Bangun
dari Kebangkrutan
Munawir
Aziz ; Mahasiswa
Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS)
Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM)
SUMBER
: SUARA
MERDEKA, 21 Mei 2012
PADA hari terakhir sidang BPUPK, 1 Juni 1945,
Soekarno berpidato di hadapan seluruh anggota forum yang menggagas konsep dasar
negara Indonesia. Pada hari itu, Sang Putra Fajar mengungkapkan bahwa Indonesia
didirikan tak hanya untuk satu golongan namun buat Indonesia, untuk semua.
Bung Karno berujar lantang,” Kita mendirikan
negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua. Bukan
Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo
buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia,
semua buat semua.”
Sidang BPUPK, 29 Mei-1 Juni 1945 memutuskan
konsep dasar falsafah negara, yang selama ini kita kenal sebagai Pancasila.
Pada hari bersejarah itulah, diputuskan konsep dan landasan falsafi bernegara
dan berbangsa. Pancasila lahir dari perumusan dan perdebatan panjang, yang
disarikan dari sejarah panjang keindonesiaan, jauh menelusup pada akar
kebudayaan Nusantara, dengan merangkum keyakinan agama, pandangan
sosial, etika
politik, dan mimpi masa depan untuk merdeka.
Pada hari kebangkitan nasional, tuah
pancasila, ingatan heroik perjuangan founding fathers, dan ritus kemerdekaan
lainnya, berseberangan dengan kisah-kisah korup di panggung penguasa, kekerasan
atas nama agama, dan sejuta kasus pelik yang dihadapi warga negeri ini: dari
Sabang sampai Merauke.
Lalu, bagaimana memaknai kebangkitan nasional
di tengah negeri yang sedang terluka?
Momentum reformasi pada 1998, sebagai titik
balik peradaban politik dan kebudayaan Indonesia, yang membuka ruang lengsernya
Soeharto dari tampuk kuasa.
Juga membawa implikasi terbukanya keran
informasi, kebebasan berpendapat, dan tumbuh kelompok dengan ragam ideologi dan
kepentingan yang berbeda dari kultur masyarakat Indonesia.
Pada ranah agama, menguatnya fundamentalisme
di satu sisi, dan liberalisme di sisi lain, juga menjadi tantangan bagi konsep
keagamaan moderat yang berpihak pada tradisi Nusantara. Ranah politik dan
ekonomi Indonesia juga mengalami goncangan, hukum tertikam, dan rakyat menjerit
menjadi korban.
Lewat
Optimisme
Pada titik inilah, nilai-nilai keindonesiaan
mendapat tantangan dan kritik. Tragedi September 1965 merupakan cobaan dahsyat
dan nilai Pancasila yang baru satu dekade dirumuskan. Namun, perdebatan
mendasar pada awal perumusan Pancasila, yang merupakan tantangan dan tonggak penting
tentang impian masa depan Indonesia.
Di tengah kemelut perjuangan kemerdekaan,
untuk menyemai dan mempercepat ide prosesi kedaulatan negara, Soekarno
membentuk panitia kecil, panitia sembilan, yang bertugas menyusun rancangan
UUD, dan di dalamnya termuat dasar negara.
Konsepsi NKRI telah final, dengan persetujuan
dan harapan dari figur lintas agama, etnis, dan golongan. Konsepsi ketuhanan
ini dalam kenyataannya masih menjadi perdebatan dan menuai tantangan, terutama
dari kelompok Salafi, yang berusaha membangun negara Islam di negeri ini.
Merefleksikan kebangkitan nasional di tengah
negeri yang dikepung egoisme, korupsi, dan kekerasan di berbagai ranah, perlu
untuk kembali pada nilai-nilai dasar keindonesiaan.
Menyegarkan kembali tafsir kita atas ideologi
negara dengan merujuk nilai-nilai keindonesiaan merupakan peristiwa penting.
Refleksi moral dan mental atas tujuan
kemerdekaan Indonesia, perlu ditampilkan untuk melawan penyelewengan kekuasaan,
kekerasan atas nama agama, kelompok ataupun etnis.
Serta, tak lupa, menggerakkan optimisme warga
negeri ini, dengan energi kreatif di tengah kepungan benalu dan kemalasan di
Indonesia. Jika tidak, tak pernah ada kebangkitan nasional, yang muncul justru
kebangkrutan nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar