Kembalikan
Kedaulatan Ekonomi Bangsa
Hamli
Syaifullah ; Mahasiswa Perbankan Syariah
FAI-UMJ
Serta Aktif di Basis Syariah Economic Campus UMJ
Serta Aktif di Basis Syariah Economic Campus UMJ
SUMBER
: SUARA
KARYA, 22 Mei 2012
Kedaulatan ekonomi bangsa Indonesia agaknya tengah berada pada
titik nadir yang sangat mengkhawatirkan. Negara yang seharusnya mampu
mempertahankan aset bangsa dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat,
seolah-olah tidak berdaya dan tidak mampu menghadapi tawaran pemodal asing.
Dengan diiming-iming peningkatan dan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri, namun
pada akhirnya berujung pada penguasaan aset bangsa oleh pemodal asing.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin karena bangsa kita hanya
disibukkan oleh pertikaian elite politik yang tidak berkesudahan. Politik yang
seharusnya memberikan manfaat untuk kepentingan masyarakat luas (komunal), kini
beralih fungsi karena lebih mengedepankan kepentingan kelompok berbasis partai,
atau kepentingan partai.
Alhasil, terjadilah korupsi di hampir seluruh elemen masyarakat
atau korupsi berjamaah yang pada akhirnya telah menjadi permasalahan krusial
bangsa saat ini. Kondisi seperti ini ternyata tidak disia-siakan oleh para
pemodal asing. Mereka, layaknya memancing di air keruh, beramai-ramai datang ke
Indonesia yang seolah-olah menjanjikan dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Namun, pertumbuhan ekonomi itu pun sebenarnya hanya semu dan malah menciptakan
jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, sehingga yang kaya semakin kaya
dan si miskin bertambah miskin.
Mari kita menilik sepintas beberapa perusahaan asing, dalam hal
ini adalah perusahaan Malaysia yang beroperasi di Indonesia. Entah didapat dari
akuisisi, merger ataupun take over dengan rata-rata kepemilikan
mereka di atas 50 persen terhadap perusahaan di Indonesia. Sebut saja, CIMB
Niaga yang sahamnya lebih dari 95 persen dimiliki oleh Malaysia, BII Maybank,
XL Axiata, Air Asia, Sime Darby, Plus Ekpres, Proton, maupun ICB Bumi Putera.
Ditambah lagi, dengan pengambil-alihan ratusan ribu hektar lahan
sawit di Sumatera yang dibeli lewat aset sitaan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN). (Suara Karya, 26/04) Perusahaan Malaysia pun seperti
merajalela atas perusahaan di negeri ini.
Selain itu, negara kita juga tidak mampu menentukan nilai harga
komoditas ekspor yang akan dikirimkan ke luar negeri. Salah satu contoh yang
akhir-akhir ini banyak menuai kritik dari beberapa ahli adalah ketidakmampuan
Indonesia menguasai harga timah di pasar global. Indonesia sebagai eksportir
timah terbesar seolah-olah seperti pedagang asongan yang tidak memiliki
bargaining position ketika menghadapi pembeli timah luar negeri.
Padahal, masalah ini telah ditegaskan oleh pelaksanaan Peraturan
Menteri (Permen) ESDM No 7/2012 sebagai bentuk upaya meningkatkan nilai tambah
hasil tambang yang berdampak positif pada pendapatan negara. Dengan adanya
smelter untuk hasil tambang, terutama timah dan emas, posisi tawar Indonesia di
pasar global akan sangat menentukan. (Sinar Harapan, 21-22/04) Namun, yang
sangat disayangkan, mengapa kita sebagai negara penghasil timah terbesar tidak
bisa memainkan harga pasar dunia?
Sebenarnya masih banyak lagi contoh yang tidak dapat dikemukakan
satu per satu yang memperlihatkan betapa negara masih lemah dalam mengelola
perekonomian. Intinya adalah hilangnya kedaulatan ekonomi yang menjadi
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh sebab itu, kita sebagai bangsa yang berdaulat sudah
semestinya segera memperbaiki kedaulatan ekonomi kita, seperti yang diamanatkan
oleh konstitusi, yaitu untuk memajukan kesejahtraan umum. Kemudian, dipertegas
lagi dalam pasal 33 ayat 2 dan 3 bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan, yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Jadi, sudah saatnya kedaulatan ekonomi yang semakin hari semakin
melenceng dari amanat konstitusi kembali direbut melalui kekuatan bersama
pemerintah dan rakyat. Artinya, pemerintah melalui kebijakan dan regulasinya
dalam menata perekonomian nasional harus senantiasa sesuai prinsip konstitusi.
Jadi, segala regulasi yang dikeluarkan ataupun yang masih hendak dikeluarkan
oleh pemerintah, haruslah mengacu pada konstitusi, bukan malah pro kepada
kapitalisme seperti dilaksanakan oleh pemerintah akhir-akhir ini.
Lantas bagaimana apabila dikaitkan dengan penguasaan aset negara
oleh pemodal asing? Tentunya sangat bertentangan sekali dengan amanat
konstitusi apabila bangsa Indonesia tidak mendapatkan kesejahtraan dari
penanaman modal asing. Itu dibuktikan dengan tidak adanya peningkatan berarti
kesejahteraan rakyat yang malah makin miskin sementara mereka (perusahaan
asing) justru semakin menguasai aset bangsa. Indonesia seperti dininabobokan
oleh angka-angka pertumbuhan ekonomi yang tidak memiliki dampak signifikan
terhadap kesejahtraan rakyat.
Dalam hal ini, sudah pada tempatnya kembali kita
menumbuh-kembangkan kecintaan terhadap produk Indonesia sendiri. Kecintaan kita
terhadap produk dalam negeri akan mempercepat proses distribusi ekonomi.
Sehingga, proses distribusi ekonomi ini akan berimplikasi signifikan terhadap
pemerataan (equality), pertumbuhan (growth), dan stabilistas ekonomi (stability), yang pada ahirnya akan mampu
mengembalikan kedaulatan ekonomi bangsa Indonesia secara perlahan-lahan.
Oleh karena itu, bertepatan dengan hari kebangkitan nasional sudah
saatnya bangsa kita merebut kembali kedaulatan ekonomi yang kecenderungannya
dikuasai asing. Jika tidak, bangsa kita hanya akan menjadi pasar bagi produk
asing, dan ekonomi kita hanya menjadi termarginalkan oleh ekonomi bangsa asing.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar