Perjudian Politik bagi Jokowi
Tjipto Subadi; Dosen Prodi
Pendidikan Geografi FKIP dan Program Pascasarjana
Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS)
SUMBER : SUARA
MERDEKA, 07 Mei 2012
"Keputusan maju dalam pilgub di DKI
sesungguhnya perjudian politik karena jika gagal, kariernya di pemerintahan
berakhir"
HASIL
terbaru survei Laboratorium FISIP Universitas Nasional (Unas) Jakarta yang
dilakukan di enam wilayah DKI (Jakarta Pusat, Utara, Selatan, Timur, Barat, dan
Kepulauan Seribu) yang diumumkan Rabu (2/5) menunjukkan popularitas pasangan
cagub Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini meningkat pesat dalam dua bulan
menjelang Pilgub DKI Jakarta, 11 Juli nanti.
Padahal
sebelumnya, duet Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) selalu unggul dalam
survei apa pun. Hasil survei Unas mengurutkan pasangan Hidayat-Didik (32,6
persen) di pengujung, disusul Foke-Nara (30,9 persen), dan Joko Widodo-Basuki
Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) dengan 28,20 persen suara.
Tiga
pasangan lainnya, yakni Alex Noerdin-Nono Sampono (Alex-Nono), Biem
Benyamin-Faisal Basri (Faisal-Biem), dan Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria
(Hendardji-Riza) tidak disebutkan karena hasilnya dianggap kurang signifikan.
Jadi, kita bisa memperkirakan pilgub nanti sesungguhnya hanya pertarungan tiga
pasang kandidat, meski diprediksi tak bisa satu putaran mengingat ada 6 pasang
kandidat dengan mensyaratkan minimal memperoleh 50 persen suara plus 1.
Seandainya
dua putaran, diprediksi yang maju Foke-Nara versus Hidayat-Didik atau Foke-Nara
melawan Jokowi-Ahok. Bahkan kemungkinan Foke-Nara kalah kalau lima pasang
cagub-cawagub bersatu mendukung pasangan Hidayat-Didik atau
Jokowi-Ahok.
PKS
sebagai basis dukungan massa dan mesin politik partai Hidayat cukup mengakar
dan solid. Apalagi partai itu memenangi Pemilu 2009 di DKI, dan nama Hidayat
sudah dikenal semasa menjadi Ketua MPR dan Presiden PKS. Foke, calon incumbent,
juga memiliki infrastruktur politik kuat serta tingkat elektabilitas dan
akseptabilitas tinggi. Dia dikenal sebagai birokrat senior pernah menjabat
sekda, wagub, dan gubernur.
Kompleksitas Problem
Adapun
Jokowi selain populer di media massa dan merakyat, ia memiliki keterampilan
politik cukup tinggi, mampu menjalin komunikasi politik dengan baik, memiliki
kemantapan stabilitas emosi, serta gaya kepemimpinan, penampilan fisik, dan
integritas moral tinggi. Dia juga menjadi nominasi wali kota terbaik di dunia,
versi The City Mayor Foundation.
Perebutan
kursi DKI-1 makin menarik mengingat peta kekuatan politiknya selalu
berubah-ubah dari waktu ke waktu, meski hanya berkutat pada tiga pasangan,
yakni Hidayat-Didik, Foke-Nara, dan Jokowi-Ahok. Sebanyak 6,2 juta pemilih DKI
menginginkan pemimpin yang bersih dari korupsi, memiliki loyalitas
tinggi, dan berkomitmen kuat membela rakyat kecil.
Pilgub
DKI menjadi tantangan berat bagi Jokowi, mengingat meski dikenal luas, ia belum
paham 100% kompleksitas utama persoalan Ibu Kota, seperti banjir, sampah, dan
kemacetan. Belum lainnya seperti persoalan transportasi, keamanan, premanisme,
anak jalanan, kemiskinan, kekumuhan, urbanisasi, pengangguran, PKL, dan
sebagainya.
Bila
Jokowi dianggap banyak pihak sukses memimpin Solo yang berpenduduk sekitar 0,5
juta jiwa dengan budaya Jawa yang santun, belum tentu bisa sukses memimpin
Jakarta yang wilayahnya jauh lebih luas, dengan beragam budaya, dengan
populasinya lebih dari 10 juta jiwa. Belum lagi pengelolaan APBD 2012 sebesar
Rp 36,2 triliun, mayoritas habis untuk gaji, tunjangan, dan honor pegawai.
Idealnya,
Jokowi bertarung di DKI tahun 2017 setelah menjajal Pilgub Jateng 2013. Bila
menang di Jateng dan sudah 4 tahun menjabat, bolehlah maju di Jakarta.
Keputusan maju dalam pilgub di DKI sesungguhnya perjudian politik karena jika
gagal, kariernya di pemerintahan berakhir.
Sebaliknya
jika berhasil, karier politiknya di tingkat nasional makin cemerlang, bahkan
tidak mustahil bisa masuk bursa kabinet. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar