Selasa, 22 Mei 2012

Bangun dari Kebangkrutan


Bangun dari Kebangkrutan
Munawir Aziz ; Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS)
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM)
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 21 Mei 2012


PADA hari terakhir sidang BPUPK, 1 Juni 1945, Soekarno berpidato di hadapan seluruh anggota forum yang menggagas konsep dasar negara Indonesia. Pada hari itu, Sang Putra Fajar mengungkapkan bahwa Indonesia didirikan tak hanya untuk satu golongan namun buat Indonesia, untuk semua.

Bung Karno berujar lantang,” Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua. Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua.”

Sidang BPUPK, 29 Mei-1 Juni 1945 memutuskan konsep dasar falsafah negara, yang selama ini kita kenal sebagai Pancasila. Pada hari bersejarah itulah, diputuskan konsep dan landasan falsafi bernegara dan berbangsa. Pancasila lahir dari perumusan dan perdebatan panjang, yang disarikan dari sejarah panjang keindonesiaan, jauh menelusup pada akar kebudayaan Nusantara, dengan merangkum keyakinan agama, pandangan 
sosial, etika politik, dan mimpi masa depan untuk merdeka.

Pada hari kebangkitan nasional, tuah pancasila, ingatan heroik perjuangan founding fathers, dan ritus kemerdekaan lainnya, berseberangan dengan kisah-kisah korup di panggung penguasa, kekerasan atas nama agama, dan sejuta kasus pelik yang dihadapi warga negeri ini: dari Sabang sampai Merauke.

Lalu, bagaimana memaknai kebangkitan nasional di tengah negeri yang sedang terluka?
Momentum reformasi pada 1998, sebagai titik balik peradaban politik dan kebudayaan Indonesia, yang membuka ruang lengsernya Soeharto dari tampuk kuasa.

Juga membawa implikasi terbukanya keran informasi, kebebasan berpendapat, dan tumbuh kelompok dengan ragam ideologi dan kepentingan yang berbeda dari kultur masyarakat Indonesia.

Pada ranah agama, menguatnya fundamentalisme di satu sisi, dan liberalisme di sisi lain, juga menjadi tantangan bagi konsep keagamaan moderat yang berpihak pada tradisi Nusantara. Ranah politik dan ekonomi Indonesia juga mengalami goncangan, hukum tertikam, dan rakyat menjerit menjadi korban.

Lewat Optimisme

Pada titik inilah, nilai-nilai keindonesiaan mendapat tantangan dan kritik. Tragedi September 1965 merupakan cobaan dahsyat dan nilai Pancasila yang baru satu dekade dirumuskan. Namun, perdebatan mendasar pada awal perumusan Pancasila, yang merupakan tantangan dan tonggak penting  tentang impian masa depan Indonesia.

Di tengah kemelut perjuangan kemerdekaan, untuk menyemai dan mempercepat ide prosesi kedaulatan negara, Soekarno membentuk panitia kecil, panitia sembilan, yang bertugas menyusun rancangan UUD, dan di dalamnya termuat dasar negara.

Konsepsi NKRI telah final, dengan persetujuan dan harapan dari figur lintas agama, etnis, dan golongan. Konsepsi ketuhanan ini dalam kenyataannya masih menjadi perdebatan dan menuai tantangan, terutama dari kelompok Salafi, yang berusaha membangun negara Islam di negeri ini.

Merefleksikan kebangkitan nasional di tengah negeri yang dikepung egoisme, korupsi, dan kekerasan di berbagai ranah, perlu untuk kembali pada nilai-nilai dasar keindonesiaan.

Menyegarkan kembali tafsir kita atas ideologi negara dengan merujuk nilai-nilai keindonesiaan merupakan peristiwa penting.

Refleksi moral dan mental atas tujuan kemerdekaan Indonesia, perlu ditampilkan untuk melawan penyelewengan kekuasaan, kekerasan atas nama agama, kelompok ataupun etnis.

Serta, tak lupa, menggerakkan optimisme warga negeri ini, dengan energi kreatif di tengah kepungan benalu dan kemalasan di Indonesia. Jika tidak, tak pernah ada kebangkitan nasional, yang muncul justru kebangkrutan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar