Gizi,
MDGs, dan Kesehatan Global
Siti
Nuryati ; Penerima
Penghargaan Menko Kesra RI atas Gagasan Pengentasan Kemiskinan dan Kearifan
Lokal (2008), Alumnus Pascasarjana Gizi Masyarakat IPB
SUMBER
: SINAR
HARAPAN, 23 Mei 2012
Ada dua komitmen global yang penting untuk
dicermati kembali dalam konteks pembangunan gizi dan kesehatan di Indonesia.
Komitmen yang pertama adalah gizi dan Millenium Development Goals (MDGs).
Komitmen kedua adalah promosi kesehatan sebagai strategi global. Dua komitmen
ini merupakan ukuran keberpihakan negara kepada rakyatnya agar memiliki
kemampuan dalam mengakses pangan yang sehat dan bergizi.
Pada 2004, Standing Committee Nutrition (SCN) dari PBB menetapkan status gizi
sebagai indikator kunci untuk tujuan pertama MDGs, yakni memerangi kemiskinan
dan kelaparan (gizi kurang). Jika dicermati, enam dari delapan tujuan MDGs
terkait erat dengan gizi, kesehatan, dan pendidikan.
Pertama, memberantas kemiskinan dan
kelaparan/kurang gizi. Kedua, mengurangi angka kematian bayi/anak. Ketiga,
meningkatkan kesehatan gizi. Keempat, memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit
menular lainnya. Kelima, pendidikan dasar sembilan tahun bagi semua. Keenam,
kesetaraan gender.
Terkait komitmen global kedua, yaitu promosi
kesehatan, maka ia merupakan komitmen global menuju rakyat sehat. Kesehatan
adalah persoalan dasar/asasi. Piagam Ottawa (1986) menyebutkan bahwa sehat
bukanlah tujuan hidup, tetapi sehat adalah alat untuk hidup produktif.
Dengan demikian paradigma pembangunan
kesehatan yang lebih mengutamakan upaya promotif-preventif, di samping upaya
kuratif-rehabilitatif menjadi penting untuk dikedepankan. Sejak Konferensi Alma
Alta (1978) yang menghasilkan deklarasi pelayanan kesehatan dasar, peranan
promosi kesehatan diakui sangat penting dalam mencapai kesehatan bagi semua
orang.
Sayangnya, kemampuan Indonesia untuk
merealisasikan target MDGs juga komitmen promosi kesehatan sangat diragukan.
Sejumlah kalangan secara terang-terangan menyatakan Indonesia tak mungkin
mencapai target-target MDGs. Data menunjukkan, hingga 11 tahun MDGs
dicanangkan, pencapaian Indonesia atas sejumlah target masih sangat lambat
bahkan cenderung mundur untuk target tertentu. Dalam Laporan Tahunan
Pembangunan Manusia (Human Development
Report) bertajuk Beyond Scarcity:
Power, Poverty, and the Global Water Crisis, posisi Indonesia kian anjlok.
Sebagai contoh, kasus kematian ibu dalam
proses melahirkan masih tertinggi di Asia. Rasio kematian balita pun masih
tinggi. Di sejumlah daerah seperti Sulawesi Barat, Maluku, Gorontalo, Sulteng,
Papua, dan NTT kasus kematian ibu dan balitanya masih tinggi. Pencegahan
penyebaran HIV/AIDS pun belum menunjukkan hasil berarti. Alih-alih, kian tahun
menurutn, jumlah penderita HIV/AIDS justru terus meningkat.
Kemiskinan dan kelaparan sebagai penderitaan
tertua terus menjadi mimpi buruk bagi bangsa ini. Jumlah penduduk miskin di
negeri ini tak bergeser dari angka puluhan juta. Kelaparan pun masih nyata di
negeri yang kaya akan sumber daya alam ini. Kisah-kisah memilukan tentang
saudara kita yang kelaparan masih sering terdengar. Belum lagi soal akses air
bersih yang tak kalah parahnya.
Saat ini hanya 47,73 persen rumah tangga yang
memiliki akses terhadap air layak minum dan hanya 51,19 persen yang memiliki
akses sanitasi layak.
Kemerosotan kualitas hidup manusia Indonesia
juga ditunjukkan dalam laporan regional pencapaian MDGs Asia Pacific oleh
ADB-UNDP-UNESCAP. Dalam laporan tersebut, Indonesia ditempatkan pada peringkat
terburuk negara-negara yang terancam gagal mencapai target MDGs tahun 2015
bersama Bangladesh, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, dan
Filipina. Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah meningkatkan anggaran untuk
kemiskinan dari tahun ke tahun. Namun, berbagai program pengentasan kemiskinan
tak efektif menurunkan angka kemiskinan.
Klaim pemerintah yang menyatakan pencapaian
MDGs sudah “on the track” hanya
mengacu pada angka statistik, yang kontradiktif dengan fakta di lapangan. Di
sisi lain perspektif pemerintah dalam pencapaian MDGs sebatas proyek dan tidak
berbasis perspektif pembangunan. Bahkan wakil presiden sendiri pernah
mengungkapkan berat dalam pencapaian MDGs, terutama di bidang kesehatan dan
lingkungan.
Fakta memang menunjukkan angka kematian ibu
melahirkan masih tinggi, yaitu 228 kematian per 100.000 kelahiran. Sulit
mencapai angka 102 kematian per 100.000 kelahiran. Tingkat keteraksesan
sanitasi dan air bersih rakyat pun sangat kurang. Tidak sampai separuh orang
Indonesia yang bisa menikmati air minum bersih (perpipaan) berdasarkan kategori
MDGs. Selama ini dari sumur
memang bisa, tapi dilihat jarak antara sumur dan kakus jelas akan memengaruhi sanitasi serta kualitas air bersihnya.
memang bisa, tapi dilihat jarak antara sumur dan kakus jelas akan memengaruhi sanitasi serta kualitas air bersihnya.
Anggaran Terbatas
Alasan keterbatasan anggaran dari APBN tidak
masuk akal. Perspektif MDGs sebatas proyek dari luar negerilah yang membuat
pemerintah seakan terus mengeluhkan hal itu. Dalam APBN, jelas mata anggaran
yang terkait dengan MDGs seperti di bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan.
Sayangnya APBN untuk sektor-sektor itu tidak dijadikan mainstream.
Paramater kemiskinan di Indonesia juga tidak
lagi relevan. Acuan Badan Pusat Statistik hanya pendapatan US$ 1,24 per hari.
Ukuran pendapatan tidak cukup dijadikan parameter kemiskinan. Indikator lain
seperti keteraksesan pendidikan, kesehatan, rasa aman dan lingkungan bersih
juga harus dibuat. Pemerintah didesak untuk menjadi APBN sebagai alat untuk
percepatan MGDs yang konkret.
Di bidang pendidikan ketika diklaim angka
usia sekolah pendidikan dasar mencapai 95 persen, sayangnya tidak berbanding
lurus dengan tingkat keaksaraan. Anak lulusan sekolah dasar di Papua saja belum
bisa membaca. Pencapaian janganlah sekadar kuantitas tapi harus fokus pula pada
kualitas.
Para pengamat bahkan mengatakan, pemerintah
sudah terlambat dalam upaya pencapaian MDGs. Untuk mencapainya, perlu melakukan
program yang sistematis dan komprehensif serta melibatkan banyak sektor.
Mereka meragukan Indonesia bisa mencapai
MDGs, mengingat layanan kesehatan di daerah terpencil masih sangat terbatas dan
lilitan kemiskinan sangat memengaruhi. Layanan kesehatan reproduksi pun baru
mulai bergerak sehingga sudah terlambat untuk mengejar target tersebut.
Tercapainya MDGs dari sisi pencegahan penularan tuberkulosis (TB) juga
diragukan.
Banyak yang meragukan pencapaian target MDGs, terutama karena inisiatif yang dibangun oleh negara maju bertolak belakang dengan realitas yang sesungguhnya. Untuk menyukseskan pencapaian target MDGs dibutuhkan dana sekitar US$ 100 miliar per tahunnya, maka di tahun ke-11 perjalanan menuju 2015 ini pemerintah negara maju seharusnya sudah mengeluarkan sekitar US$ 1.100 miliar ke negara berkembang.
Banyak yang meragukan pencapaian target MDGs, terutama karena inisiatif yang dibangun oleh negara maju bertolak belakang dengan realitas yang sesungguhnya. Untuk menyukseskan pencapaian target MDGs dibutuhkan dana sekitar US$ 100 miliar per tahunnya, maka di tahun ke-11 perjalanan menuju 2015 ini pemerintah negara maju seharusnya sudah mengeluarkan sekitar US$ 1.100 miliar ke negara berkembang.
Namun realitasnya dana bantuan yang terkumpul
dari negara maju tak lebih dari US$ 100 miliar. Di samping itu, proyek MDGs
menggunakan pendekatan top down yang
melupakan akar dari ketidakadilan yang sebenarnya.
Dengan demikian, akankah penyelesaian
persoalan gizi, kecukupan pangan, dan kesehatan masih bisa bertumpu dari dua
komitmen global tersebut? ●
Nice info..
BalasHapus