Kamis, 24 Mei 2012

Kembalikan Kedaulatan Ekonomi Bangsa


Kembalikan Kedaulatan Ekonomi Bangsa
Hamli Syaifullah ; Mahasiswa Perbankan Syariah FAI-UMJ
Serta Aktif di Basis Syariah Economic Campus UMJ
SUMBER :  SUARA KARYA, 22 Mei 2012


Kedaulatan ekonomi bangsa Indonesia agaknya tengah berada pada titik nadir yang sangat mengkhawatirkan. Negara yang seharusnya mampu mempertahankan aset bangsa dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, seolah-olah tidak berdaya dan tidak mampu menghadapi tawaran pemodal asing. Dengan diiming-iming peningkatan dan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri, namun pada akhirnya berujung pada penguasaan aset bangsa oleh pemodal asing.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin karena bangsa kita hanya disibukkan oleh pertikaian elite politik yang tidak berkesudahan. Politik yang seharusnya memberikan manfaat untuk kepentingan masyarakat luas (komunal), kini beralih fungsi karena lebih mengedepankan kepentingan kelompok berbasis partai, atau kepentingan partai.

Alhasil, terjadilah korupsi di hampir seluruh elemen masyarakat atau korupsi berjamaah yang pada akhirnya telah menjadi permasalahan krusial bangsa saat ini. Kondisi seperti ini ternyata tidak disia-siakan oleh para pemodal asing. Mereka, layaknya memancing di air keruh, beramai-ramai datang ke Indonesia yang seolah-olah menjanjikan dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi itu pun sebenarnya hanya semu dan malah menciptakan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, sehingga yang kaya semakin kaya dan si miskin bertambah miskin.

Mari kita menilik sepintas beberapa perusahaan asing, dalam hal ini adalah perusahaan Malaysia yang beroperasi di Indonesia. Entah didapat dari akuisisi, merger ataupun take over dengan rata-rata kepemilikan mereka di atas 50 persen terhadap perusahaan di Indonesia. Sebut saja, CIMB Niaga yang sahamnya lebih dari 95 persen dimiliki oleh Malaysia, BII Maybank, XL Axiata, Air Asia, Sime Darby, Plus Ekpres, Proton, maupun ICB Bumi Putera.

Ditambah lagi, dengan pengambil-alihan ratusan ribu hektar lahan sawit di Sumatera yang dibeli lewat aset sitaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). (Suara Karya, 26/04) Perusahaan Malaysia pun seperti merajalela atas perusahaan di negeri ini.

Selain itu, negara kita juga tidak mampu menentukan nilai harga komoditas ekspor yang akan dikirimkan ke luar negeri. Salah satu contoh yang akhir-akhir ini banyak menuai kritik dari beberapa ahli adalah ketidakmampuan Indonesia menguasai harga timah di pasar global. Indonesia sebagai eksportir timah terbesar seolah-olah seperti pedagang asongan yang tidak memiliki bargaining position ketika menghadapi pembeli timah luar negeri.

Padahal, masalah ini telah ditegaskan oleh pelaksanaan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 7/2012 sebagai bentuk upaya meningkatkan nilai tambah hasil tambang yang berdampak positif pada pendapatan negara. Dengan adanya smelter untuk hasil tambang, terutama timah dan emas, posisi tawar Indonesia di pasar global akan sangat menentukan. (Sinar Harapan, 21-22/04) Namun, yang sangat disayangkan, mengapa kita sebagai negara penghasil timah terbesar tidak bisa memainkan harga pasar dunia?

Sebenarnya masih banyak lagi contoh yang tidak dapat dikemukakan satu per satu yang memperlihatkan betapa negara masih lemah dalam mengelola perekonomian. Intinya adalah hilangnya kedaulatan ekonomi yang menjadi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Oleh sebab itu, kita sebagai bangsa yang berdaulat sudah semestinya segera memperbaiki kedaulatan ekonomi kita, seperti yang diamanatkan oleh konstitusi, yaitu untuk memajukan kesejahtraan umum. Kemudian, dipertegas lagi dalam pasal 33 ayat 2 dan 3 bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan, yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Jadi, sudah saatnya kedaulatan ekonomi yang semakin hari semakin melenceng dari amanat konstitusi kembali direbut melalui kekuatan bersama pemerintah dan rakyat. Artinya, pemerintah melalui kebijakan dan regulasinya dalam menata perekonomian nasional harus senantiasa sesuai prinsip konstitusi. Jadi, segala regulasi yang dikeluarkan ataupun yang masih hendak dikeluarkan oleh pemerintah, haruslah mengacu pada konstitusi, bukan malah pro kepada kapitalisme seperti dilaksanakan oleh pemerintah akhir-akhir ini.

Lantas bagaimana apabila dikaitkan dengan penguasaan aset negara oleh pemodal asing? Tentunya sangat bertentangan sekali dengan amanat konstitusi apabila bangsa Indonesia tidak mendapatkan kesejahtraan dari penanaman modal asing. Itu dibuktikan dengan tidak adanya peningkatan berarti kesejahteraan rakyat yang malah makin miskin sementara mereka (perusahaan asing) justru semakin menguasai aset bangsa. Indonesia seperti dininabobokan oleh angka-angka pertumbuhan ekonomi yang tidak memiliki dampak signifikan terhadap kesejahtraan rakyat.

Dalam hal ini, sudah pada tempatnya kembali kita menumbuh-kembangkan kecintaan terhadap produk Indonesia sendiri. Kecintaan kita terhadap produk dalam negeri akan mempercepat proses distribusi ekonomi. Sehingga, proses distribusi ekonomi ini akan berimplikasi signifikan terhadap pemerataan (equality), pertumbuhan (growth), dan stabilistas ekonomi (stability), yang pada ahirnya akan mampu mengembalikan kedaulatan ekonomi bangsa Indonesia secara perlahan-lahan.

Oleh karena itu, bertepatan dengan hari kebangkitan nasional sudah saatnya bangsa kita merebut kembali kedaulatan ekonomi yang kecenderungannya dikuasai asing. Jika tidak, bangsa kita hanya akan menjadi pasar bagi produk asing, dan ekonomi kita hanya menjadi termarginalkan oleh ekonomi bangsa asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar