun terhadap produk bahan baku biofuel. Tanpa itu semua, pengembangan BBN akan mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar