Ekonomi-Politik Bahan Bakar Nabati
Khudori; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan
Pangan Pusat (2010-2014)
SUMBER
: KORAN
TEMPO, 08 Mei 2012
Cadangan
terbukti minyak Indonesia 4,04 miliar barel, gas alam 188 triliun cubic feet, dan batu bara 57 miliar ton.
Dengan tingkat produksi saat ini, Indonesia masih bisa bertumpu pada bahan
bakar fosil 180-200 tahun lagi. Yang kritis tentu minyak. Dengan pengurasan
seperti saat ini, tanpa temuan cadangan baru, cadangan hanya bertahan 12 tahun.
Namun, hakikatnya, Indonesia memiliki ”keterbatasan” sumber energi fosil. Untuk
membangun ketahanan energi yang kuat, mustahil Indonesia bertumpu pada sumber
energi yang terbatas dan tak bisa diperbarui seperti energi fosil.
Karena
itu, semua kebijakan dan pengelolaan energi di semua tingkatan, termasuk
pengguna, harus mengacu pada efisiensi, diversifikasi, konservasi, dan
lingkungan. Sayangnya, kita tak hanya lamban menyadari bahwa keberlanjutan
kehidupan serta pembangunan hanya bisa ditopang oleh energi baru dan
terbarukan, tetapi kita juga tidak pernah memiliki komitmen yang kuat dan
konsistensi untuk mengembangkannya.
Sejumlah
negara telah membangun ketahanan energi jauh-jauh hari. Brasil telah mengekspor
surplus produksi bahan bakar etanol dari kebun tebunya. Denmark beroleh listrik
yang seperlimanya dari tenaga angin. India, di samping penghasil gasohol, juga
memanfaatkan tenaga angin, biogas, biomassa, dan belakangan menanam
besar-besaran jarak pagar. Afrika Selatan, yang sempat diembargo puluhan tahun
lalu, berswasembada dengan mencairkan batu bara yang menghasilkan avtur,
bensin, diesel, dan minyak tanah. Cina, dengan cadangan migas terbatas, mulai
mencairkan batu bara kualitas rendah untuk menghasilkan BBM. Melalui China
National Offshore Oil Corporation, Cina amat gesit membeli berbagai perusahaan
energi dan migas milik negara lain, termasuk milik AS.
Masa
depan ketahanan energi Indonesia bukan di energi fosil, melainkan pada energi
baru dan terbarukan. Salah satunya bahan bakar nabati (BBN). Secara politik,
landasan pengembangan BBN cukup kuat. Pertama, Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2007 tentang Energi. Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 5/2006 tentang Kebijakan
Energi Nasional. Ketiga, Instruksi Presiden Nomor 1/2006 tentang Penyediaan dan
Pemanfaatan BBN sebagai Bahan Bakar Lain. Keempat, sebagai implementasi UU
Nomor 30/2007, dibentuk Dewan Energi Nasional. Kelima, Kementerian ESDM
membentuk Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi. Semua itu
menunjukkan komitmen politik para petinggi negeri ini untuk mengembangkan BBN.
Menurut
cetak biru pengembangan bahan bakar nabati, BBN diarahkan pada biopremium (dari
tebu dan singkong), biosolar (sawit, kelapa, dan jarak pagar), biooil, dan
biokerosene. Sejak 20 Mei 2006, Pertamina memasarkan Biopremium E-5 (5 persen
bioetanol + 95 persen Premium) dan Biosolar B-5 (5 persen biodiesel + 95 persen
solar). Pengembangan BBN saat itu mendapatkan momentum kenaikan harga BBM yang
tinggi. Namun absennya komitmen dan konsistensi implementasi kebijakan membuat
pengembangan BBN layu. Kini, Biopremium tak ditemukan lagi. Tinggal Biosolar.
Itu pun terbatas, baik jumlah maupun cakupan wilayah.
Secara
ekonomi, kalkulasi pengembangan BBN amat menarik. Data Departemen Perhubungan
menunjukkan, pada 2010 konsumsi Premium dan solar mencapai 33,34 dan 30,4 juta
kiloliter. Cetak biru pengembangan BBN menargetkan, pada 2025 ada pengurangan
konsumsi BBM nasional minimal 10 persen, dan BBN memberi kontribusi sedikitnya
5 persen pada energi mix primer. Misalnya, substitusi Premium oleh biopremium.
Dengan asumsi tidak ada tambahan kapasitas kilang, sekitar 50 persen atau 16,67
juta kiloliter kebutuhan Premium pada 2010 harus diimpor. Jika 1 persen
konsumsi 2010 dipenuhi dari biopremium, dibutuhkan 333,4 juta liter biopremium.
Angka ini membutuhkan 2 juta ton singkong per tahun atau 100 ribu hektare
perkebunan singkong (asumsi produktivitas 20 ton per hektare).
Padahal,
satu hektare kebun singkong intensif perlu 110-125 hari kerja orang. Biopremium
itu bisa dipenuhi 3-10 pabrik yang akan menciptakan lapangan kerja lebih dari
2.000 orang. Substitusi 1 persen berarti 333,4 juta liter impor minyak Premium
terhindarkan. Dengan asumsi harga minyak di pasar US$ 25 sen per liter, berarti
US$ 83,35 juta bisa dihemat. Multiplier
effect ini tidak akan tercipta jika kita mengimpor. Itu baru 1 persen,
bagaimana jika 5 persen atau 10 persen? Belum lagi potensi substitusi solar,
kerosene, atau minyak bakar.
Di
luar itu, masih terbuka peluang kita meraih pendapatan dari penurunan emisi
lewat Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). Dari budi daya 10 juta hektare jarak
pagar, diproyeksikan dana MPB US$ 800 juta per tahun. Dana yang diperoleh kian
besar apabila kelapa sawit, tebu, singkong, dan tanaman lain penghasil BBN
diusahakan dalam luasan signifikan. Memanfaatkan MPB tak ubahnya menanam pohon
uang yang terus berbuah. Kalkulasi ini berujung di satu titik: BBN bisa menjadi
jawaban masalah energi kita. Solusi ini sekaligus mengatasi multikrisis: krisis
energi, membuka lapangan kerja baru, mengentaskan masyarakat miskin, memulihkan
jutaan hektare lahan kritis dan tata air.
Namun
masa depan BBN sebagai substitusi energi fosil bergantung pada bagaimana
pemerintah meregulasi sektor energi. Salah satunya soal harga dan pasar. Amat
tidak adil BBN yang ramah lingkungan, bersifat renewable dan menciptakan beragam multiplier effect harus bersaing dengan energi fosil yang
disubsidi, mencemari lingkungan, dan non-renewable.
Sebagai bagian penataan pasar dan harga, pemerintah sebaiknya menetapkan
biosolar, biopremium, biokerosene, dan bio-oil sebagai bahan bakar public service obligation yang
disubsidi. Agar bahan baku BBN domestik terjamin, perlu mewajibkan produsen BBN
menyalurkan sebagian produknya untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Untuk
mengakselerasi pertumbuhan industri BBN, pemerintah bisa memberikan insentif
pajak, baik kepada produsen bahan baku maupun terhadap produk bahan baku
biofuel. Tanpa itu semua, pengembangan BBN akan mati. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar