Senin, 21 Mei 2012

Lady Gaga dan Ketersentakan Budaya


Lady Gaga dan Ketersentakan Budaya
Abd. Sidiq Notonegoro ;  Dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik
SUMBER :  JAWA POS, 21 Mei 2012


RENCANA Lady Gaga menggelar konser musik di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) Senayan pada 3 Juni 2012 mendapat reaksi dari sejumlah ormas Islam di Indonesia sehingga terancam tidak memperoleh izin dari Mabes Polri. Salah satu alasan yang cukup mendasar ialah sosok Lady Gaga yang dinilai bisa merusak mental generasi muda.

Mungkin sebagian pihak menilai alasan tersebut berlebihan. Namun, bila diamati secara mendalam, alasan tersebut cukup logis pula. Mengapa? Mengamati video dan atau penampilan penyanyi yang berjuluk Mother Monster, hampir seluruhnya dominan menyuguhkan perilaku bebas yang sangat ekstrem hingga dalam tataran tertentu menerabas batas norma, baik budaya maupun agama.

Penolakan terhadap konser Lady Gaga ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Lady Gaga juga pernah ditolak oleh umat Kristen di Seoul, Korea Selatan. Seperti dilansir Washington Post, Minggu (22/4/2012), umat Kristen di Seoul berdoa di gereja memohon kepada Tuhan agar konser Lady Gaga yang rencananya bakal digelar di Olympic Stadium, Jumat (27/4/2012), batal. Alasan umat Kristiani tersebut ialah melindungi anak-anak muda di Seoul agar tidak tertular homoseksualitas dan pornografi dari Lady Gaga.

Alasannya ini, tampaknya, bisa dimengerti karena Lady Gaga sangat mendukung perilaku seks menyimpang seperti homoseksualitas, perilaku yang sangat dilarang dalam ajaran agama, baik Kristen maupun Islam. Tidak hanya di Korsel, penolakan juga terjadi di Malaysia maupun Hongkong.

Penolakan masyarakat di beberapa negara, tampaknya, memiliki benang merah, yaitu mencegah menyebarnya pengaruh Lady Gaga agar tidak meracuni mental spiritual dan moral generasi muda. Bisa dimaklumi, menurut versi majalah Time, Lady Gaga termasuk pula sebagai "100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia". Bahkan, dalam majalah Forbes, Lady Gaga termasuk "100 Selebriti Paling Berkuasa dan Berpengaruh di Dunia" dan mencapai nomor satu dalam daftar tahunan "100 Selebriti Paling Berkuasa".

Di sisi yang lain, dalam dunia panggung hiburan, Lady Gaga dikenal suka berpenampilan jorok, vulgar, dan mengumbar sahwat. Maka, apa jadinya bila sosok yang dicitrakan sebagai orang paling berpengaruh di dunia ini juga berpotensi memasarkan simbol-simbol ketidakbaikan ke kalangan generasi muda?

Dalam konteks Indonesia, penolakan terhadap konser Lady Gaga cukup bisa diterima akal sehat, bahkan bisa menjadi momentum kesadaran berbudaya. Kita seperti tersentak. Sang Lady tidak hanya berseberangan dengan nilai-nilai norma ketimuran dan nilai-nilai agama di Indonesia, namun juga realitas rawannya kita semua dari pengaruh-pengaruh buruk yang berupa budaya hedonisme-materialisme.

Tidak dipungkiri bahwa budaya konsumtif sudah merasuk dalam jadi diri sebagian masyarakat bangsa ini -khususnya di kalangan generasi muda- yang berpotensi menimbulkan kerusakan moral secara masif. Budaya konsumtif juga merambah ke dunia hiburan.

Diakui atau tidak, mayoritas generasi muda kita masih didominasi oleh generasi yang bermental suka meniru (imitasi). Mentalitas imitatif ini menjadikan kalangan generasi muda lebih terbuka untuk melakukan penjiplakan terhadap hal-hal yang bersifat simbolik-empirism. Terkait dengan Lady Gaga, misalnya, seberapa banyak generasi muda kita yang memiliki kemauan untuk melakukan gerakan amal?

Bandingkan dengan mereka yang cenderung hanya mampu mengadopsi gaya seronok dan vulgar Lady Gaga. Lebih konyol lagi, peniruan tersebut sering pula salah tempat. Contohnya: mengadopsi model kostum artis di atas panggung yang kemudian justru digunakan jalan-jalan ke pasar atau mal. Akibatnya, keseronokan pun menjadi tampak berceceran di mana-mana.

Tulisan ini tentu tidak kemudian bermaksud mendukung elemen-elemen ormas Islam yang menentang kehadiran Lady Gaga dengan melakukan aksi-aksi anarkistis yang justru kian mencoreng citra Islam di mata publik. Amar ma'ruf dan nahi munkar perlu dilakukan dengan sebijaksana-bijaksananya, seperti bersurat dan berdialog. Di sisi lain, yang paling penting adalah seberapa jauh para pengambil kebijakan di negeri ini sudi mendengarkan berbagai keluhan masyarakat, termasuk para ulama, terkait masalah ini. Tidak ada negara di dunia ini yang bebas segalanya.

Terakhir, perlu pula kesadaran para promotor konser artis-artis mancanegara -atau bahkan artis lokal-nasional. Penampilan artis lokal yang mengumbar hawa nafsu juga pantas dikoreksi. Dalam soal ini, harus ada garis merah, tidak peduli artis lokal atau asing. Janganlah hanya semata-mata karena ada peluang untuk meraup keuntungan material, kemudian mereka mengabaikan dampak buruk bagi masyarakat.

Marilah semua bertekad untuk menyelamatkan generasi muda negeri ini dari ambang kehancuran. Janganlah niat awal memberikan hiburan kepada bangsa, tetapi hasilnya justru kehancuran moral yang tidak terelakkan. Jadikan momentum kontroversi Lady Gaga ini sebagai bentuk keterbangunan: alangkah jauh kita meninggalkan keluhuran budaya bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar