Menguji
Polisi Melalui Lady Gaga
Herie
Purwanto ; Kasubbag
Hukum Polres Pekalongan Kota,
Dosen
Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
SUMBER
: SUARA
MERDEKA, 22 Mei 2012
POLDA Metro Jaya mengumumkan tak akan
mengeluarkan izin untuk konser Lady Gaga. Menurut Kabid Humas Kombes Rikwanto,
MUI mengeluarkan fatwa haram, ada masukan dari Fraksi PPP dan PKS DPR, serta
dari ormas FUI, bahwa aksi panggung dan busana seksi Lady Gaga bisa merusak
moral bangsa. Bahkan FPI mengancam membubarkan konser, mengawali dengan
mengadang kedatangannya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Bila hal itu yang menjadi dasar Polri tidak
merekomendasikan izin konser, bagaimana dengan ”hak” dari sedikitnya 20.000
orang yang telah membeli tiket dan fans penyanyi itu, termasuk pihak-pihak yang
setuju konser tetap digelar.
Bukankah Polri harus netral dan bersikap
jernih memutuskan permasalahan di masyarakat? Polri harus memahami melayani
masyarakat yang heterogen sehingga akan menjadi pertanyaan publik ketika
putusannya tidak mengakomodasi heterogenitas itu.
Sikap kompromi dilakukan kepolisian Korea
Selatan yang melarang anak di bawah usia 18 tahun menyaksikan konser tersebut.
Polisi juga melarang penyanyi asal Amerika Serikat itu menggunakan pakaian
erotis dan vulgar. Faktanya, konser bisa berlangsung dengan sukses dan aman.
Apakah Polri tidak bisa menerapkan model kompromi seperti itu?
Akan menjadi permasalahan sederhana bila
Polri memilih model kompromi dan tidak ada ekses dari konser itu. Namun bila
pihak-pihak yang kontra bersikeras merealisasikan ancamannya seandainya konser
digelar hingga terjadi hal-hal yang tak diinginkan, bagaimana
pertanggungjawaban Polri? Di sinilah permasalahan yang dihadapi polisi.
Ancaman
Faktual
Mendasarkan teori kepolisian, ancaman faktual
bisa terjadi ketika peristiwa mencapai tahap police hazard dan faktor korelatif
kriminogen tidak bisa diatasi dengan baik. Pada tahapan police hazard, polisi
wajib hadir di tempat itu untuk mencegah suatu kejadian. Bila tahapan ini tidak
tertanggulangi, masuk pada tahapan korelatif kriminogen, yaitu keadaan yang
jadi faktor yang berhubungan kuat untuk timbulnya suatu kejadian.
Ancaman dari pihak-pihak tertentu, bisa jadi
masuk dalam tahapan faktor korelatif kriminogen manakala konser tetap
dilaksanakan. Prediksi ancaman faktual seandainya faktor kriminogen ini
diabaikan adalah pengadangan Lady Gaga di bandara, pembubaran paksa saat
konser, sampai terjadinya tawuran antara kelompok yang kontra dan yang pro.
Bisa saja setelah membuat prediksi ancaman
atau kemungkinan terburuk yang terjadi, Polri mengantisipasi pengamanan dengan
menerjunkan personel secara terpadu dalam jumlah besar. Namun hal itu tetap
saja berisiko. Masalah keamanan yang tidak lepas dari jiwa, harta-benda, dan
HAM, tak boleh menjadi ajang coba-coba atau spekulasi karena hanya ingin
memenuhi keinginan pihak tertentu.
Prespektif terhadap ancaman faktual ini bisa
dianalogikan dengan teori balloon effect, yaitu menekan salah satu bagian balon
pasti bagian yang lain akan menggelembung. Artinya, memberikan prioritas
pengamanan pada satu atau beberapa titik ancaman faktual tapi justru muncul
kejadian di titik atau bagian lain. Ini dilandasi faktor atau tahapan
sebelumnya yang meskipun sudah diantisipasi tetap saja bisa memunculkan
kerawanan.
Dalam kondisi seperti itu, jalan tengah atau
kompromi akan menjadi solusi. Jangan sampai Polri makin tersudut meskipun
secara sudah berjalan di atas koridor hukum. Penolakan sebagian elemen
masyarakat terhadap konser itu sebenarnya hal yang wajar karena ini alam
demokrasi. Mustahil suatu kegiatan di negara sebesar Indonesia akan selalu
disetujui oleh semua orang.
Polri harus netral dan bisa mengambil
keputusan berdiri di atas semua pihak, serta tidak mengesampingkan atau
mengorbankan situasi kondusif di masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar