Memperkuat Koalisi Buruh
Rekson Silaban, Aktivis
Buruh dan Direktur Labor Institute for Alternative Policy
SUMBER
: KOMPAS, 01 Mei 2012
Sudah 14 tahun Indonesia meratifikasi
Konvensi ILO Nomor 87 tentang kebebasan berserikat buruh. Sepanjang periode
itu, banyak hal yang telah dicapai gerakan buruh Indonesia.
Kebebasan itu telah menghasilkan beberapa
capaian positif, meski di sisi lain juga masih membutuhkan perbaikan.
Tidak bisa dimungkiri, gerakan buruh telah
membaik dibandingkan era sebelumnya. Berbagai aksi buruh pascareformasi bahkan
telah menelurkan beberapa kebijakan ”pro-buruh”. Di antaranya, perubahan upah
minimum dari kebutuhan fisik minimum menjadi kebutuhan hidup minimum, terakhir
diubah lagi dengan kebutuhan hidup layak. Upah minimum yang dulu naik sekali
dua tahun, kini naik tiap tahun.
Lahirnya UU No 21/2000 tentang Serikat
Pekerja/Buruh juga menjadi bukti kuatnya peran serikat dalam memengaruhi isi UU
tersebut. Indonesia menjadi negara yang paling liberal di ASEAN dalam hal
kebebasan berserikat. Kalau panduan Organisasi Buruh Internasional (ILO)
merekomendasikan batas minimum 20 orang untuk membentuk serikat, di Indonesia
hanya dengan 10 buruh bisa membentuk serikat.
Selanjutnya, lahirnya UU No 40/2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)—sekalipun pelaksanaannya terlambat—telah
membuat buruh kelak punya akses ke perawatan kesehatan seumur hidup dan
memiliki jaminan pensiun seperti pegawai negeri. Terakhir, serikat buruh
semakin mendapat tempat sebagai salah satu kelompok penekan atas kebijakan
ketenagakerjaan. Suara serikat buruh tidak lagi diremehkan seperti masa Orde
Baru.
Dari beberapa capaian di atas, tentu saja masih
banyak kelemahan yang mestinya segera dibenahi. Sebagai ”gerakan”, misi utama
sebuah serikat adalah menciptakan kehidupan yang lebih baik buat konstituennya,
buruh, dan rakyat lainnya. Justru di sinilah mulai persoalannya, sebab ternyata
kebebasan berserikat yang dimiliki buruh Indonesia tidak paralel dengan
membaiknya kesejahteraan buruh. Serikat hanya berhasil menambah kesejahteraan
anggotanya.
Masih Parsial
Laporan Bank Dunia Jakarta 2010 menunjukkan,
anggota serikat buruh memperoleh upah dan tunjangan 18 persen lebih tinggi
daripada non-anggota. Artinya, serikat buruh sejauh ini hebat dalam memperbaiki
tingkat kesejahteraan anggotanya, tetapi masih lemah melindungi kesejahteraan
buruh secara keseluruhan.
Dalam hal pencapaian hidup layak, secara umum
nasib buruh terus memburuk. Sekalipun jumlah penganggur terbuka turun (6,3
persen), buruh informal, penganggur terselubung, buruh kontak, meningkat setiap
tahun. Saat ini jumlahnya 70 juta. Buruh yang masuk jaminan sosial tenaga kerja
(jamsostek) juga masih 9 juta dari 33 juta angkatan kerja formal. Belum lagi
diteliti angka kecelakaan kerja, diskriminasi, dan ketidakpatuhan hukum.
Mengapa kebebasan berserikat yang luas hanya
mampu menunjukkan efek positif terhadap perjuangan buruh di tingkat pabrik,
tetapi tidak berkorelasi positif terhadap perbaikan kebijakan makro? Ternyata,
jawabannya adalah akibat gerakan buruh absen pada tiga hal pokok yang penting.
Pertama, belum adanya kekuatan serikat buruh
dominan atau absennya koalisi gerakan buruh sebagai kekuatan penyeimbang
kekuatan sistem kapitalis. Di banyak negara yang memiliki sistem pluralisme
penuh (unlimited union system), sebuah serikat buruh sulit dominan akibat
tingginya fragmentasi dan konflik horizontal antarserikat akibat perebutan
anggota. Jadi, pilihan yang tersedia untuk menguatkan gerakan buruh adalah
menyatukan beberapa serikat buruh yang sehaluan.
Koalisi tersebut harus mewakili jumlah massa
buruh yang relatif besar, karena koalisi hanya bermanfaat apabila didukung
kekuatan massa dalam melakukan perubahan kebijakan. Namun, ide penyatuan semua
serikat buruh hanya bagus di tingkat wacana, secara operasional sulit dicapai.
Ini akibat masih tingginya persaingan, saling curiga, intervensi politik, ego
personal. Maka, penulis hanya merekomendasikan koalisi terbatas dari beberapa
serikat yang sehaluan.
Kedua, akibat masih lemahnya kapasitas
pemimpin buruh memperkenalkan solusi alternatif. Minimnya iuran membuat
kapasitas serikat terbatas dalam melakukan riset atau menggaji seseorang untuk
membantu membuat analisis. Maka yang muncul adalah buruh yang galak, menolak,
tetapi tanpa alternatif.
Koalisi akan meningkatkan kekuatan finansial
serikat, yang selanjutnya bisa mendirikan divisi analisis kebijakan profesional
seperti lazimnya dilakukan serikat buruh negara lain.
Ketiga, belum ada rumusan strategi koalisi
yang efektif dengan partai politik. Untuk efektivitas perjuangan perubahan
sistem, serikat buruh harus berkoalisi dengan partai politik. Beberapa
pengalaman internasional bisa dijadikan rujukan yang sesuai dengan situasi
Indonesia.
Membentuk sebuah partai buruh bukanlah
pilihan tepat, sebab pengalaman internasional menunjukkan bahwa sebuah partai
buruh hanya bisa sukses apabila tersedia kondisi sebagai berikut. Ada satu
serikat buruh dominan, jumlah buruh yang tergabung ke serikat buruh pada
kisaran 30-50 persen, dan mayoritas buruh bekerja di sektor industri ketimbang
sektor pertanian. Contoh sukses ini bisa dilihat di Inggris, Australia, Brasil,
dan Polandia. Karena kondisi itu belum tersedia di Indonesia, serikat bisa
mempertimbangkan koalisi dengan partai secara permanen.
Serikat buruh memilih partai tertentu untuk
memperjuangkan amanat politik serikat dalam perubahan undang-undang. Semakin
tinggi upaya partai memperjuangkannya, semakin tinggi upaya serikat
mengampayekan partai tersebut untuk menang.
Cara itu bisa dilihat praktiknya di Amerika
Serikat, antara serikat buruh AFL-CIO dan Partai Demokrat. Demikian pula
serikat buruh Jerman, DGB, dengan Partai Sosial Demokrat. Serikat buruh
Belanda, FNV, dengan Partai Sosial Demokrat. Serikat buruh Jepang, JTU Rengo,
dengan Partai Demokrat. Kalau ini pun tidak cocok, serikat buruh bisa memilih
tanpa koalisi. Artinya, melindungi buruh dengan menjaga jarak dari semua
partai. Ini sebuah pilihan aman. Tidak ada beban moral sekalipun tidak banyak
kebijakan yang bisa diubah.
Untuk negara di kawasan ASEAN, tidak ada yang
bisa ditiru dalam hal model pembentukan koalisi. Hal ini disebabkan mayoritas
serikat buruh di negara-negara ASEAN terkooptasi politik pemerintah. Atas
alasan stabilitas ekonomi, serikat buruh bahkan nyaris tak pernah berunjuk rasa
di Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Brunei, Laos, dan Myanmar.
Hambatan Koalisi
Kesulitan menghadirkan koalisi sebenarnya
tidak saja datang dari pemimpin buruh, tetapi
juga akibat longgarnya aturan
perundangan tentang kebebasan berserikat. Untuk membentuk sebuah federasi
nasional hanya dibutuhkan empat syarat: ada konstitusi, tiga sektor industri
sebagai anggota afiliasi, nama pengurus, dan alamat kantor.
Secara teori, syarat ini bisa dipersiapkan
dalam satu hari. Setelah mendaftar, 14 hari kemudian akan lahir sebuah serikat
buruh baru. Setelah terdaftar pun, tidak perlu direpotkan dengan verifikasi
karena verifikasi komprehensif tidak pernah berlangsung sebagai akibat dari
tidak utuhnya data dari dinas tenaga kerja daerah ke kementerian tenaga kerja
pusat.
Aturan main untuk menjadi serikat buruh
nasional, provinsi, kabupaten/kota juga tidak jelas. Setiap buruh bebas mau
jadi pemimpin nasional tanpa syarat berapa jumlah anggota yang dimiliki dan
tingkat penyebaran di provinsi. Ini berbeda dengan UU Organisasi Kemasyarakatan
(UU No 8/1985), yang mewajibkan keberadaan cabang di setengah tambah satu
provinsi.
Tidak adanya keharusan ini membuat setiap
orang yang kecewa atau tidak terpilih saat kongres terdorong membentuk serikat
baru. Pemerintahlah yang akhirnya direpotkan oleh banyaknya serikat buruh,
padahal situasi terjadi akibat minimnya aturan pembentukan serikat.
Bahkan, apabila pemerintah mau melakukan
kajian terhadap keberadaan 102 serikat saat ini, mungkin hanya 30 persen yang
benar-benar mematuhi ketentuan perundangan dan patuh terhadap konstitusi
sendiri.
Banyak serikat tidak menjalankan kongres
sesuai kalender konstitusi, alamat kantor tidak jelas, tidak punya perjanjian
kerja bersama, dan anggota minim, tetapi tetap ada.
Maka, pemerintah perlu mengkaji dan
selanjutnya menetapkan mana serikat aktif dan pasif. Dengan demikian, buruh dan
publik paham dengan siapa mereka berhubungan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar