Senin, 07 Mei 2012

Laskar sebagai Benteng Perlawanan


Laskar sebagai Benteng Perlawanan
Mohamad Sobary; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia
SUMBER :  SINDO, 07 Mei 2012


Petani tembakau merupakan sasaran tak langsung, tapi tetap harus dibunuh seperti mereka berusaha dengan penuh kedengkian membunuh pabrik keretek di negeri ini. Di zaman modern ini cara membunuh lawan harus modern pula.

Kemajuan di dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan diplomasi canggih, yang begitu lembut dan simbolik, harus memberi manfaat nyata sehingga persaingan yang kejam dalam dunia bisnis ini masih akan terasa halus. Duit, dalam jumlah besar, ditawarkan sebagai insentif, dan seolah duit itu wujud kemuliaan surgawi. Pesan utamanya harus merupakan langkah membunuh keretek, dengan banyak cara, yang kelihatan halus dan diplomatis.

Jika perlu, rumuskanlah suatu program, yang isinya melindungi manusia, orang per orang, dan warga masyarakat pada umumnya. Basis programnya boleh sosial, boleh ekonomi, boleh pula kebudayaan, boleh rohaniah. Kesehatan masyarakat akan kedengaran menarik sebagai program. Dan akan kelihatan simpatik secara sosial.

Urusan agama, dan hokum halal-haram, menjadi sangat penting karena ini negeri yang dihuni mayoritas warga negara yang menunjung tinggi agama. Pemikiran ini strategis–– jika dijadikan langkah-langkah atau program lapangan, akan menjadi sangat gemilang. Maka membunuh keretek demi kepentingan asing, pengusaha asing, bangsa asing, yang sudah sangat lama ingin menguasai bisnis itu, akan menjadi sangat mudah.

Membunuh keretek hanya tinggal perkara waktu. Itu tidak lama. Langkah asing—yang melibatkan WHO—ini didukung banyak kalangan di dalam negeri. Pemerintah merupakan pendukung resmi dan paling utama. Mencekik pabrik keretek dengan menaikkan terus menerus cukai, yang tak akan terpikul oleh mereka, merupakan jalan terdepan.Ini jalan tol untuk membunuh pesaing, yaitu pabrik keretek dalam negeri ini.

Tapi, cukai dinaikkan terus hingga jumlah penerimaan negara mengerikan sekali kedengarannya, tapi pabrik tetap lestari. Seorang tokoh aktivis muda yang bersemangat, meminta cukai harus naik, naik lagi, naik lagi, dan seterusnya. Dia tahu, sampai di suatu titik, pabrik akan tak mampu dan gulung tikar. Dalam benak aktivis ini sudah terjangkit naluri membunuh, yang semula hanya ada di dalam benak pengusaha asing yang ingin menguasai keretek kita itu.

Baginya, duit asing disamakan dengan dana pembangunan. Dia bilang: negara saja hidup dengan bantuan dana asing.Maka apa salahnya kita menerima uang asing? Para ilmuwan, kaum cendekiawan, para profesional di bidang medis, politisi, dan sejumlah aktivis lainnya sependapat. Uang itu tak mengusik rasa aman, sikap etis, dan kebebasan mereka sebagai tokoh dalam masyarakat. Mereka tahu, uang bukan sekadar uang. Di balik nilai uang ada ideologi.

Mungkin ideologi asing, yang beroperasi di bidang bisnis, mungkin ideologi politik, yang hendak memenangkan perjuangan politik asing. Kenapa kita bersedia membela mereka, tak dipersoalkan. Ramai-ramai mereka meneriakkan regulasi pengendalian dampak tembakau tak bermaksud membunuh petani tembakau. Sikap ini dijeritkan lewat forum-forum seminar, lewat pengadilan, dan lewat media.

Tapi para petani tembakau, yang hidup di ladang dan tak pernah bersentuhan dengan politik dan media, mencemooh. “Mereka itu menggunakan logika apa?” kata seorang petani yang kritis, dalam pertemuan persiapan untuk mendeklarasikan laskar keretek beberapa hari yang lalu. “Kalau tak bermaksud membunuh petani tembakau, mengapa pemerintah—bahkan pemerintah daerah Jawa Tengah sendiri— menyuruh petani beralih ke tanaman lain, selain tanaman tembakau?

Pikiran aktivis macam apa kalau semangatnya berbohong, dan tak merasa berdosa menodai kehidupan petani, yang seharusnya mereka bela?” “Apakah dia berbohong betul?” “Sampean mau membelanya? Apa Sampeanjuga aktivis, yang berpikiran serupa?” “Dia tak bicara alih tanaman.” Jawab saya. “Memang tidak.Tapi mustahil dia tak tahu rangkaian program membunuh keretek itu.

Jika pabrik keretek dimatikan, siapa yang peduli terhadap petani tembakau? Untuk apa tembakau ditanam kalau pabrik keretek dimatikan?” Orang Jakarta tak sensitif terhadap kapasitas kaum tani— apa lagi kaum tani zaman ini— yang tangkas memberikan reaksi kritis. Di Temanggung beredar tembakau-tembakau dari daerah lain, yang buruk kualitasnya, tapi dimasukkan ke Temanggung untuk mengacaukan pasaran tembakau Temanggung yang bagus.

Kualitas tembakau setempat tinggi, dan petani mempertahankan kualitas itu agar penghasilan mereka tetap tinggi. Datangnya subversi dagang untuk mengacaukan kualitas tembakau setempat tak mengganggu sama sekali. Kualitas tak bisa disulap. Maka, orang pun menyebut tembakau tersebut sebagai tembakau “Temanggungan”. Jadi bukan tembakau Temanggung sungguhan.

Orang pintar yang culas, tidak jujur, dan dalam tindakannya sebagai orang sekolahan sengaja menyembunyikan suatu fakta tertentu demi keuntungan pribadinya di zaman ini mudah ketahuan. Orang biasa, seperti petani dan buruh yang tak pernah memperoleh pelayanan pendidikan secukupnya, toh tahu bahwa mereka diperlakukan tak adil. Maka itu, berteriaklah seribu kali sehari bahwa langkah kalian tak bermaksud membunuh petani tembakau, niscaya para petani itu tak akan mempercayai Anda.

Komunikasi yang tak terbuka, yang menyembunyikan suatu corak keculasan, apa pun kepentingannya, tak akan membuahkan saling pengertian dan “trust” yang dicita-citakan. Semodern apa pun langkah untuk membunuh keretek, dan sebanyak apa pun jumlah pendukung di dalam birokrasi dan di lapangan, semua akan ketahuan. Sepandai apa pun para aktivis yang mendukungnya, jika kepandaian itu tak berlandaskan kebenaran,apa pun langkahnya akan terbentur-bentur.

Perlawanan tulus para petani, yang mempertahankan hidupnya, yang dijamin di dalam hak asasi manusia,merupakan kebenaran yang menyilaukan. Mereka tulus dalam arti sebenarnya. Tak ada keculasan. Tak ada tipu daya. Kebutuhan mereka hanya bertahan hidup: sesuatu yang begitu mendasar, sedangkan para tokoh hebathebat di Jakarta bicara tentang logika yang tak bisa dinalar oleh petani.

“Orang pandai yang tak jujur, tak dihormati. Rohaniwan yang tak tulus, tak mendapat tempat di hati”. Maka itu, pelan-pelan para petani membuat persiapan. Mereka mengorganisasi diri. Tokoh-tokohnya memberi pengarahan: Kita berhimpun dalam laskar bukan untuk menyerang, bukan untuk berperang. Laskar kita hanya ibarat benteng. Kita bertahan. Benteng harus kuat. “Jika diserang” “Kita sudah terbiasa diserang.

Tapi, kita tak perlu balas menyerang. Kita bertahan dalam benteng kebenaran. Kita diam di balik benteng keadilan yang kita perjuangkan. Kejahatan asing, dibantu bangsa kita sendiri, boleh menyerang. Tapi kejahatan akan kita kalahkan. Kebenaran akan unggul, jika kita tulus, setulus-tulusnya, dalam perjuangan ini. “Jika keadaan memaksa, kita bergerak dengan lascar kita, dan melawan, dengan segenap keluhuran jiwa, yang sudah teruji berabad- abad di dalam hidup kaum tani.”  Pengarahan berakhir dan massa bubar. Pelan-pelan benteng perlawanan diperkukuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar