Senin, 21 Mei 2012

Lady Gaga dan Batas Nalar


Lady Gaga dan Batas Nalar
Nova Riyanti Yusuf ;  Anggota Komisi IX DPR RI, Fraksi Partai Demokrat
SUMBER :  SINDO, 21 Mei 2012



Pada puncak kejayaan The Beatles di Inggris, sengaja beberapa kursi baris depan di setiap konser mereka dikosongkan untuk para penyandang cacat. Maksudnya, setelah pertunjukkan selesai, The Beatles akan turun dan menghampiri orang-orang tersebut dan menyembuhkan mereka.

Pernyataan John Lennon bahwa The Beatles lebih terkenal daripada Yesus sepertinya dipersepsikan kebablasan. Gambaran ini menunjukkan seolah- olah ketenaran adalah sebuah agama baru dan para pesohor adalah tuhan mereka. Seorang anggota parlemen dari Inggris (1987–1997) David Porter juga pernah menuliskan bahwa celebrity worship syndrome (CWS) adalah agama baru untuk banyak orang.

Istilah ini pertama kali muncul tahun 2003. Pada 2008 pernah diadakan survei guru-guru Inggris oleh Asosiasi Guru dan Dosen. Hasilnya ditemukan obsesi yang tidak sehat terhadap para pesohor/ketenaran. Pada 2004, majalah People menceritakan para penggemar fanatik yang nekat meniru idola mereka. Beberapa kasus unik peniruan antara lain pembesaran bokong mirip JLo, dagu belah seperti John Travolta, sampai dengan payudara berisi Britney Spears.

Apalagi sangat mudah mengikuti tingkah polah para pesohor sejak kehadiran internet. Berusaha menghentikan asupan gosip artis sama saja berusaha berhenti makan kembang gula di sebuah toko kembang gula. Memang, tidak semua orang mengimitasi para idola mereka. Tapi menurut seorang profesor psikologi di University of Pennsylvania, Fransisco Gil-White, dengan sudut pandang evolusi Darwinian sangatlah masuk akal untuk mengimitasi individu-individu yang mempunyai tingkat status lebih tinggi.

Bahkan menurut Gil-White, mengimitasi adalah salah satu dari hal tecerdas dan luar biasa yang bisa dilakukan homo sapiens (manusia). Sangat relevan untuk membahas (lagi) Lady Gaga yang oleh beberapa kelompok masyarakat ditolak untuk mengadakan konser di Jakarta, Indonesia. Termasuk Polda Metro Jaya yang menolak menerbitkan izin konser dengan tujuan untuk menjaga ketertiban masyarakat. Persepsi keharaman atas Lady Gaga karena beberapa hal.

Pertama, lirik lagu, musik, dan pemosisian diri sebagai setan yang mampu menghipnosis penonton menuju dunia lain, yaitu dunia setan. Kedua, menghina agama (Kristen, Islam, Buddha). Ketiga, penampilan vulgar seksual. Semua persepsi keharaman ini dikhawatirkan akan merusak akhlak bangsa karena terpengaruh aliran pemujaan setan.

Ini mengeksklusikan bahwa setiap manusia begitu unik sehingga terdapat kompleksitas individual dalam menerima informasi dari lingkungan dan memersepsikan objek. Ada sebuah kesan overgeneralisasi bahwa setiap calon penonton Lady Gaga akan kerasukan setan dan para calon penonton pun mungkin masih bertanya-tanya setan mana yang dipuja oleh Lady Gaga.

Ego Boundary

Mengapa ada orang yang “kerasukan” oleh idolanya tetapi ada juga yang biasa-biasa saja? Sebuah studi pernah dimuat dalam Journal of Youth and Adolescence (1996) dengan membandingkan tiga kelompok umur (10–11, 13–14, dan 16–17). Dalam konteks intensitas pengidolaan, manifestasi perilaku, alasan memilih idola tertentu, dan tingkat pengetahuannya tentang sang idola.

Hasil self-reports mengindikasikan bahwa fenomena pengidolaan diekspresikan terutama melalui pemujaan dan peniruan pada kelompok umur termuda dan menurun intensitasnya sesuai dengan usia yang makin dewasa. Juga ditemukan bahwa anak perempuan lebih mengidolakan penyanyi dibandingkan anak laki-laki. Menurut Paul Federn, Ego Boundary (sekatego) membedakan antara apa yang nyata dan tidak nyata.

Karena boundary bersifat fleksibel dan dinamis, akan bervariasi sesuai dengan tahapan ego. Ada dua ego boundary yang utama, yaitu bagian internal dan bagian eksternal. Ego boundary internal adalah boundary terhadap nirsadar yang terepresi. Ego boundary eksternal adalah boundary terhadap stimuli atau dunia eksternal,  termasuk pancaindera.

Efek Musik

Pada 1990 pernah dilakukan sebuah penelitian pada sejumlah anak SMP dan SMA di California Utara. Mereka ditanya, media apa yang akan mereka pilih jika mereka terdampar di sebuah pulau terpencil. Mereka boleh memilih tiga dari pilihan berikut: televisi, buku, video games, komputer, koran, video, majalah, radio, dan stereo. Pada semua tingkatan kelas, media musik (radio, stereo) lebih menjadi favorit dibandingkan televisi.

Secara sederhana, setiap orang pada usia berapa pun mendengarkan musik karena menyenangkan. Bagi remaja, kesenangan itu bisa begitu intens dan menjadi sebuah pengalaman puncak dalam hidup. Pernah sebuah definisi begitu magis menggambarkan musik, yaitu musik memberikan pengalaman ekstrem bagi sang pencipta dan para pendengar mengubah suasana emosi dalam bahaya, kerapuhan, kejayaan, perayaan, dan antagonisme hidup menjadi denyutan hipnosis-reflektif yang bisa dinikmati sendirian ataupun bersama-sama.

Dengan menyadari pentingnya musik dan peran sen-tralnya dalam kehidupan remaja, akan muncul juga berbagai efek musik pop yang dikhawatirkan merusak. Dalam polemik konser musik Lady Gaga, maka musik Lady Gaga terinklusi sebagai perusak. Sebuah jurnal ilmiah di Amerika Serikat menjelaskan tentang tiga fungsi utama musik, yaitu fungsi afektif, fungsi sosial, serta fungsi lirik. Tidak ketinggalan fungsi video klip juga menjadi perhatian.

Dari ketiga fungsi tersebut, beberapa studi menunjukkan bahwa efek utama dari musik adalah suara emosional dari musiknya dibandingkan dengan liriknya. Efek lirik musik yang mengandung kekerasan tidak lantas menjadikan remaja sebagai monster. Justru efek yang lebih kuat datang dari media visual seperti televisi yang menampilkan kekerasan. Remaja tidak mendengarkan musik untuk menganalisis lirik dan mempelajari perihal dunia, tetapi karena mereka menyukainya.

Musik pop juga bisa mendidik beberapa hal seperti memahami perasaannya, memfasilitasi interaksi sosial, dan sebagai medium dari fase perkembangan psikososial mereka— termasuk cinta,kesetiaan, independensi, perkawanan, otoritas—yang sifatnya lebih terbuka daripada orang-orang dewasa di sekitarnya.

Melihat kemampuan Lady Gaga mengguncangkan pemberitaan media massa dan menggarisbawahi bahan gunjingan di Indonesia, maka Lady Gaga sungguh seorang megabintang yang mampu mengacak- acak batas nalar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar