Selasa, 01 Mei 2012

Orientasi Gerakan Buruh


Orientasi Gerakan Buruh
Surya Tjandra, Dosen Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta
SUMBER : KOMPAS, 01 Mei 2012


Hari Buruh Sedunia, 1 Mei, kembali dirayakan di Indonesia. Daripada menerima undangan presiden, para pemimpin organisasi buruh memilih mengerahkan 100.000 anggotanya ke jalanan. Kalau ini terwujud, jadilah peringatan Hari Buruh Sedunia terbesar di negeri ini pascareformasi.

Richard Hyman (2001), yang menganalisis perkembangan serikat buruh di Eropa, menyebutkan ada tiga tipe gerakan serikat buruh berdasarkan orientasinya: pasar, kelas, dan sosial.

Serikat buruh yang berorientasi pasar memosisikan buruh sebagai aktor ekonomi yang memperjuangkan capaian-capaian ekonomis, seperti kesejahteraan anggota. Ini yang umumnya dicapai, khususnya melalui perundingan kolektif.

Serikat buruh yang berorientasi kelas melihat serikat buruh sebagai kendaraan untuk memperjuangkan kelas dan peran mereka. Mereka mempromosikan kepentingan-kepentingan terkait kedudukan buruh dan menginginkan suatu transformasi dalam masyarakat secara cepat.

Serikat buruh berorientasi sosial atau masyarakat melihat serikat buruh sebagai aktor sosial dan memperjuangkan peran konstruktif buruh dalam masyarakat. Caranya adalah dengan menguatkan suara kaum buruh dalam masyarakat yang lebih luas dan bertindak sebagai kekuatan integrasi sosial, moral, dan politik.

Seperti dijelaskan Hyman, pada praktiknya tiga tipe ideal ini sering tumpang tindih dan tercampur meski menggabungkan ketiganya hampir tidak mungkin dalam satu serikat. Seperti dicatat Howard Gospel (2008), tipologi Hyman ini lebih ditujukan untuk memetakan arah gerakan serikat buruh.

Kondisi Indonesia

Indonesia pernah memiliki serikat buruh yang berorientasi kelas, khususnya pada era Demokrasi Terpimpin melalui Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Ketika Orde Baru berkuasa, serikat buruh berorientasi kelas ini dibasmi secara brutal, yang melahirkan trauma sejarah panjang hingga sekarang.

Serikat buruh lalu digiring untuk melulu berorientasi ekonomis, mulai dengan penyatuan serikat buruh yang tersisa dari huru-hara 1965 ke dalam Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) dan kemudian menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

Sepanjang Orde Baru, serikat buruh juga dilemahkan secara sosial maupun politik, tetapi ada kompensasi berupa perlindungan hukum dan fasilitas yang lumayan dari negara. Sistem perizinan untuk pemutusan hubungan kerja (PHK) dan ketentuan upah minimum regional yang efektif awal 1980-an adalah contohnya.

Untuk operasional serikat, pemerintah mengeluarkan ketentuan check off system dalam bentuk Keputusan Menteri Tenaga Kerja, di mana iuran serikat bisa langsung dipotong dari gaji oleh perusahaan ke rekening kantor dinas tenaga kerja, untuk kemudian didistribusikan kepada serikat di tingkat perusahaan.

Fasilitas kantor pun diberikan. Pada beberapa tempat, kantor SPSI adalah bangunan milik pemerintah yang dipinjamkan tanpa batas waktu. Belakangan dana buruh yang terkumpul di PT Jamsostek juga dimanfaatkan untuk memberikan fasilitas kepada pimpinan buruh maupun bantuan operasional lainnya.

Namun, fasilitas ini harus dibayar dengan posisi SPSI yang menjadi sekadar stempel kebijakan pemerintah Orde Baru. Inilah yang menghasilkan deorganisasi dan depolitisasi besar-besaran terhadap gerakan serikat buruh di Indonesia.

Reformasi

Reformasi menghasilkan peluang baru bagi berkembangnya gerakan serikat buruh di negeri ini. UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh memberi dasar hukum pembentukan serikat buruh yang relatif mudah, mendorong menjamurnya berbagai serikat buruh, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Masalahnya, pengakuan pemerintah ini tidak lantas membuat pengusaha juga mau mengakui keberadaan serikat buruh. Pengawasan yang lemah mendorong pelanggaran hak berserikat terjadi tanpa hukuman. Serikat buruh praktis sulit melaksanakan perundingan kolektif ketika pengusahanya menolak.

Mencermati itu, gerakan serikat buruh yang berkembang pascareformasi mulai bersiasat. Mereka makin sadar perjuangan untuk kesejahteraan anggotanya tidak bisa dilakukan hanya di tingkat pabrik, tetapi juga harus diperjuangkan dalam ranah publik. Maka, turun ke jalan menjadi salah satu pilihan.

Penetapan upah minimum, misalnya, yang adalah mekanisme publik, bagi buruh merupakan pintu masuk perjuangan sesungguhnya untuk perundingan upah di perusahaan. Banyak perusahaan multinasional yang, meski telah memiliki sistem remunerasi yang baik, tetap saja mengacu pada upah minimum untuk menghitung kenaikan upah buruhnya.

Ini sebetulnya yang melatarbelakangi demonstrasi besar-besaran buruh Bekasi beberapa waktu lalu. Unjuk rasa itu telah memaksa Menko Perekonomian turun tangan untuk sebuah penetapan upah minimum tingkat kabupaten.

Pergeseran gerakan serikat buruh ”dari pabrik ke publik” ini, mengutip kalimat seorang pemimpin buruh, kemudian mendorong munculnya kesadaran baru akan peran buruh bagi masyarakat. Upah, misalnya, tidak melulu soal buruh, tetapi juga soal daya beli masyarakat.

Jaminan sosial

Pada konteks inilah lahir Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), sebuah aliansi non-struktural berbagai organisasi buruh dan masyarakat. Mereka berjuang mendorong pelaksanaan sistem jaminan sosial secara menyeluruh, seperti diamanatkan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Dengan tekanan aksi ribuan buruh yang didukung sebagian anggota parlemen, media massa, ataupun individu, akhirnya pemerintah pun terpaksa menerima pengesahan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), tahun 2011. Ini yang menjadi dasar hukum lebih konkret pelaksanaan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kemenangan-kemenangan kecil ini, seperti UU BPJS, kenaikan upah minimum di beberapa daerah, terutama Bekasi, meningkatkan kepercayaan diri serikat buruh. Namun, yang lebih penting lagi, semua itu mengindikasikan pergeseran orientasi gerakan serikat buruh dari melulu ekonomis menjadi juga sosial.

Pergeseran ini menarik karena untuk pertama kalinya gerakan serikat buruh Indonesia menunjukkan orientasi sosial, sebagai alternatif dari orientasi pasar yang mendominasi orientasi gerakan serikat buruh di era Orde Baru hingga reformasi.

Perhatian gerakan serikat buruh pada masyarakat ini juga penting karena secara langsung melawan kecenderungan ekonomi pasar neoliberal yang mendominasi negeri ini, yang terutama ditandai oleh pengalihan risiko dari bisnis dan negara kepada individu anggota masyarakat sendiri. Adopsi kebijakan neoliberal tanpa diimbangi gerakan menuju institusionalisasi dan perlindungan sosial hanya akan mengancam kebaikan masyarakat dan individu di dalamnya.

Belajar dari negara Eropa dan Asia Timur yang lebih dulu maju daripada Indonesia, gerakan serikat buruh punya potensi untuk menjadi kekuatan pengimbang. Ini terutama dengan adanya orientasi sosial dan ekonomis. Dalam konteks ini, kita menyambut partisipasi gerakan serikat buruh yang lebih maju.  Selamat Hari Buruh Sedunia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar