Rabu, 23 Mei 2012

Menguji Polisi Melalui Lady Gaga


Menguji Polisi Melalui Lady Gaga
Herie Purwanto ; Kasubbag Hukum Polres Pekalongan Kota,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 22 Mei 2012


POLDA Metro Jaya mengumumkan tak akan mengeluarkan izin untuk konser Lady Gaga. Menurut Kabid Humas Kombes Rikwanto, MUI mengeluarkan fatwa haram, ada masukan dari Fraksi PPP dan PKS DPR, serta dari ormas FUI, bahwa aksi panggung dan busana seksi Lady Gaga bisa merusak moral bangsa. Bahkan FPI mengancam membubarkan konser, mengawali dengan mengadang kedatangannya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Bila hal itu yang menjadi dasar Polri tidak merekomendasikan izin konser, bagaimana dengan ”hak” dari sedikitnya 20.000 orang yang telah membeli tiket dan fans penyanyi itu, termasuk pihak-pihak yang setuju konser tetap digelar.

Bukankah Polri harus netral dan bersikap jernih memutuskan permasalahan di masyarakat? Polri harus memahami melayani masyarakat yang heterogen sehingga akan menjadi pertanyaan publik ketika putusannya tidak mengakomodasi heterogenitas itu.

Sikap kompromi dilakukan kepolisian Korea Selatan yang melarang anak di bawah usia 18 tahun menyaksikan konser tersebut. Polisi juga melarang penyanyi asal Amerika Serikat itu menggunakan pakaian erotis dan vulgar. Faktanya, konser bisa berlangsung dengan sukses dan aman. Apakah Polri tidak bisa menerapkan model kompromi seperti itu?

Akan menjadi permasalahan sederhana bila Polri memilih model kompromi dan tidak ada ekses dari konser itu. Namun bila pihak-pihak yang kontra bersikeras merealisasikan ancamannya seandainya konser digelar hingga terjadi hal-hal yang tak diinginkan, bagaimana pertanggungjawaban Polri? Di sinilah permasalahan yang dihadapi polisi.

Ancaman Faktual

Mendasarkan teori kepolisian, ancaman faktual bisa terjadi ketika peristiwa mencapai tahap police hazard dan faktor korelatif kriminogen tidak bisa diatasi dengan baik. Pada tahapan police hazard, polisi wajib hadir di tempat itu untuk mencegah suatu kejadian. Bila tahapan ini tidak tertanggulangi, masuk pada tahapan korelatif kriminogen, yaitu keadaan yang jadi faktor yang berhubungan kuat untuk timbulnya suatu kejadian.

Ancaman dari pihak-pihak tertentu, bisa jadi masuk dalam tahapan faktor korelatif kriminogen manakala konser tetap dilaksanakan. Prediksi ancaman faktual seandainya faktor kriminogen ini diabaikan adalah pengadangan Lady Gaga di bandara, pembubaran paksa saat konser, sampai terjadinya tawuran antara kelompok yang kontra dan yang pro.

Bisa saja setelah membuat prediksi ancaman atau kemungkinan terburuk yang terjadi, Polri mengantisipasi pengamanan dengan menerjunkan personel secara terpadu dalam jumlah besar. Namun hal itu tetap saja berisiko. Masalah keamanan yang tidak lepas dari jiwa, harta-benda, dan HAM, tak boleh menjadi ajang coba-coba atau spekulasi karena hanya ingin memenuhi keinginan pihak tertentu.

Prespektif terhadap ancaman faktual ini bisa dianalogikan dengan teori balloon effect, yaitu menekan salah satu bagian balon pasti bagian yang lain akan menggelembung. Artinya, memberikan prioritas pengamanan pada satu atau beberapa titik ancaman faktual tapi justru muncul kejadian di titik atau bagian lain. Ini dilandasi faktor atau tahapan sebelumnya yang meskipun sudah diantisipasi tetap saja bisa memunculkan kerawanan.

Dalam kondisi seperti itu, jalan tengah atau kompromi akan menjadi solusi. Jangan sampai Polri makin tersudut meskipun secara sudah berjalan di atas koridor hukum. Penolakan sebagian elemen masyarakat terhadap konser itu sebenarnya hal yang wajar karena ini alam demokrasi. Mustahil suatu kegiatan di negara sebesar Indonesia akan selalu disetujui oleh semua orang.

Polri harus netral dan bisa mengambil keputusan berdiri di atas semua pihak, serta tidak mengesampingkan atau mengorbankan situasi kondusif di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar