Kembali
Menggugat RSBI
Ari
Kristianawati ; Guru SMA Negeri 1 Sragen
SUMBER
: SUARA
MERDEKA, 21 Mei 2012
KRITIK terhadap keberadaan lembaga pendidikan
berlabel rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) tak kunjung surut,
bahkan seperti kembali mengemuka seiring dengan masa penerimaan siswa baru.
Salah satu poin penting kritik menyebut sekolah itu gagal meningkatkan kualitas
pendidikan nasional. Realitasnya justru menjadi berbiaya mahal, eksklusif, dan
ironisnya mutu berjalan di tempat.
Sekolah berstatus RSBI yang mendapat kucuran
anggaran khusus dari APBN dalam bentuk hibah, bantuan keuangan, atau block grant, dari tahun ke tahun tidak
berkembang secara siginifikan. Satire dan kritik atas eksistensi sekolah itu
bisa dipetakan menjadi beberapa hal.
Pertama; RSBI menjelma menjadi diskriminasi
pendidikan yang berlandaskan liberalisme. Kehadirannya sebagai instrumen
mengungkit kualitas pendidikan nasional agar bisa menyaingi kualitas pendidikan
negara lain hanyalah pepesan kosong. Kehadirannya, hanyalah epigonisme
kebijakan pendidikan yang kebarat-baratan.
Yuyun Kusdianto, alumnus Departemen
Antropologi Australian National University (2010) menyebut sekolah RSBI di
Indonesia hanya mencerminkan sikap inferior pendidikan kita. Di negara maju,
termasuk Australia, tidak ada sekolah unggulan berlabel internasional, justru
banyak sekolah unggulan berbahasa pengantar bahasa nasional.
Kedua; RSBI di banyak daerah gagal
mengembangkan potensi diri karena faktor kultur, struktural, dan politis.
Faktor kultur karena mayoritas guru lama memiliki motivasi mengajar yang sudah
menurun, dan kecakapan keilmuannya tak lagi updatable. Kultur di banyak RSBI
adalah feodalisme, dan birokratisme, sedikit yang mengembangkan kultur
pendidikan demokratik dan mencerahkan.
Hambatan struktural di berbagai RSBI adalah
adanya intervensi kepentingan birokrasi terhadap manajemen anggaran sekolah.
Secara politis sekolah tersebut sekadar untuk menaikkan gengsi daerah agar
mendapatkan pencitraan sebagai daerah yang produk pendidikannya maju. Sekolah
tersebut identik dengan prestise daerah.
Ketiga; eksistensinya lebih bersifat
ideologis, artinya tidak lebih dari bagian komoditas politik pendidikan yang
berwatak neoliberal. Sekolah itu seperti komoditas yang ditawarkan pemerintah
agar dipandang menjalankan kebijakan liberal.
SMK
Kejuruan
Apakah bisa menyimpulkan sekolah model baru
itu gagal? Gagal atau tidak, bergantung pada cakrawala pemikiran yang dianut.
Banyak sekolah tersebut di berbagai kota yang mengalami kejumudan, berkembang
tidak mati pun tidak, dalam capaian kualitatif dan kuantitatif. Sekolah itu
sekadar instrumen mengeruk uang masyarakat dan anggaran pemerintah.
Namun kita tak boleh memungkiri beberapa
sekolah RSBI hadir menjadi sekolah unggulan dengan karya tertentu. Terutama SMK
kejuruan, yang produk kreatifnya bisa diapresiasi masyarakat. Alumninya
membuktikan bisa menjadi tenaga terampil, sukses berwirausaha dengan bekal
kompetensi dari bangku sekolah.
Ada pula beberapa hal yang absurd sebagai
syarat administratif akreditasi RSBI agar meningkat statusnya menjadi sekolah
bertaraf internasional (SBI). Bahwa jumlah tenaga pendidik (guru)bergelar S-2
di sekolah RSBI minimal 40%. Akibatnya guru mengejar gelar di berbagai program
studi pascasarjana lewat berbagai cara.
Gagasan pemerhati pendidikan Darmaningtyas
agar sekolah model baru itu dihentikan memiliki logika yang masuk akal. Menurut
dia sekolah RSBI ibarat sekolah-sekolah bikinan kolonial Belanda pada awal abad
ke-20 sebagai perwujudan politik etis dan kebijakan liberal. Sekolah itu
identik dengan HBS atau HIS yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.
Benarlah apa yang menjadi pemikiran pemerhati
kritis dunia pendidikan bahwa kita tidak perlu rintisan sekolah bertaraf internasional
tapi cukup sekolah bermutu, berbiaya terjangkau, dan tenaga pendidiknya insan
cendekia berintegritas tinggi, serta gemar memburu ilmu bukan gelar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar