Momen
Kebangkitan Rakyat Desa
Sumaryoto
; Ketua
Dewan Pakar Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI),
Anggota
DPR Fraksi PDI Perjuangan
SUMBER
: SUARA
MERDEKA, 21 Mei 2012
BILA dulu, 20 Mei 1908, kebangkitan nasional
dimaknai sebagai bangkitnya wawasan kebangsaan, pemikiran, atau gagasan untuk
bersatu, menanggalkan perjuangan bersifat kedaerahan, menjadi satu nusa, satu
bangsa, dan satu bahasa yang kemudian melahirkan Soempah Pemoeda pada 28
Oktober 1928, dan berujung pada proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945,
kini bagaimana kita memaknai Harkitnas?
Tidak berlebihan kiranya bila kita maknai
Harkitnas sebagai momentum bagi rakyat di pelosok desa untuk bersama-sama
bangkit membangun NKRI. Harkitnas kita maknai sebagai hari kebangkitan rakyat desa
(harkitdes). Dari sekitar 230 juta rakyat Indonesia, 80 persen tinggal di desa
yang jumlahnya sekitar 5.000 desa di seluruh Indonesia. Bila semua rakyat desa
bangkit maka menjadi kekuatan luar biasa. Indonesia mengalami Harkitnas II
setelah Harkitnas I pada 20 Mei 1908.
Seperti disitir Prof Dr Haryono Suyono,
hari-hari menjelang dan sesudah Harkitnas ditandai banyaknya rakyat pedesaan
tingkat kabupaten dan kota bangkit secara gegap-gempita. Di Kabupaten Bangli,
Bali misalnya, seraya memperingati ulang tahun ke-808 daerah itu, bupati
meluncurkan program pemberdayaan keluarga berbasis banjar di seluruh desa dan
pedukuhan. Program ini sekaligus penjabaran Inpres Nomor 3 Tahun 2010 tentang
Program Pembangunan yang Berkeadilan. Tujuan utamanya mengentaskan masyarakat
dari kemiskinan dan melaksanakan secara tuntas program Millennium Development
Goals (MDG’s) yang seyogianya tuntas pada 2015.
Pada tahap awal, banjar sebagai suatu lembaga
pedesaan tradisional di Bali dijadikan pos pemberdayaan keluarga (posdaya) yang
dinamis. Program utamanya menyegarkan kembali budaya gotong-royong. Lantas,
diciptakan pendekatan unik di mana keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera
III plus dipadukan dalam kebersamaan sebagai nyama anyar atau saudara baru yang
saling peduli mengentaskan dari kemiskinan. Kalau perlu, mereka dibantu dengan
jasa pinjaman dari bank untuk membangun usaha ekonomi mikro.
Dalam skala tingkat provinsi, hal serupa
dilakukan di Sumatera Barat. Gubernur didukung sejumlah perguruan tinggi
mendeklarasikan pembangunan posdaya di seluruh nagari dan jorong-jorong.
Posdaya yang sebagian telah terbentuk di berbagai kabupaten dan kota itu
menjadi forum silaturahmi dan pusat pendorong motivasi masyarakat.
Untuk mempersiapkan dukungan yang luas, enam
rektor perguruan tinggi lengkap dengan jajaran LPM-nya mengikuti pelatihan
instruktur untuk segera bergerak membantu camat dan aparat nagari membentuk
posdaya. Program yang dicanangkan berupa aktivitas kesehatan masyarakat agar
penduduk Sumbar sehat dan berumur panjang. Dengan badan yang sehat, mereka
tentu aktif berpartisipasi dalam pembangunan.
Maju
Seandainya apa yang dilakukan di Bangli dan
Sumbar itu dicontoh daerah-daerah lain, dengan memberdayakan dan membangkitkan
rakyat pedesaan, niscaya Indonesia yang maju dan sejahtera bukan sekadar mimpi
belaka. Indonesia akan benar-benar bangkit.
Tahun 2012 ini hendaknya dijadikan momentum
bagi rakyat pedesaan di Indonesia untuk bangkit dan mengentaskan diri dari
kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan. Apalagi tahun ini DPR akan
mengesahkan RUU Desa, yang menjadi payung hukum bagi keberadaan desa di seluruh
Indonesia.
Undang-Undang Desa tersebut kelak akan
memperkuat otonomi desa, dan otonomi desa membutuhkan berbagai prakarsa lokal,
gerakan bersama, komitmen politik, dan kebijakan pemerintah. Apa yang terjadi
di Bangli dan Sumbar merupakan prakarsa lokal, dan bila hal ini diikuti
daerah-daerah lain, sekali lagi Indonesia benar-benar bangkit yang ditopang
oleh kebangkitan rakyat desa.
Dalam konteks ini, selaku Ketua Dewan Pakar
Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI), penulis mengajak seluruh anggota
untuk mendeklarasikan kebangkitan rakyat desa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar