Senin, 07 Mei 2012

Anggaran Negara Tersandera Politik Pencitraan


Anggaran Negara Tersandera Politik Pencitraan
Makmun Syadullah; Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
SUMBER :  KORAN TEMPO, 07 Mei 2012


Kesepakatan penundaan kenaikan harga BBM bersubsidi berimplikasi setidaknya pada dua hal, yakni: pertama, pemerintah harus mencari dana tambahan untuk membiayai besaran subsidi yang membengkak. Besaran utang baru yang harus dicari pemerintah diperkirakan mencapai Rp 25 triliun. Untuk itu, pemerintah akan membiayai utang baru ini melalui penerbitan SBN. Dengan demikian, penerbitan SBN (neto) tahun ini diperkirakan naik menjadi Rp 159,596 triliun. Sedangkan secara total, dari sisi pembiayaan, pemerintah akan menarik utang baru sebesar Rp 190,1 triliun.

Kedua, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 sulit dijalankan. Sebagaimana dinyatakan Menteri Keuangan Agus Martowardojo, asumsi-asumsi dalam APBN 2012 sulit dijalankan karena harga BBM bersubsidi tidak naik. Apabila harga BBM tidak dinaikkan, diperkirakan subsidi energi akan membengkak menjadi Rp 300 triliun, jauh melenceng dari pagu yang ditetapkan sebesar Rp 225 triliun.

Menghadapi kondisi di atas, dalam rangka menjaga kesehatan fiskal, pemerintah kini tengah menyiapkan tiga strategi, yakni (i) melakukan penghematan anggaran dengan memblokir beberapa agenda yang dianggap bukan prioritas, (ii) mencegah defisit anggaran membengkak dengan mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi, dan (iii) mengoptimalkan penerimaan negara dengan menekan biaya produksi (cost recovery) agar tidak melonjak. Sektor lain yang akan dioptimalkan adalah penerimaan sektor mineral dan batu bara.

Beban utang Dengan bertambahnya utang baru akibat penundaan kenaikan harga BBM, beban yang ditanggung APBN akan semakin berat. Sebagaimana dimaklumi bahwa pemerintah telah berhasil menurunkan debt to GDP ratio dari 67 persen pada 2002 menjadi 24 persen pada 2011. Implikasi dari penurunan rasio utang ini, rasio pembayaran cicilan utang luar negeri dan bunga utang juga mengalami penurunan. Pada 2002, pembayaran cicilan utang luar negeri dan bunga mencapai Rp 99,9triliun atau 33,47 persen terhadap penerimaan negara. Pada 2010, pembayaran cicilan utang luar negeri dan bunga utang me ningkat menjadi Rp 139,01 triliun, namun rasio terhadap penerimaan negara turun menjadi 13,97 persen. Begitu pula halnya pada 2011, meningkat menjadi Rp 163,02 triliun, tetapi rasio terhadap penerimaan sedikit meningkat menjadi 14,75 persen.

Dalam RAPBN 2012, pembayaran cicilan utang luar negeri dan bunga utang dianggarkan sebesar Rp 170,34 triliun atau setara dengan 13,18 persen terhadap penerimaan negara. Namun, seiring dengan membengkaknya subsidi energi akibat penundaan kenaikan harga BBM, pembayaran cicilan utang pemerintah dan bunga pada 2012 meningkat dari Rp 170,34 triliun (APBN) menjadi Rp 261,1 triliun (APBNP). Sementara itu, pembagian pembayaran cicilan utang pokok dan bunga terhadap penerimaan negara membengkak dari 13,18 persen (APBN) menjadi 19,22 persen (APBNP).

Permasalahannya adalah perhitungan di atas dibuat dengan asumsi penaikan harga BBM bersubsidi hanya tertunda sampai Juli 2012. Bagaimana kalau tertunda kembali? Apabila harga BBM subsidi baru dinaikkan setelah Juli atau hingga Oktober, defisit anggaran yang diasumsikan sebesar 2,23 persen kemungkinan dapat membengkak menjadi 3 persen. Akibatnya, pendapatan negara hanya akan habis untuk membayar cicilan utang dan bunga yang tentunya juga akan membengkak lebih besar lagi.

Kondisi utang pemerintah saat ini sudah mengkhawatirkan, terutama berkaitan dengan pembayaran beban utang setiap tahun. Berdasarkan profil utang dan waktu jatuh tempo, beban utang cenderung tidak akan menurun pada waktu yang akan datang. Jika ada guncangan eksternal atau melemahnya perekonomian domestik secara signifikan, beban utang pemerintah akan langsung memperparah keadaan, seperti yang akan dialami pada 2009.

Kebijakan fiskal merupakan salah satu instrumen kebijakan ekonomi makro yang mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis. Peran tersebut adalah dalam mencapai berbagai tujuan ekonomi dan sosial, yaitu stabilitas ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan mengurangi pengangguran. Untuk dapat menjalankan peranan dan fungsi kebijakan fiskal secara balk, APBN haruslah sehat, dapat dipercaya (credible), dan memiliki ketahanan yang berkelanjutan (sustainable).

Sayangnya, sustainabilitas APBN kini justru terancam akibat pencitraan yang dilakukan para stakeholder itu sendiri. Begitu mahalnya biaya yang harus ditanggung APBN akibat penundaan kenaikan harga BBM. Penolakan yang lebih terkesan demi pencitraan di mata masyarakat itu ternyata justru akan memperberat beban anggaran negara, yang ujung-ujungnya rakyat juga yang akan menanggung akibatnya.

Penundaan kenaikan harga BBM dalam jangka pendek jelas memuaskan sebagian masyarakat pengkonsumsi BBM. Mereka yang tidak sepantasnya menerima subsidi justru akan diuntungkan. Namun sesungguhnya penundaan ini justru akan berpengaruh terhadap roda perekonomian. Dengan adanya kesulitan pemerintah dalam menjalankan APBN 2012, roda perekonomian dikhawatirkan tidak berjalan. Akibatnya, rakyat miskin pula yang akan menanggung akibatnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar