Selasa, 22 Mei 2012

Kembali Menggugat RSBI


Kembali Menggugat RSBI
Ari Kristianawati ; Guru SMA Negeri 1 Sragen
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 21 Mei 2012


KRITIK terhadap keberadaan lembaga pendidikan berlabel rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) tak kunjung surut, bahkan seperti kembali mengemuka seiring dengan masa penerimaan siswa baru. Salah satu poin penting kritik menyebut sekolah itu gagal meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Realitasnya justru menjadi berbiaya mahal, eksklusif, dan ironisnya mutu berjalan di tempat.

Sekolah berstatus RSBI yang mendapat kucuran anggaran khusus dari APBN dalam bentuk hibah, bantuan keuangan, atau block grant, dari tahun ke tahun tidak berkembang secara siginifikan. Satire dan kritik atas eksistensi sekolah itu bisa dipetakan menjadi beberapa hal.

Pertama; RSBI menjelma menjadi diskriminasi pendidikan yang berlandaskan liberalisme. Kehadirannya sebagai instrumen mengungkit kualitas pendidikan nasional agar bisa menyaingi kualitas pendidikan negara lain hanyalah pepesan kosong. Kehadirannya, hanyalah epigonisme kebijakan pendidikan yang kebarat-baratan.

Yuyun Kusdianto, alumnus Departemen Antropologi Australian National University (2010) menyebut sekolah RSBI di Indonesia hanya mencerminkan sikap inferior pendidikan kita. Di negara maju, termasuk Australia, tidak ada sekolah unggulan berlabel internasional, justru banyak sekolah unggulan berbahasa pengantar bahasa nasional.

Kedua; RSBI di banyak daerah gagal mengembangkan potensi diri karena faktor kultur, struktural, dan politis. Faktor kultur karena mayoritas guru lama memiliki motivasi mengajar yang sudah menurun, dan kecakapan keilmuannya tak lagi updatable. Kultur di banyak RSBI adalah feodalisme, dan birokratisme, sedikit yang mengembangkan kultur pendidikan demokratik dan mencerahkan.

Hambatan struktural di berbagai RSBI adalah adanya intervensi kepentingan birokrasi terhadap manajemen anggaran sekolah. Secara politis sekolah tersebut sekadar untuk menaikkan gengsi daerah agar mendapatkan pencitraan sebagai daerah yang produk pendidikannya maju. Sekolah tersebut identik dengan prestise daerah.

Ketiga; eksistensinya lebih bersifat ideologis, artinya tidak lebih dari bagian komoditas politik pendidikan yang berwatak neoliberal. Sekolah itu seperti komoditas yang ditawarkan pemerintah agar dipandang menjalankan kebijakan liberal.

SMK Kejuruan

Apakah bisa menyimpulkan sekolah model baru itu gagal? Gagal atau tidak, bergantung pada cakrawala pemikiran yang dianut. Banyak sekolah tersebut di berbagai kota yang mengalami kejumudan, berkembang tidak mati pun tidak, dalam capaian kualitatif dan kuantitatif. Sekolah itu sekadar instrumen mengeruk uang masyarakat dan anggaran pemerintah.

Namun kita tak boleh memungkiri beberapa sekolah RSBI hadir menjadi sekolah unggulan dengan karya tertentu. Terutama SMK kejuruan, yang produk kreatifnya bisa diapresiasi masyarakat. Alumninya membuktikan bisa menjadi tenaga terampil, sukses berwirausaha dengan bekal kompetensi dari bangku sekolah.

Ada pula beberapa hal yang absurd sebagai syarat administratif akreditasi RSBI agar meningkat statusnya menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI). Bahwa jumlah tenaga pendidik (guru)bergelar S-2 di sekolah RSBI minimal 40%. Akibatnya guru mengejar gelar di berbagai program studi pascasarjana lewat berbagai cara.  

Gagasan pemerhati pendidikan Darmaningtyas agar sekolah model baru itu dihentikan memiliki logika yang masuk akal. Menurut dia sekolah RSBI ibarat sekolah-sekolah bikinan kolonial Belanda pada awal abad ke-20 sebagai perwujudan politik etis dan kebijakan liberal. Sekolah itu identik dengan HBS atau HIS yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.

Benarlah apa yang menjadi pemikiran pemerhati kritis dunia pendidikan bahwa kita tidak perlu rintisan sekolah bertaraf internasional tapi cukup sekolah bermutu, berbiaya terjangkau, dan tenaga pendidiknya insan cendekia berintegritas tinggi, serta gemar memburu ilmu bukan gelar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar