Senin, 21 Mei 2012

Politisasi Gas Menjelang Pemilu


Politisasi Gas Menjelang Pemilu
Edy Purwanto ;  Mantan Deputi BP Migas
SUMBER :  SINDO, 21 Mei 2012



Pemilu 2014 masih dua tahun,namun sudah mulai terasa ada beberapa isu nasional yang diangkat ke permukaan dengan tujuan memengaruhi opini publik terhadap kekuatan-kekuatan politik tertentu.

Salah satunya adalah isu kontrak penjualan gas bumi dari Tangguh (Papua) ke Fujian (China) yang sudah dua pemilu menjadi lahan politisasi cukup ramai diangkat di media. Di dalam percaturan politik,praktik politisasi adalah sah-sah saja.Namun, rakyat memiliki hak untuk mendapatkan pembelajaran secara jujur apa yang sebenarnya terjadi pada kasus-kasus yang dipolitisasi sebagai sumber kerugian negara tersebut,sehingga rakyat mampu menilai dengan pandangan lebih jernih dan seimbang.

Berawal pada 2000-an, menjelang dikembangkannya proyek LNG Tangguh,muncul sejumlah negara produsen baru yang siap memasuki pasar gas dunia seperti Qatar, Oman, Nigeria, Algeria, Australia, Alaska, hingga Sakhalin. Akibatnya, formula harga gas yang semula lebih dikendalikan oleh produsen (seller market) mulai beralih lebih dikendalikan oleh pihak pembeli (buyer market) melalui tender.

Mewakili pemerintah, pada September 2002 Pertamina menandatangani kontrak penjualan LNG dengan perusahaan China, CNOOC, untuk pengiriman gas ke Provinsi Fujian. Harga LNG yang disepakati mencerminkan harga pasar masa itu. Harga gas Tangguh ke Fujian setara dengan formula harga beberapa kontrak yang ditandatangani pada waktu yang hampir bersamaan seperti kontrak NWS Australia dengan Guangdong China, Qatar Gas dengan Tatan Taiwan, Qalhat Oman dengan Mitsubishi Jepang, Sakhalin Rusia dengan Kogas Korea, dan kontrak LNG lainnya.

Bila dibandingkan dengan harga gas di pasar Asia-Pasifik hari ini, tidak heran banyak politisi dan pengamat mengklaim bahwa kontrak Tangguh adalah “blunder” masa lalu yang secara politis tidak bisa dimaafkan. Publik sejatinya berhak mengetahui bahwa blunder terjadi karena semua pihak pada masa itu keliru memprediksi harga minyak dunia di masa depan. Para analis internasional, lembaga-lembaga terkemuka seperti IEA (International Energy Agency), bahkan OPEC yang memiliki pusat penelitian tepercaya meramalkan bahwa harga minyak hingga tahun 2025 hanya akan berkisar USD25 per barel.

Tidak seorang pun percaya bahwa harga minyak akan melambung hingga USD150 per barel. Namun, secara keekonomian, Tangguh bukanlah proyek yang merugikan. Kilang Tangguh dibangun dengan biaya yang sangat murah, sekitar USD300 per ton. Bandingkan dengan rencana pembangunan kilang Donggi yang membutuhkan biaya USD1.500 per ton. Pada masa itu pemerintah prihatin karena selepas krisis ekonomi 1997-1998 tidak ada investasi baru yang signifikan ditanamkan di Indonesia.

Komitmen perusahaan minyak BP sebagai operator Tangguh untuk menanamkan investasi sebesar USD 6,5–7,5 miliar sangat diharapkan terlaksana guna meningkatkan kepercayaan investor asing bahwa Indonesia masih layak menjadi negara tujuan investasi. Namun tanpa pembeli gas yang pasti, komitmen investasi ini tidak akan pernah terjadi. Karena pasar gas di dalam negeri belum berkembang, maka guna mendapatkan manfaat ekonomi, pemerintah melalui BP Migas sebagai operator berusaha keras untuk memasarkan gas Tangguh ke luar negeri.

Indonesia sudah mengikuti sedikitnya dua kali tender LNG internasional namun selalu kalah karena harga gas Tangguh yang ditawarkan dianggap lebih tinggi dibandingkan tawaran harga gas dari para kompetitor internasional. Pada masa-masa sulit tersebut, Perdana Menteri China Zhu Rongji mengulurkan tangan ”mengundang” Indonesia untuk memasok LNG ke Provinsi Fujian sebanyak 2,6 juta ton per tahun selama 25 tahun tanpa tender, dengan syarat Indonesia sepakat menggunakan formula harga tender Guangdong yang dikaitkan dengan batas atas (ceiling) harga minyak USD25 per barel.

Tidak dinyana harga minyak malah melambung hingga USD150 per barel membuat Indonesia kehilangan potensi menikmati harga gas yang lebih tinggi. Setelah keberhasilan renegosiasi yang pertama tahun 2006, dengan semakin melambungnya harga minyak dunia, Indonesia membutuhkan renegosiasi yang kedua. Pada 2008 Presiden SBY membentuk tim renegosiasi yang diketuai oleh Menko Perekonomian.

Sayangnya, pada waktu bersamaan beberapa proyek vital terganjal berbagai masalah dengan Pemerintah China. Tampaknya tahun 2012 adalah waktu yang tepat untuk membentuk tim renegosiasi yang baru di mana beban politis yang mengganggu sudah berkurang.

Politisasi dan kriminalisasi penjualan gas ke Fujian akan meredup bilamana tim renegosiasi yang baru dibentuk mampu memperlihatkan kinerja yang nyata kepada masyarakat luas, terlebih lagi bila hasilnya dapat diumumkan jauh sebelum Pemilu 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar