KPK Bukan Spion Melayu
Bachtiar Sitanggang; Anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 07 Mei 2012
Dalam sejarah kepolisian, pada 1969, Kepala
Daerah Kepolisian (Kadapol-sekarang Kapolda) DKI Jakarta membentuk Resimen
Mobil Team Khusus Antibandit (Resmob-Tekab) untuk menumpas penjahat yang amat
meresahkan masyarakat di Ibu Kota. Tekab ini berhasil menekan kejahatan,
termasuk menangkap salah satu pentolan penjahat, yakni Kapundung, yang
ditangkap di Tanjung Pinang.
Tekab cukup sukses karena pendekatannya
dilakukan dengan membina para pelaku kejahatan yang mau bekerja sama dengan
menjadikan mereka sebagai informan. Setelah penjahat di kawasan itu terjaring,
sang informan pun diselesaikan juga lewat proses hukum. Waktu itu, dan untuk
selanjutnya, muncullah istilah “spion Melayu,” karena pencoleng memberantas
pencoleng.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini
dihadapkan dengan berbagai tindak pidana korupsi “paus”, tidak hanya “kakap”
lagi, sehingga kelihatannya kewalahan. Kesulitannya, karena yang terlibat pada
umumnya punya pengaruh politik, sehingga dengan mudah menghindar dari jaring
penyidik atau bukti sulit ditemukan karena berbagai faktor sebagaimana yang
dipertontonkan di layar televisi.
Karena kesulitan tersebut, muncullah wacana
menggunakan para pelaku yang diduga korupsi itu sebagai whistleblower (pelapor tindak pidana) dan justice collaborator (saksi pelaku yang mau bekerja sama) untuk
mengungkap para pelaku korupsi lainnya dalam kasus yang sama. Walaupun Johan
Budy SP, juru bicara KPK, membantah bahwa KPK tidak pernah menawarkan hal itu
kepada Angelina PP Sondakh yang saat ini sedang disidik.
Tak Dikenal
Kedua istilah tersebut sebenarnya tidak
dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tetapi kebutuhan whistleblower dan justice collaborator diatur dalam Peraturan Bersama Menhukham,
Jaksa Agung, Kapolri, Ketua KPK, dan Ketua LPSK tentang Perlindungan bagi
Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang bekerja sama
Disepakati, saksi pelapor adalah orang yang
melihat, mendengar, mengalami, atau terkait dengan tindak pidana dan melaporkan
dugaan tentang terjadinya suatu tindak pidana kepada pejabat yang berwenang
untuk diusut sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku (whistleblower).
Saksi pelaku yang bekerja sama adalah saksi
yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat
penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu
tindak pidana. Ini dilakukan guna mengembalikan aset-aset atau hasil suatu
tindak pidana kepada negara, yang dilakukan dengan memberikan informasi kepada
aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian dalam proses peradilan.
Sementara itu, untuk dapat memperlakukan
seseorang sebagai whistleblower ada
syaratnya, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 04 Tahun
2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana, demikian juga bagi saksi
pelaku yang bekerja sama di dalam pidana tertentu.
Syarat itu adalah yang bersangkutan merupakan
pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu, sebagaimana
dimaksud dalam SEMA, dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.
Sementara itu, pedoman memperlakukan justice collaborator adalah yang
bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana
dimaksud dalam SEMA ini. Ia mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku
utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam
proses peradilan.
Kemudian, Jaksa Penuntut Umum di dalam
tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan
bukti-bukti yang sangat signifikan. Dengan begitu, penyidik dan/atau penuntut
umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, juga mengungkap
pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan
aset-aset/hasil suatu tindak pidana.
Tak Layak
Dari Surat Keputusan Bersama petinggi hukum
di atas dan SEMA di atas, tidak pantas dan tidak layak Angelina PP Sondakh
dijadikan sebagai justice collaborator.
Ini karena dalam kesaksiannya di persidangan Nazaruddin, ia membantah
keterlibatannya dan malah menunjukkan dirinya putih bersih bagaikan kapas.
Sebenarnya, mengacu pada kedua dokumen di
atas, Agus Condro juga tidak dapat diperlakukan sebagai whistleblower, karena hasil dari tindak pidana yang dituduhkan
telah sempat digunakan/dinikmati. Dia pun melaporkan cek perjalanan itu setelah
ada masalah lain dan bukan murni untuk mengungkap, apalagi memberantas,
korupsi.
Dalam kaitanya dengan Neneng, istri
Nazaruddin yang diduga terlibat kasus PLTS di Kemenakertrans, yang telah
mengajukan permohonan agar tidak ditahan kalau menyerahkan diri, kita hanya
mengingatkan saja, bahwa KPK itu dibentuk peraturan perundang-undangan. Dalam
UU KPK, tak ada kewenangan bagi KPK untuk bekerja sama dengan penjahat, untuk
memberantas kejahatan.
Lebih baik KPK memperkuat dan memperbarui
sistem kerjanya dalam memberantas korupsi daripada bekerja sama dengan
koruptor, sebab yang bekerja sama dengan koruptor adalah koruptor juga. Kalau
memang tidak mampu mengungkap siapa di belakang dan bersama Angelima PP
Sondakh, ya mau diapakan? Pokoknya kompak dan tidak pandang bulu dan pilih
kasih dalam memberantas korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar